Mohon tunggu...
Fakhri Ali
Fakhri Ali Mohon Tunggu... Politisi - Global Citizen - Survivor - Learner - Your Man

Catatan kecil yang memiliki arti besar. Menulis adalah terapi kehidupan, selain juga riwayat yg dirasa perlu terarsipkan. Namanya juga catatan •Ini semua hanya catatan, jika ada kesamaan nama, tempat, ataupun cerita, tentu hanya kebetulan semata. Sungguh tidak ada kesengajaan•

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Idul Adha - Berqurban Versiku

11 Juli 2022   01:32 Diperbarui: 11 Juli 2022   01:36 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pegang pisau lalu menempelkannya di leher anak kandung sendiri, ujian teramat besar yg berhasil dilalui dengan sempurna oleh Nabi Ibrahim AS. Salahsatu bukti keimanan dan ketaqwaannya. Seorang anak bernama Ismail menunjukan kerelaan membuktikan kehebatan hasil pendidikan kedua orangtuanya. Siti Hajar memberi contoh dengan kesabarannya, sebagai bentuk penghambaan pada Sang Khaliq.

Peristiwa yg terjadi hampir 50 abad lalu itu diperingati hingga kini dan dijadikan mutiara hikmah bagi umat manusia, rasanya tak ada kisah keluarga yang dikenang sepanjang masa dalam sejarah manusia seperti peristiwa yang dilalui keluarga Nabi Ibrahim Khalilullah. Manusia yang namanya disebutkan terbanyak kedua dalam Alquran."

— —

Tahun ini merupakan Idul Adha ke-28 dalam hidupku.
Dan aku belajar berqurban dari Ayah..
Ibrahim dan Ismail yang kukenal...

— —

Ayahku orang yang keras,
Suaranya sering bernada tinggi tapi tanpa kata kasar, tapi beliau juga sering berkelakar.
Mengenai politik kotor bangsa ini, ataupun mengenai beban ibu bertugas dalam hal tatar.
Ayahku orang yang sibuk,
dulu saat masa jayanya, aku hampir lupa muka ayah,
yang aku tau ayahku tidak payah.
Walau seringkali ketikaku goyah,
hanya ada ibu yang menggerayah.
Ayahku orang yang penuh letupan emosi.
kadang tidurku tak nyenyak,
melihat ayah yang terhenyak,
membaca ketidakstabilan negeri ini terlebih yg bersinggungan dengan rasionya.
Ayahku orang yang pendiam.
Beliau tak banyak mengungkap cinta apalagi sayang,
beliau juga tak suka bercerita laksana dalang bermain wayang,
tapi aku tau, di setiap sembahyang
ayah berdoa untuk anaknya dan juga para moyang.
Aku seringkali dibentak oleh ayah,
seringkali telinga ini panas, seringpula perasaan ini tak karuan.
hingga masa remajaku. aku tau, ayah ya hanya ayah.
seorang yang membuatku masih bisa menikmati nasi dan ijazah sekolah.
seorang yang mengajariku untuk memberi tanpa mengingat, membantu tanpa mengungkit.
Kepada siapa saja, seringnya tentu sanak saudara dan kolega.
Ya, ingatanku masih kuat tentang itu.
Hamba Tuhan yg tak mau banyak menyimpan, hal-hal yang menurutnya kelak justru jadi beban.
Pikirku kok ada ya manusia zaman sekarang yang teguh memegang kaidah itu dalam kehidupan.
Ketika yg lain pontang-panting mengejar, mengumpulkan sesuatu yg kelak harus dipertanggungjawabkan.
Termasuk.. mereka yang seringkali busa dalam mulutnya hampir tumpah bicara hal-hal teologis.
Ayah tetap kokoh dengan prinsipnya, tanpa sering mengutip ayat quran ataupun hadits.
—
Tapi semua berubah,
ketika air mata ayah bertetes jatuh satu demi satu,
suasana penuh haru,
pada momen dimana aku bertugas mengemudi di malam hari,
Di kursi tengah ayah mengucap sesuatu yg seingatku baru pertama telingaku dengar kalimat itu keluar dari mulutnya.
Kata - kata yang hingga kini jikaku mengingatnya, hancur hatiku seketika.
Moment puncak ayah memperlihatkan bagaimana menghadapi binatang menjelema bak orang.
Dari kaca spion,
Aku lihat mata ayah begitu sayu, menggambarkan begitu kelelahannya manusia ini menjalankan perannya di dunia fana.
Setelah begitu panjang menjalankan peran sebagai petarung yang selalu menang, sosok yang amat kubanggakan, kami -semua anak lelakinya- sangat banggakan. Panutan, teladan.
—
Malam itu lari-lari pikiran dalam kepalaku,
Sambil mengatur fokus membawanya pulang.
Bermunculan, terbayangkan..
Sikap - sikap kurang ajar yg pernah kulakukan, sebagai remaja yang tak mau kalah ketika dengannya berhadapan, berdebat tak karuan.

Andai bisa kuputar waktu,
apapun itu akan kulakukan,
amarahku akan kukendalikan,
agar tak pernah ada seteru dia dan aku,
Hal yg kusesali sepanjang waktu.
—
Andai bisa kuminta satu hal pada-Nya, dzat Yang Maha Menentukan.
Jangan pernah aku mendengar lagi kalimat itu keluar dari mulutnya.
Dari mulut Ayah..
Orang yang telah banyak sabarnya dalam diam,
Orang yang dalam titik puncaknya tak banyak menikmati hidupnya,
Orang yang keras ucapannya tapi lembut hatinya, derma jiwanya.
Orang yang dalam masa sulitnya bisa tegak berdiri, mengatur diri, menjatukan ego bahkan dignity.
Dihadapan peliharaan yang telah ia besarkan dan beri makan, juga banyak bantuan.
Peliharaan itu ialah aku, mungkin juga kamu, dia, kita, mereka.
—
Andai bisa kuputar waktu,
Tak akan pernah kubiarkan pandir-pandir menggiring ia ke pojokan,
Dengan kebodohan-kebodohan mereka yang hina dan rendahan.
Andai ayahku ijinkan,
Kapanpun aku siap berhadapan,
Dengan mereka yang lupa daratan, lupa tangan siapa yang dulu meraihnya di dasaran.
Aku siap, sangat siap, selalu siap.
Jika ayah ijinkan untuk buat hitung-hitungan,
Dengan sialan-sialan yang bahkan belum seperti ayahku saja sudah mabuk kepayang.
Sialan.
Ayahku selalu menahan, mengalihkan.
Tiap sampai percakapan bahas para sialan. Ayah mengajariku untuk menghadapi pandir cukup dengan senyuman.
Aku tau sekarang,
Tak ada kemenangan dan kehormatan dengan cara dan sikap bodoh yang rendahan.
Tak perlu kepuasan yang kelak membuat malu ketika diingat,
Rasa hebat yang tak akan bisa dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Tuhan.
—
Malam ini sebelum hari qurban berlalu, aku bertanya pada Dia Yang Maha Tau, bisakah aku seperti ayahku?
Membawa diri di pucuk tertinggi,
Menempatkan diri ketika sedang diuji.

Mungkin diamnya dan sabarnya yang sudah teramat lama,
Bagian dari cara ayah untuk menggugurkan beban kelak saat semua harus mempertanggungjawabkan.

Begitulah cara ayah.
Memahami betul peran sebagai makhluk yang berasal dan berakhir di tanah,
Untuk tidak pongah melangit.
Karena membumi tak akan pernah membuat jatuh.

Ternyata lahir dan mati hanya diisi antara,
Untuk taat kepada dzat Yang Maha, mengumpulkan bekal, mengurai beban.

Agar nanti pada harinya, bisa mempertanggungjawabkan.
Karena hari itu kita sendirian,
Tanpa ayah yang biasanya pasang badan  dan sigap beri bantuan.
Tanpa ibu yang doanya selalu menyelamatkan dan memilih menderita untuk penuhi keinginan segumpal daging yang ia lahirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun