Hidup jauh dari tempat asal bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Ada harga yang dibayar, ada waktu yang dikorbankan, dan mungkin ada momentum yang terlewatkan. Bahkan ada harapan yang harus diwujudkan. Juga rindu yang harus ditahankan.
Waktu bersama keluarga, teman dekat, dan orang-orang yang dicintai lainnya di rumah harus dipertaruhkan demi menjalani hidup di kota orang. Ya, merantau tak selamanya menyenangkan memang, namun tak selamanya pula menderita.
Sejak memutuskan untuk beranjak merantau, saya banyak mendapati pelajaran, terutama tentang kehidupan. Dimana tempat baru pasti juga menghadirkan orang baru, hal baru, suasana baru, yang kemudian membuat saya mendapatkan banyak pelajaran baru.
Bertemu orang-orang baru dengan berbagai macam peranannya, karakter uniknya, latar belakangnya, sifat-sikapnya, pola pikirnya, kebaikan-keburukannya dan lain sebagainya telah memberi saya referensi-refensi dan cara memposisikan diri. Lalu ada hal baru dengan berbagai macam warna dan nilainya, kemudian suasana baru dengan segala macam sensasi-sensasinya menjadi suatu pelengkap yang include di perantauan.
Pelajaran yang mungkin paling terasa adalah survive. Ya, bertahan. Bertahan untuk terus fokus pada tujuan awal, bertahan untuk tidak terbawa arus pergaulan yang mungkin bisa dibilang didominasi oleh hal-hal negatif, bertahan dengan jati diri sendiri untuk tidak kehilangan diri, atau hanya sekedar bertahan untuk makan hari demi hari.
Butuh raga-jiwa-mental yang sehat, butuh pikiran yang jernih, butuh iman yang kuat, butuh circle yang taat untuk kemudian mampu menunjang proses survive itu. Karena jika tidak, rawan kiranya seorang perantau tergelincir ke jebakan yang indah dalam semu dan tipu dayanya.
Tulisan ini adalah prolog penulis untuk memulai tulisan tentang cerita-cerita di perantauan selanjutnya. Stay tuned!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H