Mohon tunggu...
Fahrijal Nurrohman
Fahrijal Nurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hey there! I am using Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengkaji Budaya Guna Menjaga Indonesia

30 Januari 2024   06:00 Diperbarui: 30 Januari 2024   17:03 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin (29/01/2024), PCNU Kota Malang mengadakan diskusi bersama yang bertemakan kebudayaan yang dikemas dalam acara bertajuk "Tadarus Budaya: Kebudayaan Sebagai Strategi Dakwah Para Sunan". Acara yang diadakan oleh PCNU Kota Malang ini diadakan dalam rangka menyambut Harlah Nahdlatul Ulama ke-101-menurut perhitungan tahun Hijriah. Bukan waktu yang singkat bagi NU untuk menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dalam harlah kali ini, tema yang diusung oleh NU adalah "Memacu Kinerja, Mengawal Kemenangan Indonesia". Hal ini tak lain karena tahun 2024 bertepatan dengan pemilihan presiden, dan salah satu cara ikut berkontribusi di dalamnya adalah dengan mengawal kesuksesan pemilihan presiden demi kemenangan Indonesia.

Tadarus Budaya yang dilaksanakan oleh PCNU adalah satu diantara beberapa rangkaian acara peringatan harlah NU. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat mulai dari kyai, santri dan budayawan. Acara dimulai dengan menyanyikan Indonesia Raya dan Mars Yalal Wathan. Kemudian dilanjut dengan sambutan Dr. KH. Isroqunnajah, M.Ag. selaku ketua PCNU Kota Malang. Beliau memberikan kepada kami beberapa wejangan tentang pentingnya menjaga tradisi kebudayaan kita. Beliau mengambil contoh tradisi kupatan yang merupakan salah atau warisan para wali yang begitu banyak mengandung nilai filosofis.

Setelah sambutan, acara dilanjut dengan penampilan dari Lesbumi Kota Malang yang menyanyikan beberapa tembang bernuansa Jawa, salah satu tembang yang dibawakan berjudul Suluk Sekar Banjar. Para hadirin dibawa kedalam nuansa Jawa yang begitu menenangkan. Untuk kemudian memasuki acara puncak yaitu diskusi yang diawali oleh Ki Ardhi Purboantono

Ki Ardhi Purboantono (Dalang, Pengurus Lesbumi PBNU)

Beliau merupakan murid langsung Ki Agus Sunyoto¹. Beliau juga merupakan dalang yang sudah melalang buana. Beliau memulai diskusi dengan betapa bangganya beliau bisa masuk dalam organisasi yang menganyomi segala elemen masyatakat. 

"Jika dilihat pada zaman Majapahit, NU ini masuk kategori Brahmana dan Ksatria. Karena khidmahnya yang begitu besar. Makanya saya masuk NU itu saya anggap untuk memperbaiki badan dan memperbaiki akhlak". 

Hal ini tidak terlepas dari pengadopsian metode dakwah NU dari para wali, misalnya seperti wayang. Sunan Kalijaga menggunakan wayang untuk mengajak masyarakat Jawa agar tertarik kepada Islam. Namun, wayang pernah digunakan media penyebar informasi oleh PKI dan Lekra alias digunakan sebagai alat politik praktis. Sehingga NU dipaksa untuk mengembalikan identitas wayang sebagaimana awal munculnya, yaitu sebagai saran dakwah sekaligus hiburan. Hingga akhirnya Lesbumi merasa perlu adanya strategi kebudayaan dan muncullah Saptawikrama (7 strategi dakwah kebudayaan Nusantara). 

"Tentu dalil yang dipakai adalah kaidah fiqih, al muhafadhotu alal qadimis shalih wal ahdu bil jadidil aslah-menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik", ucap beliau.

Beliau juga bercerita bagiamana kondisi masyatakat Jawa sebelum datangnya Islam. Masyarakat Jawa sebelum Islam datang sudah mengenal kepercayaan pada Dzat Yang Maha Kuasa, namun masih dalam kemasan agama Kapitayan. Cerita-cerita unik yang ada di sekitar kita begitu banyak. Semisal orang tua dulu tidak fasih baca semisal lafadz bismillah yang malah dibaca semelah namun begitu manjur. Itu disebabkan karena kuatnya keyakinan. 

"Sangat berbeda dengan kondisi kita hari ini. Kita hari ini kebanyakan sudah fasih dalam mengucapkan basmalah, tapi ya tetap tidak mandi (baca: manjur). Dukun pada zaman dulu ngomongnya ya kayuku ya kayumu itu saja sudah sakti". 

Beliau mengklarifikasi bahwa dukun pada zaman dahulu itu adalah kiai yang jadi tempat berobat masyarakat perdukuhan. Kemudian beliau menutup sesi pertama ini dengan pesan bahwa umat nabi akhir zaman diberi tiga keistimewaan: (1) tidak akan musnah diterjang pandemi atau pagebluk (2) tidak akan binasa kekurangan pangan (3) kalau perang diberi menang, kecuali perang melawan saudaranya sendiri . Oleh sebab itu, para wali juga mengajarkan ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah islamiyah. 

Irfan Afifi (Budayawan, Pendiri Langgar.co)

Sesi kedua diisi oleh Irfan Afifi. Beliau memulai sesi ini dengan sebuah pertanyaan. Apa itu kebudayaan? 

"Sekarang saya tanya, apa itu kebudayaan? Kebudayaan adalah produk perasan dari kearifan lokal", ucap beliau.

Dakwah para sunan adalah dakwah dari produk kearifan para sunan. Contohnya adalah wayang yang merupakan produk kearifan, sebab para wali melihat adanya potensi Islam diterima ditengah masyarakat yang majemuk ini. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika para wali menyebarkan Islam di Jawa tanpa disertai kearifan, sudah pasti masyatakat akan cenderung menolak Islam.  

Beliau juga menjelaskan tentang keber-Islam-an orang zaman dahulu. Orang zaman dahulu sudah ber-Islam secara Kaffah, maksudnya Islam penuh secara lahir dan batin. Oleh sebab itu, kalau orang sudah mencapai level kaffah yang benar-benar kaffah mendapat julukan Ki atau Kiai. Ki atau kiai artinya orang sepuh yang sudah menguasai ilmu lahir sampai ilmu batin. Maka dari itu doa orang zaman dahulu walaupun tidak fasih tetap manjur karena akal, hati dan lelakunya sudah sarujuk atau sejalan. Sehingga banyak dari mereka yang keramat. 

Jadi para wali yang menyebarkan Islam di Jawa memiliki peninggalan berupa kearifan budaya. Karena tidak ada media kertas sebagai sarana pembelajaran, para wali berfokus pada pembentukan tatanan masyarakat. Caranya adalah mengajak manusia untuk mengenali dirinya sendiri dalam Jawa yang disebut Ilmu Mulat Sarira. Beliau juga menyampaikan bahwa keber-islam-an di Indonesia ini paling istimewa jika dibandingkan dengan negara lain. KH. Hasyim Asyari menyatakan bahwa berislam harus ada tiga aspek, tauhid, fikih dan tasawuf. Oleh sebab itu Islam datang ke Nusantara bukan untuk mengasingkan budaya yang ada, namun untuk mengokohkan budaya (yang sesuai dengan syariat) agar tidak tercerabut dari akarnya. Terakhir beliau menjelaskan bahwa pancasila secara hakikat sudah sangat islami, karena mampu memayungi seluruh umat di Indonesia, bahkan yang tidak beragama Islam.

Penutup

Harapan dari diadakannya acara Tadarus Budaya ini adalah sebagai pengingat kembali bahwa kita tidak bisa memisahkan dari budaya dan tradisi yang sudah terbentuk. Mau sekuat apapun kita menolak, kenyataannya memang seperti itu. Menjaga Nusantara yang begitu kaya akan budaya menjadi tugas kita semua. Budaya yang seharusnya menjadi penguat dan pengokoh kita bersama jangan sampai tercerabut dari akarnya.

¹Perlu diketahui, Agus Sunyoto adalah penulis buku Atlas Walisongo dan mulai menjabat sebagai ketua Lesbumi PBNU pada tahun 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun