Kedua, kurangnya integritas penegak hukum menyebabkan banyak kasus bersifat manipulatif. Apalagi aparat penegak hukum juga kerap terlibat kasus korupsi. Dalam situasi seperti ini, sinergitas tentu sangat dibutuhkan baik antara institusi penegak hukum yang dimotori kepolisian, kejaksaan dan KPK maupun dengan media dan NGO yang menyuarakan gerakan anti korupsi.
Jangan sampai perilaku korupsi malah lebih banyak menjerat aparat penegak hukum seperti yang terjadi pada kasus suap hakim MK belakangan ini. Begitu juga dengan data Global Corruption Barometer (GCB) 2017 dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) yang juga menempatkan lembaga kepolisian masuk 5 besar lembaga terkorup di Indonesia.
Apabila menelisik penyebab lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi maka dibutuhkan pemahaman relasi antara pelaku dan kekuasaan. Di tingkat tertentu, relevansi kekuasaan politik dan aparat penegak hukum bisa jadi tidak berjarak. Ladang pendapatan yang terganggu mengakibatkan munculnya intervensi politik yang mempengaruhi pengambilan keputusan aparat penegak hukum yang berasal dari koalisi atau warna politik yang sama. Menyebabkan penegakan hukum lebih sering sebagai wacana ketimbang sesuatu yang nyata dan berkeadilan.
Ketiga, lingkungan pendidikan menjadi dasar penanaman budaya anti korupsi. Hal ini tidak terbatas pada institusi pendidikan formal saja, akan tetapi lingkungan keluarga mengambil peran sangat penting dalam menanamkan perilaku anti korupsi sejak dini. Meskipun hari ini, perilaku korupsi kerapkali diklaim sebagai budaya baru pejabat publik. Namun dengan penanaman semangat anti korupsi melalui lingkungan pendidikan tentu akan mengubah pola budaya kedepan melalui afirmasi positif.
Kurikulum pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah, atau keterlibatan individu dalam pencegahan praktek korupsi sejak dini merupakan contoh kecil hal yang bisa dilakukan. Jika semangat dan perilaku anti korupsi baru hanya disuarakan ketika berperan sebagai aktivis mahasiswa, maka idealisme itu belum tentu akan terjaga ketika suatu saat beralih peran sebagai pejabat publik. Karena faktanya tak sedikit dari pelaku korupsi ternyata merupakan aktivis kampus sewaktu muda. Oleh karena itu, salah satu potensi terbesar untuk melakukan pencegahan korupsi kedepan ialah penanaman budaya anti korupsi sejak dini.
Tentu saja, beberapa poin di atas hanya merupakan sebagian alasan mengapa korupsi masih menjamur menjadi patologi negara yang sulit diobati. Proses utama selanjutnya adalah bagaimana mencoba menyuarakan komitmen anti korupsi melalui aksi kolektif. Membangun sinergitas untuk sama-sama terlibat di segala aspek yang berpotensi menganggu stabilitas negara dan kesejahteraan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H