Riak-riak revolusi industri keempat perlahan tengah menapaki semua negara. Situasi yang akhirnya memperhadapkan negara pada kompleksitas lingkungan disertai dengan perubahan sosial, ekonomi dan budaya yang signifikan tak terbendung. Beranjak dari pengalaman sebelumnya, setiap perubahan mutlak akan menimbulkan kejutan-kejutan, termasuk apakah perubahan akan mendatangkan keuntungan atau justru membenamkan hingga berujung pada kerugian dan kematian.
Oleh organisasi, perubahan lingkungan yang terjadi tidak serta merta bisa dihindari begitu saja. Organisasi dan lingkungannya merupakan satu paket kesatuan yang saling melekat dan terhubung, karena organisasi merupakan suatu sistem yang sifatnya terbuka. Maka dari itu, melihat sisi bernegara hari ini, pemerintah dengan segala kapasitasnya dituntut harus mampu menjawab keresahan yang diakibatkan oleh pergeseran pola perilaku masyarakat global. Seperti perubahan ekspektasi masyarakat sebagai konsumen yang harus diimbangi dengan inovasi, perbaikan produk dan jasa, penentuan kebijakan pemerintah guna menciptakan lapangan pekerjaan dan sebagainya.
Upaya merealisasikan produk kebijakan tentu bukanlah perkara mudah. Apalagi terkait dengan kebijakan yang mesti diputuskan ditengah-tengah ketidakpastian dan perubahan yang tiada hentinya berlangsung. Pemerintah harus cerdas, memikirkan solusi yang tepat melalui pembelajaran organisasi secara terus menerus. Jika tidak, bukan tidak mungkin negara akan mengalami peluruhan secara berangsur-angsur, karena gagal mengeksekusi kebijakan adaptif.
Pemerintahan Dinamis
Dapatkah lembaga-lembaga pemerintah menjadi dinamis ?, satu pertanyaan mendasar yang acapkali penting untuk segera ditemukan jawabannya. Karena selama ini lembaga pemerintah biasanya tidak dipersepsikan sebagai organisasi yang dinamis dan inovatif. Akan tetapi identik sebagai organisasi yang lamban, gemuk, dan statis, tanpa pernah berpikir memperbaharui aturan yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Maka tidak mengherankan, apabila masih ditemukan organisasi pemerintahan yang masih berkutat pada prosedur dan mekanisme kerja yang begitu kaku. Karena ia sejatinya belum mengembangkan kemampuan dinamis (dynamic capabilities) dalam pemerintahan.
Pemerintahan dinamis (dynamic governance) berusaha mengubah haluan organisasi yang memungkinkan kita dapat terus berpacu di tengah jalan mulus. Menjadikan lingkungan sebagai kawan yang senantiasa dapat mendatangkan pelbagai keuntungan. Neo dan Chen (2007) dalam buku berjudul dynamic governance juga menegaskan bahwa dynamic governance adalah sebuah konsep yang menekankan bagaimana bekerjanya berbagai kebijakan, institusi dan struktur yang telah disusun agar mampu beradaptasi dengan kondisi ketidakpastian dan perubahan sehingga dapat tetap relevan dan efektif untuk mencapai tujuan dan keinginan-keinginan jangka panjang.
Kondisi dinamis pemerintah ini ditempuh melalui pembangunan jalur adaptif (adaptive path)Â dan kebijakan adaptif (adaptive policy) sehingga menghasilkan kebijakan yang efektif. Jalur adaptif yang dimaksud menekankan pada mekanisme pengambilan keputusan yang tidak berbelit-belit namun tetap berjalan dalam koridor hukum. Sedangkan kebijakan adaptif merupakan sumber dari gagasan dan tindakan yang akan melahirkan sejumlah inovasi pemerintahan dan merupakan kunci penting dalam dinamisasi kebijakan.
Ibarat sebuah kereta api, perangkat lokomotif diesel yang canggih tentu tidak dapat berguna sama sekali tanpa ketersediaan rel yang menjadi landasan melajunya kereta. Begitu halnya dengan pengelolaan birokrasi pemerintahan, bukan hanya menekankan pada konteks reformasi struktural, kelembagaan maupun ketatalaksanaan. Akan tetapi, jauh didalamnya juga menyangkut aspek substansial berupa institutional culture yang menjadi pondasi gerak aktivitas pemerintahan.
Agar dynamic governance bisa terlaksana dengan baik, maka peran institutional culture sangatlah sentral. Budaya birokrasi dapat menjadi representasi pembelajaran bersama secara adaptif dalam upaya menerjemahkan permasalahan-permasalahan di masa lalu. Misalnya terkait budaya integrity (integritas), incorruptibility (tidak korupsi), meritocracy (berdasar pada pencapaian prestasi) dan seterusnya. Proses belajar tersebut, dimaknai sebagai hasil dari pengalaman organisasi yang selama ini hadapi. Kemudian bagaimana pengalaman tersebut dirasakan, disaring, dikategorikan dan ditafsirkan melalui model mental organisasi. Perubahan budaya, keyakinan, asumsi dan model mental ini diperlukan untuk melakukan perubahan kelembagaan yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan apakah kebijakan publik akan dilaksankan, dipertimbangkan kembali, didesain ulang atau diperbarui.
Good Thinking and Good PeopleÂ
Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang hadir memecahkan persoalan. Konten kebijakan sebaiknya harus bisa mengurai dilema, proyeksi, keuntungan positif dan negatif dari pelbagai kasus kebijakan yang terjadi. Cara berfikir pemerintah pun harus segera diubah, disesuaikan dengan aspek kemampuan dinamis (dynamic capabilities) yang mengedepankan kemampuan thinking ahead, thinking again dan thinking across. Ini penting, untuk melanggengkan posisi pemerintah sebagai aktor utama dalam perumusan kebijakan publik.Â