Mohon tunggu...
Asywida Fahmi
Asywida Fahmi Mohon Tunggu... Freelancer - Engineer Freelance

Orang bodoh yang biasa belajar agar terlihat lebih bodoh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karumangsan dalam Berkarier

3 Desember 2021   01:05 Diperbarui: 3 Desember 2021   01:11 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari situ diskusi kami dimulai. Kami bredeli satu persatu faktor penyebab ijazah yang tidak lagi laku ini. Apakah sanak famili?? Iya, tapi kemungkinannya kecil dan setiap kita mendekati saudara untuk menanyakan lowongan, kita seperti menjilat kaos kaki hanya untuk mendapatkan permen karet. 

Kompetensi dan pengalaman?? Iya, tapi memang sewajarnya kita bekerja untuk mendapatkan itu. Perusahaan pasti berfikir akan lebih menguntungkan memelihara intermediate pengalamannya daripada lulusan baru. Tapi lulusan baru selalu lebih menjanjikan untuk tuntutan kerja rodi pada perusahaan berkembang.

Pemahaman diri?? Sejenak saya terdiam, saya berfikir jauh ke belakang, apa tujuan saya kerja. Apa tujuan saya setiap hari naik boiler setinggi 84 meter. Apa tujuan saya menggambar karikatur dan sketsa abstrak di tengah malam. 

Apa tujuan saya mempelajari silabus dan kurikulum sampai mengabaikan komando dari ibunda untuk membeli gula dan bawang putih. Pengakuan !. Itulah yang ada dalam benak saya pertama kali. 

Saya takut tidak diakui dalam lingkungan kerja saya. Saya takut tidak diakui oleh klien saya tentang tema dari logo yang mereka pesan. Saya takut tidak diakui murid saya sebagai guru yang tidak memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti itu kira kira yang saya dan kawan kawan saya pikirkan.

Apa kira kira yang mendasari kurangnya pemahaman diri? Kerumangsan. Kita selalu rumangsa bisa melakukan segalanya, menentang kinerja Tuhan agar semua orang bisa senang dengan kita. 

Sulit memahami bahwa ada faktor yang bisa dikendalikan dan ada faktor yang hanya Pencipta saja yang mampu melakukannya. Kita sibuk berikhtiar sampai lupa kita itu butuh bantuan untuk memahami diri kita sendiri, misalnya dalam sholat ataupun dalam doa.

Rasa syukur seharusnya dirawat, bukan diraih. Begitulah universitas kehidupan ini berjalan. Akhir kata, sawang sinawang diciptakan oleh nenek moyang kita bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk mengilhami keringat yang diperas dalam bekerja. Karena sejatinya bekerja adalah ibadah dan ilham untuk bersyukur didapatkan darinya.

(Dikutip dari percakapan di Warung Kopi Mbah Doel, Ponorogo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun