Bagian I
Base Erosion and Profit Shifting
1.1. Apa Itu Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) adalah pendekatan perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk menghindari pembayaran pajak dengan mengeksploitasi kesenjangan dan ketidaksesuaian dalam peraturan perpajakan. Negara-negara berkembang menderita BEPS secara tidak proporsional karena mereka lebih bergantung pada pajak penghasilan perusahaan. Menurut (Welss and Lowel, 2013) Negara-negara anggota G-8, G-20, dan OECD menggunakan istilah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk menggambarkan sejumlah praktik bisnis multinasional yang melakukan transfer keuntungan ke negara-negara dengan tarif rendah atau nol melalui skema transfer pricing.
BEPS adalah strategi perencanaan pajak yang menggunakan kesenjangan dan ketidaksesuaian dalam peraturan pajak untuk mengalihkan keuntungan ke daerah dengan pajak rendah atau bahkan tanpa pajak di mana hanya ada aktivitas ekonomi yang sedikit atau sama sekali tidak ada atau untuk mengikis basis pajak melalui pembayaran yang dapat dikurangkan seperti bunga atau royalti. Meskipun sebagian besar skema yang digunakan tidak ilegal, sebagian besar tidak merusak keadilan dan integritas sistem perpajakan karena bisnis lintas batas dapat menggunakan BEPS untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dibandingkan bisnis domestik. Â Selain itu, jika perusahaan multinasional secara legal menghindari pajak penghasilan, kepatuhan sukarela semua pembayar pajak akan terganggu.
Karena negara-negara berkembang sangat bergantung pada pajak penghasilan perusahaan, terutama perusahaan multinasional, BEPS sangat penting. Untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka dan berpartisipasi secara efektif dalam proses penetapan standar pajak internasional, penting bagi negara-negara berkembang untuk berpartisipasi dalam agenda perpajakan internasional. Praktik seperti ini (BEPS) dapat menyebabkan persaingan bisnis yang tidak sehat, ketidakadilan bagi wajib pajak untuk mengikuti kebijakan pajak yang sama, dan alokasi sumber daya yang tidak efektif (Apriadi dan Monalysa, 2021).
1.2. Penyebab Terjadinya Praktik BEPS
Berikut adalah penyebab banyaknya praktik BEPS di lakukan oleh pihak perseorangan maupun Entitas:
- BEPS terutama disebabkan oleh praktik profit shifting yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka dan memaksimalkan keuntungan mereka.
- Peraturan perpajakan global yang dibuat 80 tahun lalu sudah tidak dapat mengendalikan dunia usaha yang semakin kompleks.
- Sistem perpajakan konvensional saat ini membantu dan mendorong perusahaan besar untuk mengurangi kewajiban pajaknya.
- Meskipun hal ini menyebabkan masalah keadilan dan kepatuhan pajak, perusahaan multinasional telah menggunakan penghindaran pajak untuk mendapatkan keuntungan kompetitif.
- Praktek saat ini yang dilakukan adalah perusahaan multinasional yang menghindari membayar kewajiban pajak di negara tempat mereka beroperasi tetapi menghasilkan keuntungan dari bisnis mereka.
- Mengatasi masalah BEPS tidak dapat diselesaikan dengan langkah-langkah secara sepihak dan parsial tidak akan berhasil, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif dan multilateral yang melibatkan semua negara.
1.3. Dampak yang ditimbulkan oleh BEPS:
Berikut adalah dampak yang dapat di timbulkan dari praktik BEPS:
- Mengancam kedaulatan dan keadilan perpajakan negara maju dan negara berkembang, terutama negara-negara dengan tarif pajak standar atau tinggi.
- Membantu perusahaan multinasional bermigrasi ke negara-negara dengan tingkat pajak rendah. Jika ada perbedaan tarif pajak, ada kesempatan untuk melakukan arbitrase pajak, yang biasanya digunakan oleh MNCs (MultiNational Companies) dalam perencanaan pajak mereka. Ini mendorong meningkatnya praktik perselisihan pajak dan arbitrase pajak jika tidak diselesaikan dengan cepat dan tepat. MNC (Multinational Companies) dapat dengan mudah menghindari kewajiban pajak, yang akan mengganggu kepatuhan wajib pajak lainnya.
1.4. Peranan OECD dalam BEPS
Paket BEPS mencakup 15 tindakan yang memberi pemerintah alat domestik dan internasional yang diperlukan untuk mengatasi penghindaran pajak. Negara-negara sekarang memiliki alat untuk memastikan bahwa keuntungan dikenakan pajak dan di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan keuntungan dilakukan. Selain itu, alat-alat ini menstabilkan persyaratan kepatuhan dan mengurangi ketidaksepakatan tentang penerapan aturan pajak internasional, memberikan keamanan yang lebih besar bagi perusahaan.
Lebih dari 60 negara telah mengusulkan lima belas tindakan di bawah proyek BEPS OECD/G20 untuk mengatasi penghindaran pajak, meningkatkan kohesi aturan pajak internasional, dan memastikan lingkungan pajak yang lebih transparan. Berikut adalah 15 Paket tersebut:
- Tax Challenges Arising from Digitalisation: Mengatasi masalah perpajakan yang ditimbulkan oleh digitalisasi saat ini telah menjadi fokus utama Proyek BEPS sejak awal. Beberapa temuan penting dari penelitian ini mencakup masalah pajak langsung dan tidak langsung.
- Neutralising the effects of hybrid mismatch arrangements: Untuk menetralisir efek dari instrumen dan entitas hibrida, BEPS Action 2 menuntut pengembangan model ketentuan perjanjian dan saran untuk desain peraturan domestik. Laporan OECD tahun 2015 tentang Menetralisir Dampak Pengaturan Hibrida yang Tidak Sesuai didasarkan pada upaya negara-negara anggota dan yurisdiksi anggota Kerangka Kerja Inklusif dalam BEPS Action 2.
- Controlled Foreign Company: Untuk melawan sistem di luar negeri yang mengalihkan pendapatan dari yurisdiksi pemegang saham, Rekomendasi Aksi 3 menjelaskan cara mengaitkan jenis pendapatan tertentu dari perusahaan asing kepada pemegang saham. Laporan OECD tahun 2015 yang berjudul "Merancang Peraturan Perusahaan Asing yang Terkendali Secara Efektif" adalah hasil dari upaya negara-negara anggota OECD dan yurisdiksi anggota Kerangka Kerja Inklusif mengenai BEPS Action 3.
- Limitation on Interest Deductions: Tujuan dari Rekomendasi Aksi 4 adalah untuk membatasi erosi dasar melalui penggunaan biaya bunga untuk membiayai produksi pendapatan yang dikecualikan atau ditangguhkan atau untuk mencapai pengurangan bunga yang berlebihan. Laporan OECD tahun 2015 berjudul Limiting Base Erosion Involving Interest Deductions and Other Financial Payments adalah hasil pekerjaan yurisdiksi anggota Kerangka Kerja Inklusif dalam Aksi 4.
- Harmful tax practices: Salah satu dari empat standar minimum BEPS, Laporan Aksi 5, memerlukan tinjauan sejawat untuk memastikan implementasi yang tepat waktu dan akurat, yang menjaga tingkat persaingan yang setara. Sebagai bagian dari Kerangka Kerja Inklusif BEPS, setiap anggota berkomitmen untuk menerapkan standar minimum Aksi 5 dan untuk berpartisipasi dalam tinjauan sejawat.
- Prevention of tax treaty abuse: Berbicara tentang treaty shopping, BEPS Action 6 membahas perjanjian yang menjadi bagian dari standar minimum yang disetujui oleh anggota BEPS Inclusive Framework untuk diimplementasikan. Selain itu, peraturan dan saran khusus dibuat untuk mengatasi penyalahgunaan perjanjian lainnya. Dalam Tindakan 6, yurisdiksi harus mempertimbangkan pertimbangan kebijakan pajak sebelum membuat keputusan untuk membuat perjanjian pajak.
- Permanent establishment status: Untuk menangani strategi yang digunakan untuk menghindari kehadiran kena pajak di suatu yurisdiksi berdasarkan perjanjian pajak, BEPS Action 7 mengubah definisi bentuk usaha tetap dalam Konvensi Pajak Model OECD.
- Untuk aksi 8 sampai dengan 10 yakni Transfer Pricing: Untuk memastikan bahwa hasil penetapan harga transfer lebih selaras dengan penciptaan nilai grup perusahaan multinasional, BEPS Actions 8-10 membahas panduan penetapan harga transfer. Tindakan 8-10 memperjelas dan memperkuat standar yang ada, termasuk pedoman untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dan pendekatan untuk penetapan harga yang tepat untuk aset yang sulit dinilai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
- BEPS data analysis: Laporan BEPS Action 11 Mengukur dan Memantau BEPS menetapkan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang dampak ekonomi dan fiskal dari perilaku penghindaran pajak, serta dampak dari langkah-langkah yang diusulkan dalam Proyek BEPS.
- Mandatory Disclosure Rules: BEPS Action 12 mengusulkan peraturan yang mewajibkan penasihat dan wajib pajak untuk mengungkapkan pengaturan perencanaan pajak yang agresif. Rekomendasi ini mencari keseimbangan antara kebutuhan akan informasi awal mengenai skema perencanaan pajak yang agresif dengan persyaratan bahwa pengungkapan tersebut ditargetkan secara tepat, dapat ditegakkan, dan menghindari beban kepatuhan yang tidak perlu pada wajib pajak.
- Country-by-Country Reporting: Semua perusahaan multinasional besar (MNEs) diwajibkan, berdasarkan BEPS Action 13, untuk menyiapkan laporan per negara (CbC) yang berisi data agregat mengenai alokasi pendapatan, laba, pajak yang dibayarkan, dan aktivitas ekonomi di seluruh yurisdiksi pajak tempat mereka beroperasi. Laporan CbC ini dibagikan kepada administrasi pajak di yurisdiksi tersebut untuk digunakan dalam penilaian risiko transfer pricing dan BEPS tingkat tinggi.
- Mutual Agreement Procedure: Tujuan dari Aksi Minimum BEPS 14 adalah untuk meningkatkan penyelesaian sengketa pajak antar yurisdiksi. Yurisdiksi yang tergabung dalam Kerangka Kerja Inklusif telah berkomitmen untuk meninjau dan memantau kepatuhan mereka terhadap standar minimum ini melalui proses tinjauan sejawat yang kuat. Tujuan dari proses ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan ketepatan waktu penyelesaian sengketa pajak berganda.
- Multilateral Instrument: Dengan mentransfer hasil dari Proyek BEPS ke dalam perjanjian pajak bilateral di seluruh dunia, Instrumen Multilateral (BEPS MLI) memungkinkan pemerintah untuk menerapkan standar minimum yang telah disepakati untuk melawan penyalahgunaan perjanjian dan meningkatkan mekanisme penyelesaian sengketa sambil memberikan fleksibilitas untuk mengakomodasi kebijakan.
1.5. Contoh Kasus BEPS di Indonesia
Contoh kasus praktek Profit Shifting yang saya terangkan berasal dari penelitian yang dilakukan oleh (Apriadi dan Monalysa, 2021) yang berjudul "Tax Avoidance in the Form of Base Erosion and Profit Shifting in Digital Economic Transactions by Multinational Companies". Kasus yang terjadi dilakukan oleh perusahaan multinasional digital, yakni Google. Perusahaan multinasional (MNC) yang beroperasi secara internasional memiliki kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak lebih terbuka dengan memanfaatkan perbedaan dalam sistem perpajakan suatu negara.
Google adalah perusahaan over the top (OTT) multinasional dengan kantor pusat di California, AS, yang fokus pada layanan internet dan produk seperti pencarian, komunikasi, telepon seluler, hiburan, dan periklanan teknologi. Mayoritas keuntungan Google berasal dari iklan. Google memiliki kantor perwakilan di Indonesia. PT. Google Indonesia (PTGI) adalah agen dependen Google Asia Pacific Pte. Ltd. di Singapura. Pemerintah Indonesia menyoroti Google karena dianggap menghindari pajak karena mendapatkan keuntungan besar dari iklan tanpa membayar pajak. Sebagai bisnis, Google menikmati barang publik dan fasilitas publik sekaligus menghasilkan pendapatan. Fasilitas publik ada di Indonesia, tetapi pendapatan dialihkan ke Singapura (profit shifting). Tentu saja, pengalihan pendapatan menyebabkan penurunan penerimaan pajak, yang mengancam otoritas perpajakan Indonesia. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) adalah organisasi internasional yang beranggotakan 30 negara yang mendukung demokrasi dan ekonomi pasar bebas atau negara-negara industri. Organisasi ini dibentuk untuk meningkatkan kesehatan ekonomi anggotanya dan mendukung pembangunan global. Variasi dalam tarif pajak yang diterapkan oleh berbagai negara di seluruh dunia.
Google terindikasi melakukan praktik BEPS karena, sebagai pelaku usaha, perusahaan memperoleh pendapatan sambil menikmati barang dan fasilitas publik di Indonesia. Namun, karena tarif pajak yang lebih rendah di Singapura, pendapatan yang diperoleh dari Indonesia dialihkan ke Singapura, sehingga Google dianggap sebagai pelaku penghindaran pajak. Strategi penghindaran pajak yang digunakan Google adalah sebagai berikut: Tidak diragukan lagi, pengalihan penghasilan ini menyebabkan penurunan penerimaan pajak, yang mengancam otoritas perpajakan Indonesia. Google menggunakan praktik penghindaran pajak BEPS dan menghasilkan keuntungan sambil menggunakan barang publik dan fasilitas publik di Indonesia. Pengalihkan keuntungan, atau transfer keuntungan, dari Indonesia ke Singapura digunakan untuk menghindari pajak. Tidak diragukan lagi, pengalihan penghasilan ini menyebabkan penurunan penerimaan pajak, yang mengancam otoritas perpajakan Indonesia. Beberapa faktor yang mendukung Google untuk menghindari pajak di Indonesia termasuk peraturan pajak yang lemah atau longgar, terutama dalam hal aturan bentuk usaha bentuk usaha tetap (BUT) dan perjanjian pajak antara Indonesia dan Singapura.
Salah satu pendekatan penghindaran pajak yang digunakan Google adalah DoubleIrish Dutch Sandwich, yang memanfaatkan kombinasi anak perusahaan untuk mengalihkan keuntungan. Undang-undang perpajakan hanya mengatur bisnis fisik, bukan virtual. Berdasarkan P3B antara Singapura dan Indonesia, BUT didefinisikan sebagai bentuk usaha tetap tempat usaha yang tetap di mana seluruh atau sebagian dari usaha dijalankan. Sementara itu, yang didirikan di Indonesia hanya untuk mendukung pemasaran dan tidak sesuai dengan definisi BUT dalam P3B Singapura-Indonesia, yang adalah kelemahan atau kelonggaran dari peraturan hukum. Â
Rencana pemerintah untuk menangani penggelapan pajak Google. Pemerintah menerbitkan Surat Edaran nomor SE04/PJ/2017 pada tanggal 6 Februari 2017 yang membahas bagaimana menetapkan bentuk usaha tetap bagi penyelenggara pajak luar negeri yang menyediakan layanan aplikasi atau konten melalui internet. Google kemudian setuju untuk melakukan negosiasi ulang besaran pajak yang terutang berdasarkan surat edaran tersebut. Dengan demikian, pada 30 November 2017 perusahaan (Google) bersedia membayar kewajiban pajaknya yang jatuh tempo pada tahun 2015. Sesuai dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, pemerintah pemerintah harus segera membuat dan menerbitkan peraturan pajak setelah keberhasilannya dalam mengejar pajak perusahaan multinasional. Pendidikan pajak wajib yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, serta kolaborasi antara otoritas dan platform online dalam pengumpulan data nilai transaksi, adalah cara untuk mengatasi masalah ekonomi digital. Dari sudut pandang administratif, pengembangan ekonomi digital dapat menyebabkan layanan kepatuhan yang lebih baik, biaya yang lebih rendah, dan layanan wajib pajak yang lebih baik.
Demikian gambaran -- gambaran singkat mengenai Praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang umumnya dilakukan oleh perusahaan Multinasional untuk melakukan penghematan biaya melalui penghematan biaya pajak. Pembahasan singkat mulai dari apa itu BEPS, Â penyebab terjadinya praktik BEPS, dampak yang ditimbulakn dari praktik BEPS, peranan OECD selaku organisasi dunia untuk menekan praktik BEPS, dan juga contoh kasus BEPS yang terjadi di Indonesia.
Selanjutnya adalah penjelasan gambaran singkat mengenai Rendahnya Tax Ratio di Indonesia.
Bagian II
Rendahnya Tax Ratio di Indonesia
2.1. Apa Itu Tax Ratio
Tax Ratio atau rasio pajak adalah perbandingan antara pendapatan pajak suatu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Bank Dunia menyatakan bahwa pendapatan pajak yang melebihi 15% dari PDB memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan, pada akhirnya, pengentasan kemiskinan. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai Tax Ratio:
- Tax Ratio digunakan untuk menentukan seberapa besar kontribusi pajak terhadap perekonomian suatu negara.
- Tax Ratio dapat dihitung dengan membagi total pendapatan pajak negara dengan PDB.
- Tax Ratio dapat berbeda antara negara bergantung pada kebijakan perpajakan dan kondisi ekonomi.
- Tax Ratio negara-negara yang lebih maju cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang.
- Dengan rasio pajak yang lebih tinggi, negara dapat meningkatkan pendapatannya dan membiayai program pembangunan seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
- Selain itu, rasio pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mengetahui seberapa efektif sistem perpajakan suatu negara.
- Karena rasio pajak terhadap PDB memberikan ukuran yang lebih baik untuk kenaikan dan penurunan penerimaan pajak daripada jumlah sederhana, pemerintah menggunakannya untuk membandingkan penerimaan pajak dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu, rasio pajak adalah alat penting untuk mengukur bagaimana pajak memengaruhi perekonomian suatu negara. Rasio ini juga dapat membantu negara meningkatkan pendapatan dan membiayai program pembangunan.
2.2. Rendahnya Tax Ratio di Indonesia
Menurut Gambaran yang di sajikan OECD dalam laporannya yang berjudul "Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 Indonesia", pada Tahun 2021 Indonesia berada pada jajaran terbawah untuk Tax Ratio negara OECD yakni sebesar 10,9%, jika di bandingkan dengan negara tetangga yakni Malaysia sebesar 11,8%. Negara dengan Tax Ratio tertinggi pada Tahun 2021 di pegang oleh Denmark yakni sebesar 46,9%, sangat-sangat jauh apabila dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini sudah membaik jika di bandingkan dengan Tax ratio Indonesia pada Tahun 2020 yakni sebesar 10,1%, Namun capaian Tax Ratio di Indonesia sampai saat ini terus berada di Bawah Tax Ratio pada Tahun 2007 yakni sebesar 12,2%. Menurut Saragih et al (2020) dalam Dwijayanti et al (2021) Pajak yang dipungut oleh pemerintah cenderung lebih rendah dibandingkan PDB secara keseluruhan selama satu tahun jika rasio pajak diturunkan di bawah standar World Bank yaitu 15%.
Tax ratio adalah indikator penting dari kesehatan fiskal pemerintah dan kemampuan untuk membiayai layanan publik dan infrastruktur. Tax ratio yang rendah dapat menghambat kebijakan fiskal yang efektif dan membatasi kemampuan pemerintah untuk memberikan layanan kepada warganya. Menurut Akbar dan Gunadi (2021) Tax ratio yang rendah menunjukkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pajak yang masih rendah serta kemampuan otoritas pajak untuk mencari sumber penerimaan pajak dari sektor ekonomi yang belum maksimal, sehingga kemampuan otoritas pajak untuk mengumpulkan berbagai data dan informasi penting untuk pengawasan kepatuhan pajak. Hal tersebut akan mendukung penerimaan pajak yang optimal. Indonesia menggunakan system perpajakan untuk pajak penghasilan melalui Self Assessment System (SAS) dimana pajak dihitung, dibayarkan dan dilaporkan oleh pihak individu atau badan itu sendiri, dengan menggunakan system inipun kepatuhan pajak di Indonesia tidak akan terlalu optimal dikarenakan tidak semua pihak akan menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya dengan 100% betul yang akan berdampak pada rendahnya Tax Ratio itu sendiri. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Falbo dan Firmansyah (2021) menyebutkan ada kemungkinan bahwa rasio pajak yang rendah di Indonesia menunjukkan adanya penghindaran pajak, yang berarti mungkin masih ada penerimaan pajak yang lebih besar. Di dalam penelitian Akbar dan Gunadi (2021) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan sistem pajak negara berkembang, ada empat kebijakan yang digariskan dalam Perjanjian Doha. (1) meningkatkan penerimaan pajak melalui modernisasi sistem pajak, (2) meningkatkan efektivitas dan efisensi pengumpulan pajak, (3) memperluas basis pajak, dan (4) secara efektif memerangi penggelapan pajak.Â
2.3. Faktor -- faktor yang mempengaruhi Tax Ratio
Kemampuan negara untuk membiayai program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh rasio pajak yang rendah di Indonesia. Rasio pajak Indonesia yang rendah disebabkan oleh beberapa faktor -- faktor berikut ini:
- Pemungutan pajak yang belum efektif menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya Tax Ratio di Indonesia.
- Struktur kepemilikan berpengaruh terhadap Rasio Pajak dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan Irawati (2020). Dimana perusahaan dengan kepemilikan asing yang tinggi memiliki Corporate Governance / Tata Kelola Perusahaan yang lebih baik sehingga berpengaruh pada ketertiban perpajakannya.
- Komposisi PDB Indonesia yang didominasi oleh sektor UMKM juga menjadi faktor penyebab rendahnya Tax Ratio di Indonesia. Sektor UMKM memberikan kontribusi paling besar terhadap capaian PDB, namun hanya memberikan kontribusi kecil terhadap penerimaan pajak.
- Selain itu, policy gap adalah penyebab rasio pajak yang rendah di Indonesia. Policy gap terjadi ketika kebijakan perpajakan yang diterapkan tidak sesuai dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, yang menyebabkan mereka tidak berhasil meningkatkan penerimaan pajak.
- Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak adalah salah satu alasan mengapa rasio pajak Indonesia sangat rendah.
Dengan mengetahui alasan mengapa rasio pajak Indonesia rendah, pemerintah dapat mengambil tindakan yang tepat untuk meningkatkan rasio pajak dan memperkuat sistem perpajakan. Â
2.4. Peran Pemerintah Dalam Menangani Rendahnya Tax Ratio di Indonesia
Untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan negara, pemerintah harus mengatasi masalah rasio pajak yang rendah. Dengan undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak dan peraturan turunannya, berikut adalah beberapa peran pemerintah Indonesia dalam menangani rendahnya Tax Ratio di Indonesia:
- Pemerintah Indonesia terus menerapkan berbagai kebijakan perpajakan untuk meningkatkan rasio pajak.
- Selain itu, pemerintah Indonesia berusaha untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
- Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak, pemerintah Indonesia mengintegrasikan data antara nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP).
- Selain itu, pemerintah Indonesia menginstruksikan kementerian/lembaga (K/L), perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank untuk mengawasi aset publik yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan.
- Selanjutnya upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak adalah untuk mengandalkan pengenaan pajak dari kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik seperti melalui PMK Nomor 48/PMK.03/2020.
- Selain itu, pemerintah Indonesia bermaksud untuk menciptakan sistem pajak yang lebih efisien dan adil dengan meningkatkan lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sebagai dasar pungutan PPh orang pribadi dan memperbaiki tarif PPh OP.
Dengan melakukan berbagai upaya tersebut, pemerintah Indonesia berharap dapat meningkatkan persentase pajak dan memperkuat sistem perpajakannya.
Demikian gambaran -- gambaran singkat mengenai rendahnya tax ratio di Indonesia. Pembahasan singkat mulai dari apa itu tax ratio, rendahnya tax ratio di Indonesia, faktor -- faktor yang mempengaruhi tax ratio, serta peran pemerintah dalam menangani rendahnya tax ratio di Indonesia.
Terimakasih. Mohon maaf apabila ada salah kata.
Daftar Pustaka
Akbar, L.R., Gunadi. (2021). Implementasi Kebijakan Keterbukaan Akses Data Perbankan Dalam Meningkatkan Tax Compliance Di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Governance, Vol. 1, No.2, pp 89-103.
Apriadi, R., & Monalysa, L. (2021). Tax Avoidance in the Form of Base Erosion and Profit Shifting in Digital Economic Transactions by Multinational Companies. International Research of Economic and Management Education, Vol. 1, Issue. 2, pp. 86-93.
Arifin, NZ. (2014). BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada Indonesia.
Dwijayanti, A., Sueb, M., & Pratama, A. (2021). Pengaruh Religiusitas Dan Keadilan Pajak Pada Sikap Kepatuhan Wajib Pajak (Survei pada Wajib Pajak Orang Pribadi Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I). Jurnal Akuntansi Dan Pajak. https://doi.org/10.29040/jap.v22i1.2235.
Falbo, T. D., Firmansyah, A. (2021). Penghindaran Pajak Di Indonesia: Multinationality Dan Manajemen Laba. Jurnal Bisnis Net Volume : 4 No. 1, pp 94-110.
Hernowo, P. (2023). Struktur Ekonomi dan (Rendahnya) "Tax Ratio" Kita. Diakses melalui https://news.detik.com/kolom/d-6865018/struktur-ekonomi-dan-rendahnya-tax-ratio-kita.
https://www.oecd.org/tax/beps/about/
https://www.oecd.org/tax/beps/beps-actions/
https://www.oecd.org/tax/beps/flyer-inclusive-framework-on-beps.pdf
https://www.oecd.org/tax/tax-policy/global-revenue-statistics-database.htm
Kagan, J. (2021). What Is the Tax-to-GDP Ratio? Definition, and What Is a Good One?. Diakses melalui https://www.investopedia.com/terms/t/tax-to-gdp-ratio.asp.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2022). Laporan Kinerja Kementrian Keuangan Tahun 2012. Jakarta: Kementerian Keuangan.
Kurniawan, T.S., Sari, D.W., & Irmawati, D.R. (2020). Faktor-faktor yang mempengaruhi rasio beban pajak perusahaan: studi empiris sektor manufaktur di Indonesia. Indonesian Treasury Review: Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik, 5(4), 273-283.
OECD. (2023). Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 Indonesia. https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-asia-and-pacific-indonesia.pdf
Pink, B. (2022). Upaya Dirjen Pajak Kemenkeu Meningkatkan Tax Ratio. Diakses melalui https://nasional.kontan.co.id/news/upaya-dirjen-pajak-kemenkeu-meningkatkan-tax-ratio.
Siswanto, D. (2023). Tax Ratio Indonesia Rendah, Ini Sebabnya Menurut Faisal Basri. Diakses melalui https://nasional.kontan.co.id/news/tax-ratio-indonesia-rendah-ini-sebabnya-menurut-faisal-basri.
Wells, B., & Lowell, C. H. (2013, January 1). Tax Base Erosion: Reformation of Section 4822s Armms Length Standard. Social Science Research Network; RELX Group (Netherlands). https://doi.org/10.2139/ssrn.2310882.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H