Mohon tunggu...
Fahri Setiyadi
Fahri Setiyadi Mohon Tunggu... Penulis - Public Relations 19

Cek semua berita yang ada dan berikan ulasan yang membangun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Pembangunan Nasional di Era Jokowi

10 Desember 2019   12:33 Diperbarui: 30 Juli 2022   01:16 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.instagram.com/p/Cf5gTXxvU-6/?igshid=YmMyMTA2M2Y=

*Oleh : Fahri Setiyadi

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakilnya berhasil memunculkan politik pembangunan nasional berorientasi Indonesiasentris yang memperkokoh fondasi dan ikatan negara kesatuan republik Indonesia. Menyebutkan dengan pembangunan yang berorientasi Indonesiasentris, Jokowi berusaha memperkecil kesenjangan antara Jawa dan sejumlah daerah di luar Jawa. Salah satu bukti nyata adalah pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas antar daerah.

Kita bisa saksikan tol laut, jalan lintas papua dan lintas daerah lainnya, pelabuhan ataupun bandara. Semuanya dibuat untuk memudahkan masyarakat dalam bergerak dan memudahkan transportasi barang serta jasa, perjalanan untuk berparawisata yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.

 Berbagai program unggulan lainnya untuk memperkuat masyarakat di daerah dan pedesaan diciptakan dengan efektif sejak masa pemerintahan Jokowi. Beberapa program itu di antaranya Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non Tunai, dan Bantuan Sertifikat Lahan Gratis. Belum lagi adanya Kredit Usaha Rakyat, bantuan sarana dan prasarana pertanian, dan terbaru adanya program padat karya cash.

Tak heran jika tingkat kemiskinan sejak era Presiden Jokowi trennya terus menurun. Bahkan, di tahun 2016 tingkat kemiskinan kita terendah sepanjang sejarah Tanah Air, yaitu dikisaran 10,7 persen atau 27,8 juta jiwa. Selain karena berbagai program bantuan dan pembangunan, juga karena telah terciptanya lapangan kerja yang maksimal. Khusus di bidang hukum, Bamsoet menilai, walaupun pemerintahan Jokowi-JK sangat konsisten mendukung pemberantasan korupsi, tetapi tingkat korupsi masih tinggi. Data Transparansi International (2018) menunjukkan indeks persepsi korupsi Indonesia berada di urutan ke 96 dengan nilai 37 dari 180 negara.

Presiden Jokowi telah bersikap tegas untuk tak masuk dalam upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Harus diakui agenda pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi milik pemerintah semata. Tetapi harus pula dilakukan oleh lembaga independen, seperti KPK dan pengadilan. Yang patut digaris bawahi, Presiden Jokowi bersikap keras dalam penanganan kasus-kasus korupsi.

Sebagai seorang outsider dari lingkaran elite nasional, Jokowi diharapkan mampu melepaskan negeri ini dari cengkeraman para elite yang mencampuri jalannya negara ini. Segala jenis harapan kemudian dibebankan ke pundak Jokowi untuk melakukan perubahan di negeri ini. Kini sulit untuk mengatakan bahwa harapan kepada sosok non-elite itu benar-benar telah terwujud. Alih-alih lepas dari cengkeraman elite tersebut, beberapa akademisi mancanegara menyebut justru Jokowi harus berkompromi dengan kekuatan dan kepentingan para elite dan oligark untuk mengamankan dan mengonsolidasikan kekuasaannya.

Tak hanya itu, sebagai sosok rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat, Jokowi juga diharapkan mampu berpihak kepada rakyat, utamanya dalam hal demokrasi. Meski demikian, lagi-lagi para akademisi internasional menyebut bahwa penerapan demokrasi Indonesia terancam seiring dengan langkah pemerintah menggunakan hukum untuk menekan rakyat yang beroposisi dengan mereka. Langkah-langkah tersebut seperti menggambarkan bahwa Jokowi terjebak dalam permainan kekuasaan Indonesia dan boleh dianggap mulai bergeser menjadi elite baru di negeri ini.

Salah satu sumber daya kekuasaan tersebut adalah jabatan publik yang diemban. Dalam konteks ini, sumber daya berupa jabatan tersebut dianggap sebagai sumber kekuasaan yang dimiliki oleh elite. Pada titik ini, ketika Jokowi menggunakan sumber daya tersebut, ia sebenarnya telah menjelma menjadi elite.

Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta itu boleh jadi tidak hanya telah berubah menjadi elite, tetapi juga berkompromi dengan kekuatan oligarki. Sebagaimana disebut sebelumnya, oligarki-oligarki lama yang bahkan telah besar di era Orba menjadi kekuatan yang harus diterima agar kekuasaannya tak banyak terhantam badai politik.

Presiden Joko Widodo meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dan agama. Menurut Presiden, pemisahan tersebut untuk gesekan antarumat. Karena rentan gesekan itulah, Presiden meminta tidak ada pihak yang mencampuradukkan politik dan agama. Dipisahan sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik. Jokowi berpesan kepada masyarakat untuk menghindari konflik horizontal, seperti antarsuku atau antaragama. Keberagaman suku, karna bisa menimbulkan perpecahan dan justru harus jadi kekuatan NKRI.

Mengingatkan semuanya bahwa bangsa kita terdiri dari macam-macam suku dan agama, bermacam-macam ras. Presiden menyebutkan bahwa Indonesia terdiri atas 71 suku dan 1.100 bahasa daerah. Itu menjadi keanekaragaman bangsa yang harus terus ditanamkan kepada masyarakat. Presiden meminta para pemuka agama untuk mengingatkan para umatnya tentang keragaman yang harus dirawat agar tidak menimbulkan perpecahan. Para ulama agar disebarkan, diingatkan, dipahamkan pada kita semua, bahwa kita ini memang beragam, anugerah yang diberikan Allah bahwa kita beragam

Presiden mengatakan, jika perbedaan bisa dirawat dan dipersatukan akan menjadi kekuatan besar. Ini ada sebuah kekuatan besar, sebuah potensi besar, tetapi kalau kita tidak bisa menjaga dan merawat, ada gesekan, ada pertikaian, itulah yang harus awal-awalnya kita ingatkan. Pernyataan Jokowi dapat dinilai sebagai upaya sekularisasi yang ingin misahkan agama dan kehidupan bernegara dengan dasar-dasar negara yang telah dijelaskan diatas.

Agama adalah alat integrasi nasional dan bukan alat pemecah persatuan sebagaimana di contohkan oleh para pendiri bangsa. Saya berkeyakinan, semakin menjabarkan nilai-nilai agama yang dianut akan semakin memperkokoh persatuan nasional dan memberi inspirasi para pemeluk agama dalam pembangunan negara. Mempertentangkan agama dan politik atau negara sama dengan mengembalikan debat ideologis dimasa awal kemerdekaan dan itu berarti kemunduran dalam bernegara.

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan road show ke pelbagai Pondok Pesantren belakangan ini merupakan anomali tindakan politik disatu sisi ingin memisahkan agama dan politik tetapi diwaktu lain ingin menarik dukungan kelompok agama untuk mempertahankan posisi politiknya.

Jangan jadikan kepercayaan beragama sebagai sumber perpecahan, kita harus hidup berdampingan dengan damai sentosa sebagaimana dengan nilai nilai yang diterapkan oleh pancasila.

*Ditulis Oleh   Mahasiswa Semester 1 Mata Kuliah Ilmu Politik Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun