Mohon tunggu...
Fahrijal Nurrohman
Fahrijal Nurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hey there! I am using Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Budaya Membanding-bandingkan Anak ala Orang Tua

29 Maret 2021   07:30 Diperbarui: 29 Maret 2021   09:24 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lihat tuh, si A temanmu itu lo udah punya pekerjaan. Kamu kapan?"

"Kamu tuh kerjaannya main terus, kapan kamu pintarnya? Harusnya kamu tiru si B itu"

"Teman-teman mama udah banyak yang punya cucu, kamu kapan kasih mama cucu?"

Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan orang tua yang suka membanding-bandingkan sang anak dengan anak tetangga. Dan hal ini biasanya tidak satu dua kali dilakukan oleh orang tua, sampai membuat si anak hafal omelan dari orang tuanya itu. 

Bukannya membuat sang anak berubah, malah akan semakin membuat sang anak bebal dan membelot. Hal ini disebabkan karena sang anak menganggap segala yang ia dikerjakan adalah salah di mata orang tua. Dan orang tua tidak tau betapa sakitnya ketika sang anak dibangding-bandingkan dengan anak tetangga.

Orang tua merupakan guru pertama bagi seorang anak. Sudah sepatutnya tugas sebagai guru pertama adalah memberikan hal-hal yang positif kepada sang anak, seperti mendukung segala hal yang diminati oleh sang anak, selama hal itu bersifat positif. Orang tua tidak seharusnya terlalu memilihkan terhadap hal-hal yang seharusnya anak itu sendiri yang memilihnya dan menghargai pilihan anak itu. Misalnya seperti minat dan bakat.

Contohnya, ada yang sangat suka sekali pelajaran bahasa Arab tapi si orang tua tidak melihat potensi itu dan malah memberikan les matematika kepada sang anak. Hanya karena melihat anak tetangga nilai matematikanya bagus. 

Hal ini dapat membuat sang anak tertekan. Alih-alih mendapatkan ilmu matematika, yang ada malah tidak faham. Kalaupun sang anak nilai matematikanya jelek, seharusnya orang tua tidak membanding-bandingkan dengan anak tetangga. Akan lebih baik jika sang anak diberi dukungan agar tidak patah semangat.

Memang orang tua bermaksud baik ketika membandingkan anaknya dengan dengan anak tetangga. Namun jika dilihat dari perspektif sang anak, sang anak akan menanggap bahwa semua yang dia kerjakan adalah salah menurut orang tuanya. Cara yang paling mudah dalam hal ini adalah membiarkan sang anak menemukan jati diri mereka sendiri. 

Biarkan dia jadi diri sendiri. Bukan malah jadi anak tetangga. Memang sih, rumput tetangga memang terlihat lebih hijau, namun terkadang orang tua tidak sadar bahwa rumput di rumahnya sendiri itu lebih hijau dari rumput tetangga.

Dan juga biarkan sang anak menempuh prosesnya untuk membahagiakan kalian, para orang tua yang budiman. Dan jangan menuntut proses yang cepat, karena setiap anak punya caranya sendiri untuk membahagiakan orang tuanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun