Ridwan Kamil adalah tokoh muda yang juga dibesarkan oleh Prabowo. Dia berhasil menjadi Wali Kota Bandung atas dukungan penuh dari PKS dan Gerindra. Bahkan, Prabowo menyatakan telah mewakafkan Ridwan Kamil sepenuhnya untuk rakyat Bandung. Prabowo tidak meminta imbalan apa pun darinya. Ia tak perlu menjadi kader partai. Ia diberi tugas untuk memenuhi janji kampanye memajukan Kota Bandung. Sebagaimana jamak diketahui, Prabowo adalah sosok pemimpin yang telah melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Sebut saja Jokowi, Ahok, Anies Baswedan, dan Sandiaga Uno, nama-nama tersebut merupakan tokoh-tokoh politik baru yang dibesarkan oleh Prabowo. Demikian juga dengan Ridwan Kamil.Â
Pada pilkada DKI 2017, nama Ridwan Kamil sempat muncul sebagai salah satu kandidat calon gubernur. Namun, belakangan ia mengumumkan keputusannya untuk tidak ikut dalam pertarungan politik di Ibu Kota. Konon, dia memutuskan demikian setelah menerima "nasihat" dari Presiden Jokowi. Meski memutuskan tidak maju di DKI, Ridwan menyatakan siap jika diminta untuk maju sebagai kandidat gubernur Jabar pada 2018.
Tak lama setelah pilkada DKI putaran pertama usai, publik dikagetkan oleh deklarasi dukungan Nasdem untuk Ridwan Kamil. Peristiwa politik yang terjadi tiba-tiba itu mengagetkan banyak orang. Banyak yang awalnya simpati menjadi antipati karena kecewa. Pada titik ini, publik membaca ada "gelagat pengkhiatan" sang wali kota kepada partai pengusungnya, yaitu PKS-Gerindra, dan juga kepada Prabowo. Ada indikasi bahwa Ridwan Kamil ingin merapat ke partai koalisi pemerintah dengan menjadikan deklarasi dari Nasdem sebagai langkah awal. Benarkah begitu? Tentu, hanya Tuhan dan Ridwan Kamil yang tahu isi pikiran sang wali kota tersebut. Akan tetapi, mari kita coba membaca isi hati Ridwan Kamil dengan mengikuti kronologi politik berikut ini.
Pertama, jauh-jauh hari, PKS dan Gerindra sebagai partai pengusung di Kota Bandung sebenarnya punya inisiatif untuk mengusungnya di DKI. Artinya, di mata kedua partai ini, sosok Ridwan Kamil sebenarnya memiliki kedudukan khusus yang spesial. Baca beritanya
Kedua, setelah merenung panjang, dan diperkuat oleh "nasihat" Jokowi, akhirnya Ridwan Kamil memutuskan untuk menolak ajakan PKS dan Gerindra. Ingat, di sini posisi Ridwan adalah dipinang, bukan meminang. Baca beritanya
Ketiga, Ridwan Kamil menyatakan bahwa dia baru akan memutuskan maju atau tidak di pilkada Jabar setelah mengetahui hasil Pilkada DKI. Menurutnya, hasil pilkada DKI akan berpengaruh pada pertarungan politik di Jabar. Baca beritanya:
Keempat, setelah pilkada DKI putaran pertama, tiba-tiba Ridwan Kamil menghadiri deklarasi dari Nasdem. Ingat, sebelumnya ia menyatakan akan menunggu hasil pilkada DKI. Akan tetapi, baru putaran pertama pilkada DKI usai, ia sudah merasa mantap untuk maju melalui Nasdem. Sebagai catatan, pada putaran pertama pilkada DKI, pasangan yang mendapat suara tertinggi adalah Ahok-Djarot yang diusung koalisi partai pemerintah, termasuk Nasdem. Baca beritanya
Kelima, di luar dugaan semua pihak. Biasanya pemenang pilkada DKI pada putaran pertama akan keluar sebagai pemenang juga pada putaran kedua. Ternyata, pemenang pada putaran kedua adalah pasangan yang diusung koalisi PKS-Gerindra, Anies-Sandi, dengan selisih suara yang sangat jauh melampaui Ahok-Djarot. Ridwan Kamil pun mengucapkan selamat kepada Anies-Sandi.
Keenam, PKS dan Gerindra menyatakan sudah tidak lagi melirik Ridwal Kamil sebagai calon yang akan diusungnya di Jabar. Baca beritanya
Dengan membaca kronologi di atas, saya berpendapat bahwa kecurigaan publik bahwa ada gelagat "pengkhianatan" dari Ridwan Kamil memang sulit untuk dibantah. Mengapa timing deklarasi Nasdem untuk Ridwan Kamil adalah pascapilkada DKI putaran pertama yang menempatkan Ahok-Djarot pada posisi teratas dan tidak menunggu hasil final?Â
Bukankah Ridwan Kamil sebelumnya telah menyatakan akan melihat hasil pilkada DKI terlebih dahulu sebelum memutuskan maju atau tidak di Jabar? Mungkinkah saat itu Ridwan Kamil memprediksi bahwa Pilkada DKI akan dimenangkan oleh Ahok-Djarot sebagaimana di putaran pertama, dan oleh karenanya dia menjadi mantap untuk maju di Jabar dengan diusung oleh partai yang mengusung Ahok-Djarot di DKI?
Sulit rasanya untuk menyangkal kecurigaan ini. Tapi, terlepas dari segalanya, publik tentu mengharap yang terbaik untuk semuanya. Semua masih sangat cair. Masih sangat dinamis. Perjalanan masih cukup jauh. Masih banyak drama politik yang akan terjadi. Mari, kita tunggu drama apa lagi yang akan terjadi setelah ini. Masih mungkinkah Ridwan Kamil "rujuk" ke pelukan dua partai yang telah membesarkannya, Gerindra-PKS?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H