Masih ingat pilkada DKI 2012? Saat itu, semua lembaga survey, tanpa terkecuali, menempatkan pasangan Foke–Nara di urutan pertama dengan elektabilitas antara 40 sampai 49 persen. Bahkan, survey terakhir yang dirilis sepuluh hari terakhir menjelang pencoblosan masih menempatkan Foke sebagai juara dengan perolehan lebih dari 49 persen dan berpotensi memenangkan pertarungan dalam satu putaran.
Tapi, bagaimana hasilnya? Yang keluar sebagai pemenang adalah Jokowi, yang pada survey terakhir hanya memperoleh elektabilitas sekitar 17 persen di hampir semua lembaga survey. Jokowi justru unggul telak dengan perolehan 42 persen. Sedangkan, Foke yang menjuarai survey hanya berada di urutan kedua dengan 34 persen.
Banyak analisa yang berusaha menjelaskan fenomena tersebut. Ada yang mengkritisi metodologi survey yang digunakan. Tidak sedikit juga yang menaruh kecurigaan bahwa lembaga survey tidak netral dalam melakukan survey, sehingga hanya dijadikan alat politik oleh pihak tertentu untuk menciptakan opini.
Namun, terlepas dari itu semua, melesetnya semua lembaga survei dalam membaca peta dukungan masyarakat ibu kota pada Pilkada menegaskan satu fakta bahwa karakteristik pemilih di Jakarta sangat unik. Keunikan itu dicirikan dengan rasionalitas yang tinggi. Pemilih Jakarta didominasi oleh pemilih rasional, bukan pemilih emosional yang melankolis dan sangat mudah digiring melalui pencitraan, termasuk pencitraan yang dibangun dengan lembaga survey.
Berkaca pada hal tersebut, maka survey-survey yang bermunculan pada pilkada DKI 2017 ini tidak dapat dijadikan alat ukur untuk membaca siapa yang akan memenangkan pilkada. Namun, jika menggunakan “logika awam” dengan membaca pola survey pada Pilkada 2012 dan 2017, saya berkeyakinan yang akan memenangkan konstalasi politik justru pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Alasannya sederhana, baik Anies atau Jokowi tidak pernah unggul dalam setiap survey.
Pada pilkada kali ini, pemenang survey selalu bergantian antara Agus Yudhoyono dan Basuki Tjahaya Purnama. Anies selalu berada di urutan ketiga. Polanya hampir sama dengan Foke yang selalu merajai survei pada 2012 silam. Untuk itu, saya berkeyakinan bahwa hasil pencoblosan 15 Februari 2017 yang akan datang justru akan memenangkan Anies Baswedan, calon yang paling “dikucilkan” oleh lembaga survey, sama dengan Jokowi pada 2012 yang dalam semua survey tidak pernah memperoleh suara lebih dari 17 persen. ***
Sebagai tambahan, silahkan membaca ulang: Melesetnya Semua Survey di Jakarta 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H