Tahukah kalian aturan harga pokok apa yang digunakan Pertamina dalam menentukan BBM?
Penetapan harga BBM Pertamina menggunakan referensi harga MOPS Singapura, di mana sesungguhnya komponen BBM Pertamina ada yang berasal dari dalam negeri dan impor, menunjukan bahwa penetapan harga BBM produksi domestik dilakukan atas mekanisme pasar (bukan refleksi keekoonomian biaya produksi BBM).
Atas kondisi ini ketika harga BBM MOPS naik mengikuti harga pasar, Pertamina menikmati keuntungan diatas biaya produksi (windfall profit) yang diperoleh dari subsidi APBN atau dalam konteks subsidi yang dihilangkah windfall profit Pertamina ini sesungguhnya dibayar oleh rakyat.
Tentu penetapan harga pokok ini rawan sekali kecurangan karena sulit dievaluasi nilainya. Selain karena nilai MOPS sesuai spesifikasi RON Premium tidak publish secara umum, nilai yang digunakan juga tidak jelas, karena menggunakan data sesuai pembelian BBM oleh Pertamina.
Sebagai contoh ketidakjelasan penetapan harga pokok ini adalah berbedanya data yang diberikan Pertamina dan para pengamat. Sebagaimana direlease dalam berita Pikiran Rakyat Online pada tanggal 26 Desember 2015, Pemerintah menyatakan Harga Pokok sebagaimana mengacu kepada harga MOPS rata-rata setidaknya 3 bulan terakhir adalah 56,40 dolar AS/barel sementara Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) mengeluarkan angka 54,60 dolar AS/barel. Perbedaan-perbedaan semacam ini sulit dan tidak pernah secara transparan dijelaskan ke publik.
2. Dasar penggunaan margin 20% untuk komponen alpha
Nilai alpha pada hakikatnya adalah margin badan usaha, sebagai perbandingan nilai 20% ini adalah ilustrasi sebagaimana berikut: Konsumsi BBM dalam negeri mencapai kurang lebih 1,5 Juta barel per hari. Jika menggunakan asumsi harga pokok 50 dolar AS/barel maka nilai alpha 20% setara dengan pemasukan 15 Juta dolar AS per hari atau kurang lebih 200 Milyar per hari. Ini adalah sebuah margin yang fantastis atas kegiatan usaha yang memang sudah dimonopoli sesuai penugasan. Yang menjadi pertanyaan, margin sebesar ini atas dasar apa?
Kalau menggunakan model pengembalian investasi atas pembangunan infrastruktur penyimpanan dan distribusi maka seharusnya dapat dengan mudah dihitung. Yang jelas faktanya, margin inipun tidak secara signifikan mendorong peningkatan kualitas pengelolaan BBM dalam negeri oleh Pertamina. Fasilitas pengolaahan minyak (kilang) yang terakhir dibangun adalah kilang Balongan tahun 1995, sementara fasilitas distribusi SPBU lebih banyak dibangun oleh pihak swasta (SPBU milik Pertamina hanya 120 buah dari sekitar 5500 SPBU di Indonesia). Lalu margin sebesar tadi digunakan untuk apa? Dan yang lebih fundamental, bagaimana transparansi atas penetapan margin alpha sebesar 20% tersebut?
3. Dana Ketahanan Energi
Nah ini poin yang cukup mencekik leher raykat kecil. Soal pungutan yang dilakukan Pertamina dari BBM yang kita beli selama ini.
Dalam komponen harga jual BBM saat ini terdapat Dana Ketahanan Energi yang dikelola oleh Badan Usaha dan dalam pengelolaan keuangannya terkonsolidasi dalam pengelolaan korporat Badan Usaha. Hal ini menimbulkan kerancuan tersendiri mengenai konsep Dana Ketahanan Energi yang sejatinya adalah hal yang positif namun pengelolaan tanpa konsep yang matang, apalagi dikelola oleh Badan Usaha, akan menimbulkan potensi penyelewengan atau pemanfaatan yang tidak optimal.