“….Itu namanya teori, ngajar jadi dosen di kampus itu ya teori. Cuma ngomong saya mau bangun ini bangun itu tapi gak ada actionnya. ….. saya kira pasangan nomor tiga mungkin gayanya dosen ya… “
(Kutipan kalimat Ahok pada debat perdana KPU 13/1)
Debat perdana cagub-cawagub DKI yang diadakan resmi oleh KPU menyisakan berbagai kontroversi. Setelah debat resmi berakhir, debatan lanjutan, khususnya di media sosial, masih terus berlanjut. Salah satu yang menjadi sorotan publik dalam debat tersebut adalah serangan Ahok terhadap profesi dosen. Ahok mengkritik Anies dengan menyebutnya hanya berteori karena Anies adalah seorang dosen. Sontak, kata-kata ini mendapat kritikan serius dari publik karena dianggap telah merendahkan profesi dosen.
Dalam debat, sebenarnya sah-sah saja jika masing-masing kandidat saling mengkritisi. Namun, yang seharusnya dikritisi adalah kebijakan, gagasan, program, atau mungkin personality kandidat dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, bukan menyerang profesi tertentu yang disandang kandidat.
Kata-kata Ahok yang menyebut Anies hanya bisa berteori karena dia berprofesi sebagai dosen, sesungguhnya bukan merupakan kritikan, tapi justru penghinaan terhadap profesi dosen yang tentu menyakiti perasaan banyak orang, khususnya kalangan pendidik yang selama ini telah mendedikasikan diri di dunia pendidikan. Seharusnya, jika Ahok ingin mengkritik Anies karena dianggap belum bisa membuktikan gagasannya, cukup dengan mengatakan bahwa Anies belum bisa membuktikan ide-idenya karena belum memiliki track record menjadi kepala daerah, tidak perlu membawa-bawa profesi dosen yang disandang Anies.
Padahal, di awal debat, Ahok sudah cukup mengundang simpati publik ketika mengatakan bahwa dia ingin belajar menjadi lebih santun. Tampaknya Ahok benar-benar memahami emosi publik yang tidak senang dengan gaya komunikasinya. Untuk itu, di awal debat, Ahok berusaha “merayu” kelompok yang selama ini tidak menyenanginya tersebut dengan mengatakan bahwa dia siap memperbaiki gaya komunikasinya agar sesuai dengan “selera” publik.
Khususnya publik yang selama ini kontra terhadapnya. Akan tetapi, kata-kata manis itu pada akhirnya hanya menjadi TEORI yang tidak terbukti. Penghinaannya terhadap profesi dosen yang menurutnya “hanya bisa berteori” justru menegaskan fakta bahwa komitmen Ahok untuk menjadi lebih santun hanyalah sebuah TEORI dan isapan jempol semata. Publik tidak melihat pada apa yang diucapkan, tapi apa yang dilakukan.
Seharusnya, pilkada merupakan panggung untuk saling mengadu ide dan gagasan. Bukan untuk saling menjatuhkan dan menyerang secara pribadi. Oleh karena itu, jauh-jauh hari KPU telah menghimbau kepada para kandidat dan masyarakat agar menjauhi isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) dalam kampanye. Masing-masing kandidat diperbolehkan untuk saling mengkritik gagasan dan ide, namun tidak boleh membawa aspek ke-SARA-annya. Boleh mengkritik kebijakan kandidat, tapi tidak boleh mengkritik kandidat karena agamanya, karena etnisnya, atau karena golongannya.
Apa yang dilakukan Ahok dalam debat perdana kemarin (13/1) sungguh jauh dari etika SARA. Seperti dalam kasus di atas, Ahok bukan hanya menyerang Anies, tapi juga menyerang “golongan” Anies, yaitu profesi dosen. Publik sangat mengharap agar pesta demokrasi di negeri ini bermartabat. Tidak diwarnai dengan kegaduhan yang tidak produktif yang lahir dari kata-kata dan perilaku yang tidak pantas dari seorang calon pemimpin yang seharusnya menjadi teladan yang baik bagi rakyatnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H