Tema jihad dalam Islam merupakan salah satu tema besar yang sangat penting dan memiliki pengaruh kuat dalam menjaga sendi-sendi ajaran Islam.
Jihad merupakan puncak tataran Islam dan para pelakunya akan menempati tingkatan yang paling tinggi di surga. Tanpa jihad, keagungan risalah Islam hanya akan mengalami gerhana; sinarnya ada namun tidak pernah sampai kebumi.
Akan tetapi, masih banyak orang yang keliru dalam memahami perkara Jihad dan mendudukannya bukan pada tempat yang semestinya.
Dalam kamus al-Munjid, Jihad sendiri adalah isim masdar dari fi'il jahada, artinya mencurahkan kemampuan. Sementara secara terminologi, para ulama fiqh pada umumnya mendefinisikan jihad sebagai perang.Â
Sayyid Sabiq misalnya, dalam bukunya Fiqh Sunah mendefinisikan jihad sebagai melakukan segala usaha dan berupaya sekuat tenaga serta menanggung segala kesulitan dalam nemerangi musuh dan menahan agresinya. Kata jihad dalam al-quran terulang 41 kali dengan beragam bentuknya.Â
Akar Rumput Terorisme
Jauh sebelum wacana dunia tentang terorisme, muncul di permukaan dengan istilah Fundamentalisme. Di dalam bahasa Arab, fundamentalisme atau al-ushuliyyah berarti mendasar atau berdisiplin dalam menjalankan kewajiban agama.
Fundamentalis Islam sangat dianjurkan dalam menjalankan perintah-perintah agama sesuai dengan Al-Quran dan sunnah.
Pada tahun 35 H, khalifah Usman Ibnu Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa khalifah Ali Ibnu Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam.
Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politik, berkembang menjadi sebuah ideologi yang dikenal dengan paham Khawarij.
Gelombang revivalisme (kebangkitan) Islam di timur tengah muncul pada dekade ke tujuh abad ke 20 M. Kurun waktu yang bertepatan dengan momentum abad baru hijriah, abad ke 15.
Sebuah momentum yang terkait dengan kepercayaan umat Islam, bahwa setiap abad baru akan melahirkan seorang pembaharu (mujaddid) keyakinan umat dan perbaikan kondisi komunitas umat Islam.
Dalam tradisi Barat istilah fundamentalisme dalam Islam sering ditukar dengan istilah lain, seperti: ekstrimisme Islam sebagaimana dilakukan oleh Gilles Kepel.
Sedangkan, Emmanuel Sivan mengatakan bahwa Fundamentalis diistilahkan dengan nama Islam radikal, integrisme, revivalisme, atau Islamisme. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan gejala kebangkitan Islam yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang sangat ekstrim.
Seiring munculnya istilah fundamentalisme dan radikakalisme maka lahirlah istilah terorisme yang secara khusus tidaklah ditemukan dalam nash baik al-Qur'an maupun hadis begitupula dengan pendapat para ulama.Â
Akan tetapi, terorisme secara umum banyak disebutkan dalam kitab-kitab fiqh, baik yang klasik maupun kontemporer.
Menurut Kasjim Salenda bahwa terorisme dapat di artikan sebagai al-Irhb (irhbiyyah), al-hirbah (perampokan), al-baghy (pemberontakan), qthi' al-Tharq atau quthth ' al-tharq (pembegal), dan al-'unf lawan dari kelemahlembutan).
Istilah tersebut bisa dikategorikan sebagai terorisme misalnya dilakukan dengan aksi kekerasan, menimbulkan kepanikan masyarakat, menimbulkan kerugian jiwa dan materi lainnya, serta memiliki tujuan politik.
Dari makna tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa, teroris berasal dari kata kerja "teror" dengan imbuhan "isme". Kata teror berasal dari bahasa latin "terrer yang berarti menyebabkan ketakutan".
Teroris adalah pelaku terror. Sedangkan terorisme mempunyai arti paham yang berprinsip bahwa teror adalah suatu jalan, taktik untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Meskipun antara jihad dan teroris di Indonesia sering dikaitkan. Para ilmuwan dan ulama dengan tegas mengatakan bahwa terorisme sama sekali tidak ada hubungan dengan atas nama agama/jihad.
Jihad dianggap hanya sebagai korban yang tidak bersalah dan dalam beberapa hal bahkan tidak relevan. misalnya, mengatakan bahwa tindakan terorisme dalam bentuk bom bunuh diri pada dasarnya adalah untuk memperoleh kemerdekaan nasional dari pendudukan militer asing dari satu negara demokratis.Â
Dengan demikian, menekankan peran faktor politik, yaitu gerakan pembebasan negara dalam kemunculan terorisme bom bunuh diri. Meskipun dibeberapa tempat menyebutkan ada peran agama dalam terorisme, khususnya dalam bentuk bom bunuh diri.Â
Tetapi secara umum di dalam analisisnya motif agama tidak relevan karena alasan ini maka dia tidak mencoba menjelaskan peran agama yang sangat jelas kelihatan dalam tindakan-tindakan kekerasan dan terorisme yang dilakukan oleh anggota dari berbagai macam agama dan sekte yang terjadi di seluruh dunia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H