Siapa yang tak kenal lagu Gundul-Gundul Pacul? Lagu yang dahulu kita nyanyikan dengan perasaan riang dan penuh gelak tawa saat masa-masa sekolah. Lagu yang terkesan jenaka dan penuh guyon, tetapi ternyata memiliki makna dan filosofi yang mendalam.
Sayangnya meski liriknya mudah dihafal, tetapi ternyata belum semuanya paham tentang makna dibalik lagu ini. Barangkali memang kita hari ini kering dan tak paham tentang budaya bangsa kita sendiri. Maka dari itu upaya untuk terus menanam, menumbuhkan, dan menguatkan nilai hidup yang berbudaya menjadi penting agar kita tidak lupa diri dan tidak lupa corak budaya negeri sendiri.
Lagu Gundul-Gundul Pacul ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1400-an. Lagu ini menyiratkan makna dan nilai luhur yang sangat mendalam bagi kita semua yang mau meresapinya. Lagu ini akan terus relevan pada setiap masa. Terlebih jika disandingkan dengan zaman sekarang, lagu ini jelas relevan, dan sepertinya para pemimpin kita perlu dan harus mendengarkan serta merenungi makna lagu ini.
Gundul-gundul pacul cul, gembelengan,
Gundul adalah lambang dari kepala yang berarti kehormatan. Kehormatan ada dan terletak di kepala, sebuah mahkota hanyalah pernak-pernik estetika belaka. Esensi kehormatan terletak di kepala seorang pemimpin dan isi didalamnya. Pemimpin tidak cukup punya mahkota/tahta yang bagus, tapi juga perlu punya isi kepala yang memadai.
Pacul dimaknai dalam dua hal. Pertama, pacul dimaknai sebagai alat untuk mencangkul dan yang kedua pacul dimaknai sebagai seperangkat nilai. Pertama, pacul sebagai alat mencangkul dimaknai bahwa seorang pemimpin telah diberikan alat untuk mengolah wilayahnya yang semata-mata bertujuan untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Jadi pemimpin itu pembawa cangkul, bekerja untuk rakyat. Bukan pembawa pedang yang terus mengancam, menyiksa, dan menikam rakyat. Kedua, pacul sebagai seperangkat nilai, yakni papat kang ucul atau jika diartikan berarti empat hal yang lepas. Jika seorang pemimpin kehilangan empat hal ini, maka selesailah mereka, lepaslah kehormatan mereka, tidak layaklah mereka memimpin. Empat hal itu adalah: mata yang mampu melihat kesulitan-kesengsaraan rakyat, telinga yang mampu mendengarkan nasihat dan aspirasi rakyat, hidung yang mampu mencium aroma harum kebaikan untuk rakyat, dan mulut yang mampu berkata baik-jujur-adil untuk rakyat.
Gembelengan dimaknai sebagai sifat yang congkak, sombong, sembrono, semena-mena dan bermain-main. Jadi, lirik bait pertama ini memiliki makna untuk para pemimpin yang congkak dan kehilangan kepekaan sosialnya dalam memimpin.
Nyunggi-nyunggi wakul kul, gembelengan,
Nyunggi wakul, berarti membawa bakul. Membawa bakul disini berarti bahwa seorang pemimpin tengah mengemban amanah. Pemimpin sedang membawa sesuatu yang harapannya akan mampu menyejahterakan rakyatnya. Namun sayang, lagi-lagi kebanyakan dari mereka gembelengan. Mereka membawa bakul itu hanya untuk diri mereka sendiri, mengenyangkan hasrat-nafsu pribadi, dan memperkaya keluarga dinasti.
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar,