Mohon tunggu...
Fahri Ali Ashofi
Fahri Ali Ashofi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak masa lalu

Fahrialiashofi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisruh Politik: Demokrat Bukan yang Pertama dan Terakhir

8 Maret 2021   03:03 Diperbarui: 8 Maret 2021   06:44 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia terus dilanda dengan berbagai isu dan konflik. Diantaranya konflik partai politik. Berlatar belakang masalah yang berbeda perpecahan partai politik di Indonesia sangat rentan terjadi.

Sejarah mencatat, perpecahan partai politik di Indonesia terjadi sejak tahun 1955 dimulai ketika partai-partai Islam dan Nasionalis. Kemudian berlanjut hingga era reformasi dengan tiga partai politiknya di masa itu yakni Golkar, PPP, dan PDI. 

Perpecahan parpol yang terjadi di Indonesia adalah suatu hal yang lumrah dan biasa. Ujung yang  paling jauh, pihak yang tak puas keluar dan membuat kongres atau muktamar versinya masing-masing. Kemudian mereka mengklaim kepengurusan yang paling sah sesuai dengan AD/ADR partai. 

Kecenderungan elite parpol membuat tandingan merupakan keniscayaan dalam politik. Sejatinya politik itu kekuasaan dan jabatan, meskipun kaum idealis selalu mengidealkan politik seperti cita-cita Plato dan para filsuf lainnya. Jika politik itu kekuasaan, maka elite politik cenderung merebut jabatan tertinggi dalam politik dan menyingkirkan lawan-lawannya.

Akibat dualisme kepemimpinan lahirlah kepengurusan ganda di tubuh partai tersebut. Masing-masing kubu mengklaim merekalah yang paling sah, paling sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, dan paling legal.

Padahal peraturan UU Parpol telah detil mengatur tentang syarat pendirian, pembentukan, pembubaran, dan pengawasan terhadap partai politik, termasuk di dalamnya mengenai kepengurusan dan keuangan. Jika terjadi sengketa internal partai politik dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri adalah putusan pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi ke MA. 

Dalam artikel ini saya tidak bermaksud menelaah dari aspek politik namun menelaah dari segi sejarah partai partai mana saja yang pernah merasakan dualisme kepemimpinan di masa Orde Baru sampai sekarang. 

1. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sebelum menjadi partai penguasa 10 tahun terakhir, PDI sebelumnya telah mengalami dualisme kepengurusan yaitu antara kubu Megawati Soekarnoputri dan kubu Soerjadi. 

Berlatar belakang dari kubu Megawati yang membebastugaskan 16 fungsionaris pengurus DPP PDI, kemudian diperkuat dengan keluarkannya SK Ketua Umum DPP PDI bernomor 01-KU/KPTS/VI/1996 yang ditandatangani Megawati Soekarnoputri, konflik dualisme kepemimpinan antara Megawati dengan Soerjadi dimulai. 

Soerjadi adalah ketua umum DPP PDI pada periode 1988-1993. Sebagai ketua, dia mempunyai tekad yang kuat untuk menaikan pamor dan simpatisan masyakarat. Diantara caranya ialah menarik trah Soekarno ke dalam tubuh PDI, hingga akhirnya Megawati dan Guruh Soekarno bergabung ke partai PDI. 

Keberhasilan mendaratkan trah Soekarno membawa efek yang baik untuk partai PDI di pemilu 1987, PDI berhasil menaikkan elektabilitas dengan memperoleh 10 persen suara atau setara 40 kursi. Lalu, di masa Pemilu 1992, PDI mendapatkan 14 persen dukungan yang setara 56 kursi di pemilu 1987. 

Kehadiran trah Soekarno ke dalam tubuh PDI dirasa mampu mengobati kerinduan simpatisan dengan Soekarno. Sehingga di akhir cerita, keberadaan Megawati di lingkaran PDI meresahkan pemerintah periode Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. 

Pada 21 Juli 1993, Kongres IV PDI di Medan memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, jabatan ini tidak disetujui oleh beberapa pihak. Alasannya, Soerjadi terlibat dalam aksi penculikan kader sebelum kongres berlangsung, tujuh saksi menuding Soerjadi sebagai dalang penculikan dan penganiayaan kader PDI bernama Edi Sukirman dan Agung Imam Sumanto.

Efek dari situasi itu berimbas kepada suara Soerjadi sebagai ketua umum dan mendapatkan penolakan sebagian besar kader PDI. Dan pada akhirnya pada bulan Agustus 1993, Menkopolhukam Soesilo Sudarman pada saat itu mengatakan Kongres Medan tidak sah dan memutuskan menggelar kongres luar biasa (KLB) PDI di Surabaya (selanjutnya KLB Surabaya).

Kegagalan Kongres IV PDI di Medan, memunculkan nama Megawatai Soekarnoputri yang didukung warga PDI untuk menjadi ketua umum karena dianggap sanggup menjadi tokoh pemersatu PDI. Hal tersebut, membuat pemerintah merasa khawatir dengan fenomena itu. Pemerintah mengadang langkah Megawati dengan menerbitkan larangan mendukung pencalonan Megawati dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur.

Namun hasil yang diperoleh adalah sebaliknya, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi. Megawati pun dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto. Pada Musyawarah Nasional (Munas) 22-23 Desember 1993 di Jakarta, secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI.

Konflik internal PDI tetap terjadi setelah berakhirnya Munas. Kelompok Yusuf Merukh melawan Fatimah Achmad yang mendapatkan dukungan pemerintah masa Orde Baru. Dukungan yang diberikan oleh pemerintah Orba melancarkan dilaksanakannya menyelenggarakan Kongres pada 22-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan, dan menetapkan  kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. 

Pasukan Megawati melayangkan protes kepada pemerintah, demonstrasi pendukung Megawati pun sulit dihindarkan, hingga lahirlah tragedi 27 Juli 1996 bernama peristiwa Akronim dari Kerusuhan dua puluh tujuh Juli  disingkat kudatuli. 

Setelah peristiwa bersejarah itu, Megawati dan pasukan setianya melakukan aktivitas sebagai pengurus DPP PDI walaupun berpindah dari satu tempat ketempat yang lain. Selain itu, Megawati mengambil sikap dengan tidak melakukan kampanye nasional atas nama PDI pada tahun 1997 dan imbasnya suara PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi melorot tajam dengan memperoleh suara 11 kursi di DPR. 

Tak lama setelah pemilu 1997 terjadilah peristiwa reformasi tahun 1998 untuk melengserkan Soeharto dari kursi Presiden yang telah di embannya 32 tahun. Peristiwa itu membawa angin segar untuk Megawati untuk melambungkan namanya dan partai PDI. 

Namun, lagi-lagi sikap pemerintah tetap konsisten mendukung kepengurusan DPP PDI Soerjadi dan sekjennya. Megawati pun mengubah nama PDI menjadi PDI perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 supaya dapat mengikuti Pemilu 1999. Nama ini disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal dan kemudian dideklarasikan pada 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Jakarta. 

PDI Perjuangan melaksanakan Kongres I pada 27 Maret sampai 1 April 2000 di Hotel Patra Jasa, Semarang, Jawa Tengah. Megawati ditetapkan sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan. Hingga saat ini, kendali PDI Perjuangan tidak pernah terlepas dari peran Megawati. Pada Kongres IV PDI Perjuangan di Bali tanggal 8-12 April 2015, sosok Megawati kembali dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan periode 2015-2020.

2. Golongan Karya (Golkar)

Sebagai partai besar di masa orde baru dan cenderung melekat dengan purnawirawan TNI. Nyatanya Golkar di masa pemerintahan Jokowi pernah mengalami gonjang-ganjing dualisme kepemimpinan. 

Pimpinan pertama di pimpin oleh Aburizal Bakrie yang terpilih di kongres yang di Bali. Sementara pimpinan kedua di pimpin oleh Agung Laksono yang terpilih dalam kongres di Ancol, Jakarta. 

Berlatar belakang dari perbedaan sudut pandang. Perpecahan partai Golkar tidak bisa dielak lagi. Kubu Agung Laksono yang merapat kepada Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mendapatkan respon negatif dari rival separtainya di bawah komando Aburizal Bakri. 

Singkatnya, konflik di Partai Golkar meluas dan menyebar ke kader-kader partai Golkar. Konflik yang semula adalah konflik elitis menjadi konflik struktural, dan puncaknya di Rapimnas VII di Yogyakarta pada tanggal 18-19 November 2014. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengambil keputusan dengan menyatakan kubu Agung sebagai pemimpin partai yang sah. Yasonna berpendapat putusan tersebut sudah sesuai berdasarkan pasal 32 ayat 5 UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik yang berisi permasalahan internal partai harus bermuatan mahkamah partai dan hasilnya bersifat final dan mengikat. 

Singkatnya dualisme kepemimpinan Golkar mampu diselesaikan dengan baik ketika para sesepuh partai berlambang beringin membentuk tim transisi yang di pimpin oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan Jusuf Kalla (JK). 

Tujuan dibentuknya tim transisi adalah untuk menentukan peserta, panitia, tanggal, tempat dan aturan-aturan yang aspiratif dan akutabe untuk terselenggaranya rapat pimpinan nasional (rapimnas) dan musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). 

Setelah tim transisi menjalankan tugasnya. Pembukaan pendaftaran untuk calon Ketum pun di buka. Delapan kader Golkar tersebut adalah Aziz Syamsuddin, Setya Novanto, Ade Komarudin, Mahyudin, Indra Bambang Utoyo, Airlangga Hartarto, Priyo Budi Santoso, dan Syahrul Yasin Limpo.

Di dalam pemilihan Ketum Golkar pada tanggal 14 Mai 2016 dan menetapkan Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum Golkar. 

3. Partai Persatuan Pembangunan

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meskipun terkesan sebagai partai tua yang ada di Indonesia. Perjalan PPP dalam dinamika politik Indonesia terus menjadi sorotan. 

Di akhir tahun 2014 meletus lah dualisme kepemimpinan di tubuh PPP. Berlatar belakang dari sikap Surya Darma Ali (SDA) yang mendukung dan ikut mengkampanyekan Partai Gerindra dinilai oleh pengurus DPW PPP sebagai perselingkuhan politik. 

Alasan dan sikap DPW PPP dirasa tepat karena sesuai dengan aturan yang ada di  AD/ART partai yang ditetapkan pada Muktamar VI PPP no.03/TAP/Muktamar VI/PPP/1/2007 tanggal 1 Februari 2007 Bab V pasal 6 tentang Kedaulatan Partai yang mengatakan bahwa Kedaulatan Partai Persatuan Pembangunan berada di tangan anggota dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Muktamar. 

Sikap Suryadharma Ali yang dianggap telah melanggar AR/ART partai, didalam Mukernas II PPP di Bandung mendesak pengurus PPP menjatuhkan sanksi kepada Suryadharma Ali, dalam Mukernas itu memutuskan memberhentikan sementara Suryadharma Ali dari jabatan Ketua Umum PPP. Sementara Emron Pangkapi menjadi Pelaksana harian (Plt) Ketum PPP menggantikan Suryadharma sesuai Pasal 12 ayat 1 Anggaran Rumah Tangga PPP hingga pelaksanaan Muktamar. Sejumlah kader yang dipecat Suryadharma Ali pun dipulihkan kembali. Namun Suryadharma Ali menegaskan pemberhentian dirinya sebagai Ketum PPP tidak sah. 

Konflik ini melahirkan dua kubu yaitu, kubu (SDA) sebagai Ketua Umum partai yang sekarang dipimpin oleh Djan Faridz, dan mendapatkan dukungan dari Fernita Darwis, Epyardi dan kubu M. Romahurmuziy sebagai sekretaris jendral PPP yang mendapat dukungan Emron Pangkapi, Suharso Monoarfa,Lukman Hakim Saifuddin, Reni Marlinawati, Joko Purwanto, Dini Mentari, Emalena Muslim, Aunur, Rusli Effendi, Yusroni Yazid, Hizbiyah Rohim, Siti Maryam, Siti Nurmala, dan Mahmud Yunus. Dua kubu PPP yang berkonflik menghasilkan dua keputusan dari dua Muktamar yang berbeda, yakni kubu Ketua Umum hasil Muktamar VIII Surabaya dan kubu Ketua Umum Djan Faridz hasil Muktamar VIII Jakarta. 

Selain konflik kepentingan elit PPP, hal lain yang menyebabkan dualisme kepemimpinan PPP adalah tidak adanya figur pemersatu. Semenjak ditinggal Kiai Bisri Jansuri PPP berulang kali dilanda konflik, ketika Kian Bisri masih menjabat sebagai ketua Majelis Syuro partai, konflik masih bisa terelakan karena kepemimpinan partai tunduk kepada Majelis Syuro.

Cara yang di tempuh oleh PPP dalam penyelesaian konflik melalui Islah yaitu dengan meminta mahkamah panasehat partai Maimun Zubair dengan diadakannya Dua kubu PPP versi Muktamar Surabaya dan Muktamar Jakarta.  

Islah tersebut dilakukan setelah para sesepuh PPP turun gunung untuk mempertemukan keduanya dalam Muktamar Persaudaraan Muslim Indonesia. Turunnya para senior membuktikan kepedulian atas PPP yang menganggap konflik internal partai tidak dapat diselesaikan oleh pengurus DPP PPP pada waktu itu. 

Singkatnya, islah yang diinisiasi oleh para tokoh sepuh PPP gagal menemukan titik terang. Hingga akhirnya kedua kubu bertarung di ranah hukum sebelum akhirnya MA menetapkan bahwa kepengurusan yang sah adalah hasil muktamar Jakarta dengan Rommy sebagai ketua umum. 

4. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Partai Kebangkitan Bangsa menjadi partai dengan kaum Nahdiyin terbanyak yang bergabung ke dalamnya, mengungguli partai Islam lainnya seperti PPP dan PKS. 

Walaupun kader PKB banyak di isi dari kaum Nahdiyin, panggung politik tetaplah politik. Meminjam kebanyakan politikus yang mengatakan bahwa yang abadi dalam politik adalah kepentingan. 

Kepentingan politik itu dibuktikan dengan adanya dualisme kepemimpinan di tubuh PKB. Berlatar belakang dari kisruh politik masa kepemimpinan Matori Abdul Djalil yang di pecat oleh Gus Dur. Matori di masa itu dianggap kerap mengundang konflik di tubuh PKB dengan secara terbuka mendukung Megawati sebagai presiden. 

Selain Matori, kader-kader yang dirasa Gus Dur tidak pro dengan dirinya juga ikut di pecat seperti Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf. Alasan pemecatan itu oleh Gus Dur karena keduanya menerima tawaran dari SBY (presiden) masuk dalam Kabinet Indonesia Era Bersatu. 

Tak lama kemudian tahun 2005, giliran Muhaimin sekarang Gus Ami yang dipecat Gus Dur karena dianggap terlalu dekat dengan istana. 

Pengaruh Muhaimin di PKB yang sudah besar, berimbas kepada perlawanan yang dilakukan oleh gerbong Muhaimin di sejumlah daerah dan menjadikan kubu Muhaimin bersatu menjadi satu kekuatan melawan gerbong Gus Dur. 

Sejumlah strategi dilakukan oleh kubu Muhaimin untuk mendapatkan posisinya. Diantaranya yaitu dengan memainkan media online untuk mendapatkan dukungan dan simpatisan masyakarat Nahdiyin. Selain itu, kubu Muhaimin juga menggalang kekuatan darah dengan mendekati sejumlah kyai yang dianggap berpengaruh dan mampu berkompromi dengan dirinya. 

Puncaknya yaitu dualisme kepemimpinan pun terjadi antara kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin. Masing masing kubu melakukan Muktamar Luar Biasa (KLB) di masing-masing daerah. Muhaimin segera menggelar MLB di Hotel Mercure Ancol sehari setelah MLB kubu Gus Dur yang digelar 30 April-1 Mei 2008 di Parung, Bogor.

Masing-masing menggelar MLB dengan versinya sendiri. Kubu Cak Imin menetapkan Cak Imin sebagai Ketua Umum dan Sekjen Lukman Edy menggantikan Putri Gus Dur Yenny Wahid. Posisi Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro juga digeser, digantikan oleh KH Aziz Mansyur. 

Konflik kedua MLB itu berujung di meja hijau. Mulai dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga ke Mahkamah Agung. Akhirnya, kepengurusan Cak Imin yang dianggap sah

Sesungguhnya selain empat partai politik yang saya sebutkan di atas, partai-partai lain seperti PAN, HANURA, BERKARYA juga tidak lepas dari adanya dualisme kepemimpinan. Mereka pernah merasakan konflik yang melanda internal partai politik masing masing-masing.  Sedangkan partai politik yang belum merasakan konflik dualisme kepemimpinan ialah NasDem dan Gerindra. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun