*Oleh : Fahri Setiyadi
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakilnya berhasil memunculkan politik pembangunan nasional berorientasi Indonesiasentris yang memperkokoh fondasi dan ikatan negara kesatuan republik Indonesia. Menyebutkan dengan pembangunan yang berorientasi Indonesiasentris, Jokowi berusaha memperkecil kesenjangan antara Jawa dan sejumlah daerah di luar Jawa. Salah satu bukti nyata adalah pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas antar daerah.
Kita bisa saksikan tol laut, jalan lintas papua dan lintas daerah lainnya, pelabuhan ataupun bandara. Semuanya dibuat untuk memudahkan masyarakat dalam bergerak dan memudahkan transportasi barang serta jasa, perjalanan untuk berparawisata yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
 Berbagai program unggulan lainnya untuk memperkuat masyarakat di daerah dan pedesaan diciptakan dengan efektif sejak masa pemerintahan Jokowi. Beberapa program itu di antaranya Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non Tunai, dan Bantuan Sertifikat Lahan Gratis. Belum lagi adanya Kredit Usaha Rakyat, bantuan sarana dan prasarana pertanian, dan terbaru adanya program padat karya cash.
Tak heran jika tingkat kemiskinan sejak era Presiden Jokowi trennya terus menurun. Bahkan, di tahun 2016 tingkat kemiskinan kita terendah sepanjang sejarah Tanah Air, yaitu dikisaran 10,7 persen atau 27,8 juta jiwa. Selain karena berbagai program bantuan dan pembangunan, juga karena telah terciptanya lapangan kerja yang maksimal. Khusus di bidang hukum, Bamsoet menilai, walaupun pemerintahan Jokowi-JK sangat konsisten mendukung pemberantasan korupsi, tetapi tingkat korupsi masih tinggi. Data Transparansi International (2018) menunjukkan indeks persepsi korupsi Indonesia berada di urutan ke 96 dengan nilai 37 dari 180 negara.
Presiden Jokowi telah bersikap tegas untuk tak masuk dalam upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Harus diakui agenda pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi milik pemerintah semata. Tetapi harus pula dilakukan oleh lembaga independen, seperti KPK dan pengadilan. Yang patut digaris bawahi, Presiden Jokowi bersikap keras dalam penanganan kasus-kasus korupsi.
Sebagai seorang outsider dari lingkaran elite nasional, Jokowi diharapkan mampu melepaskan negeri ini dari cengkeraman para elite yang mencampuri jalannya negara ini. Segala jenis harapan kemudian dibebankan ke pundak Jokowi untuk melakukan perubahan di negeri ini. Kini sulit untuk mengatakan bahwa harapan kepada sosok non-elite itu benar-benar telah terwujud. Alih-alih lepas dari cengkeraman elite tersebut, beberapa akademisi mancanegara menyebut justru Jokowi harus berkompromi dengan kekuatan dan kepentingan para elite dan oligark untuk mengamankan dan mengonsolidasikan kekuasaannya.
Tak hanya itu, sebagai sosok rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat, Jokowi juga diharapkan mampu berpihak kepada rakyat, utamanya dalam hal demokrasi. Meski demikian, lagi-lagi para akademisi internasional menyebut bahwa penerapan demokrasi Indonesia terancam seiring dengan langkah pemerintah menggunakan hukum untuk menekan rakyat yang beroposisi dengan mereka. Langkah-langkah tersebut seperti menggambarkan bahwa Jokowi terjebak dalam permainan kekuasaan Indonesia dan boleh dianggap mulai bergeser menjadi elite baru di negeri ini.
Salah satu sumber daya kekuasaan tersebut adalah jabatan publik yang diemban. Dalam konteks ini, sumber daya berupa jabatan tersebut dianggap sebagai sumber kekuasaan yang dimiliki oleh elite. Pada titik ini, ketika Jokowi menggunakan sumber daya tersebut, ia sebenarnya telah menjelma menjadi elite.
Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta itu boleh jadi tidak hanya telah berubah menjadi elite, tetapi juga berkompromi dengan kekuatan oligarki. Sebagaimana disebut sebelumnya, oligarki-oligarki lama yang bahkan telah besar di era Orba menjadi kekuatan yang harus diterima agar kekuasaannya tak banyak terhantam badai politik.