Dalam pertarungan menuju DKI 1 pada tahun ini, faktor Jokowi tampaknya masih menyisakan pengaruh yang cukup kuat. Yang dimaksud dengan “faktor Jokowi” di sini bukan tentang dukungan sang Presiden kepada salah satu kandidat gubernur yang kini sedang bersaing, namun lebih pada makna personality sang Jokowi.Publik Jakarta tentu masih sangat ingat pertarungan sengit antara Jokowi vs Foke pada 2012 silam, yang mana ada saat itu hampir semua lembaga survey memprediksi bahwa Foke akan menang telak di atas Jokowi. Ternyata, logika publik berkebalikan dari opini yang ingin dibangun oleh media mainstream dan lembaga-lembaga survey saat itu. Publik menggunakan rasionalitasnya dan menjatuhkan pilihannya kepada Jokowi.
Pola-pola opinion building seperti itu digunakan lagi pada Pilkada DKI tahun ini. Kita sudah sulit untuk mengatakan bahwa media netral dalam pemberitaan. Faktanya, media-media saat ini, termasuk lembaga survey, banyak yang menjadi partisipan. Media dan lembaga survey juga membawa agenda politik. Dalam banyak pemberitaan tentang Pilkada, misalnya, seringkali kita merasakan bahwa framing pemberitaan itu menggiring opini publik untuk mendukung calon tertentu yang didukung oleh (pemilik) media tersebut. “Prestasi” kandidat tertentu yang ingin didukung di-blow up besar-besaran, sedangkan celah kekurangan kandidat lainnya yang hanya secuil dibesar-besarkan sedemikian rupa.
Berikut ini adalah beberapa contoh “logika media” yang sedang gencar dibangun untuk menggiring opini publik, yang sesungguhnya logika tersebut sangat menyesatkan jika kita mau berpikir jernih:
Pertama, tentang “Pemilih Rasional”
Dalam diskusi tentang Pilkada DKI di televisi, seringkali kita mendengar “analisis” seorang pengamat politik yang membagi karakteristik pemilih ibu kota menjadi tiga, yaitu pemilih rasional, sosiologis, dan psikologis. Kemudian, pemilih sosiologis dan psikologis didefinisikan oleh “pengamat” tersebut sebagai pemilih yang menentukan pilihan karena faktor agama, suku, atau primordial. Sedangkan pemilih rasional diterjemahkan sebagai pemilih yang menentukan pilihan karena program dan visi misi kandidat.
Logika ini sungguh menyesatkan. Bukankah semua orang pasti akan memilih pemimpin yang dianggap paling bisa mewakili kepentingan dirinya? Oleh karena itu, memilih dengan melihat agama sang calon adalah sikap yang rasional. Kita sedang mencari pemimpin. Bukan sekadar mencari “pelaksana program”. Justru sangat tidak rasional jika ada orang yang memilih hanya dengan melihat program kerjanya, tanpa melihat agamanya, moralnya, etikanya, leadership-nya, sopan santunnya, dan lain sebagainya.
Kedua, tentang “Pemimpin gaya Motivator”
Pasca debat pertama tanggal 15 Januari, banyak pihak yang menyindir kandidat gubernur tertentu yang dinilai bergaya dosen dan motivator. Oleh beberapa media, hal ini dibesar-besarkan seolah-olah calon gubernur yang bergaya motivator tidak layak menjadi pemimpin. Seolah-olah, jika bergaya dosen hanya bisa teori dan tidak mampu mengeksekusi sebuah kebijakan. Ini adalah logika sesat yang ingin coba dibangun oleh media-media partisipan. Coba kita balik pertanyaannya, lebih pilih mana: pemimpin bergaya motivator atau pemimpin bergaya preman yang ucapan dan sikapnya sering kasar dan meledak-ledak di luar kontrol?
Sebenarnya masih banyak “logika sesat” lain yang perlu kita kupas satu persatu. Dan, jika kita bertanya siapakah calon gubernur DKI yang paling “diasingkan” oleh media dan lembaga survey? Jawabannya adalah Anies Baswedan. Namun mutiara yang dilumuri lumpur tetaplah mutiara. Rakyat memiliki hati nurani yang tidak bisa dibohongi. Karena rakyat cinta Jokowi, rakyat akan memilih Anies Baswedan, penerus ideologis Jokowi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H