Mohon tunggu...
Asywida Fahmi
Asywida Fahmi Mohon Tunggu... Freelancer - Engineer Freelance

Orang bodoh yang biasa belajar agar terlihat lebih bodoh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karumangsan dalam Berkarier

3 Desember 2021   01:05 Diperbarui: 3 Desember 2021   01:11 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah dengar istilah 'sawang sinawang'?? Ya, kelakar di warung ketika salah satu temanmu memulai percakapan 'ah enak ya si Fulan, kerjanya deket rumah gaji besar, gang padhang banget lah !', sedangkan kawanmu yang lain memakai kartu sihir 'sawang sinawang' untuk menghentikan keluh kesahnya. 

Warung seperti kita ketahui, selain menyuguhkan kopi dan gorengan, sesekali juga memberikan sebutir wawasan yang bisa ditanam dalam benak setiap budak korporat yang mencari ketenangan akan jalan hidup yang telah dipilih. 

Kerap kali saya juga membandingkan nasib hidup dengan kawan seperjuangan di masa sekolah dulu. Ada yang jadi camat dan tetap terhormat. Ada juga yang jadi penjaga toko tapi tidak sembrono. 

Semuanya saya komentari dengan awalan 'kok enak ya mereka'. Saya juga kadang kerap bermonolog 'kamu goblok, temenmu sudah jadi orang, tapi kamu masih jadi relawan'. Ya, relawan proyek.

Tahun 2017 adalah yang paling berkesan. Pasalnya semasa lulus kuliah dan masih bujang, saya masih aktif di ILC (Indo Luwak Coffee). Masa dimana pencarian pengalaman, pengakuan dan kapabilitas diri. 

Bersama teman SMA, saya sering mengusung topik antara jabatan atau karier. 3 dari 4 kawan saya memilih karier yang lebih penting. Mereka masih lantang mengatakan bahwa karier adalah prioritas utama dalam bekerja untuk menghayati perjuangan 4 tahun sekolah tinggi.

Selang 1 tahun, di warung yang sama dan bangku duduk yang berbeda, selisih 2 meter dari spot diskusi tahun lalu, saya melontarkan pertanyaan yang sama. Jawaban responden yang ke 4 sungguh mencengangkan. 

Mayoritas dari mereka menyerah dari idealisme dini dan lebih memilih jabatan sekarang. Asal kerja dulu. Itulah yang mereka gaungkan sekarang. 

Transformasi berfikir ini tak lepas dari kisah nyata lagu Sarjana Muda karangan Iwan Fals. Susah mencari kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikan kita.

Pemicu utama selain susah mencari kerja yang sesuai latar belakang adalah rasa gengsi yang kerap terekspos ketika tetangga rumahmu menanyakan 'kerja dimana le?'. Seraya kita jawab 'di kota, Bulik. Ini lagi pas cuti'. 

Kepada diri kami sendiri kala itu, kami menyambut diri kami dengan selamat datang di warung kopi, dimana ketika kamu pesan kopi dan pulang siang hari, sore harinya kamu datang lagi dengan audiens yang sama. 

Dari situ diskusi kami dimulai. Kami bredeli satu persatu faktor penyebab ijazah yang tidak lagi laku ini. Apakah sanak famili?? Iya, tapi kemungkinannya kecil dan setiap kita mendekati saudara untuk menanyakan lowongan, kita seperti menjilat kaos kaki hanya untuk mendapatkan permen karet. 

Kompetensi dan pengalaman?? Iya, tapi memang sewajarnya kita bekerja untuk mendapatkan itu. Perusahaan pasti berfikir akan lebih menguntungkan memelihara intermediate pengalamannya daripada lulusan baru. Tapi lulusan baru selalu lebih menjanjikan untuk tuntutan kerja rodi pada perusahaan berkembang.

Pemahaman diri?? Sejenak saya terdiam, saya berfikir jauh ke belakang, apa tujuan saya kerja. Apa tujuan saya setiap hari naik boiler setinggi 84 meter. Apa tujuan saya menggambar karikatur dan sketsa abstrak di tengah malam. 

Apa tujuan saya mempelajari silabus dan kurikulum sampai mengabaikan komando dari ibunda untuk membeli gula dan bawang putih. Pengakuan !. Itulah yang ada dalam benak saya pertama kali. 

Saya takut tidak diakui dalam lingkungan kerja saya. Saya takut tidak diakui oleh klien saya tentang tema dari logo yang mereka pesan. Saya takut tidak diakui murid saya sebagai guru yang tidak memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti itu kira kira yang saya dan kawan kawan saya pikirkan.

Apa kira kira yang mendasari kurangnya pemahaman diri? Kerumangsan. Kita selalu rumangsa bisa melakukan segalanya, menentang kinerja Tuhan agar semua orang bisa senang dengan kita. 

Sulit memahami bahwa ada faktor yang bisa dikendalikan dan ada faktor yang hanya Pencipta saja yang mampu melakukannya. Kita sibuk berikhtiar sampai lupa kita itu butuh bantuan untuk memahami diri kita sendiri, misalnya dalam sholat ataupun dalam doa.

Rasa syukur seharusnya dirawat, bukan diraih. Begitulah universitas kehidupan ini berjalan. Akhir kata, sawang sinawang diciptakan oleh nenek moyang kita bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk mengilhami keringat yang diperas dalam bekerja. Karena sejatinya bekerja adalah ibadah dan ilham untuk bersyukur didapatkan darinya.

(Dikutip dari percakapan di Warung Kopi Mbah Doel, Ponorogo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun