Mohon tunggu...
Fahmy Radhi
Fahmy Radhi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pemerhati Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Money

Brantas Lapindo

17 Januari 2016   09:32 Diperbarui: 6 Februari 2016   05:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum reda benar kegaduhan akibat adanya indikasi persekongkolan izin perpanjangan Kontrak Karya Freeport, kini kegaduhan serupa kembali muncul. Kali ini, kegaduhan tersebut disebabkan adanya pemberian izin pengeboran Jilid Dua kepada PT Lapindo Brantas, yang dikeluarkan oleh SKK Migas dan Pemerintah Daerah Sidoarjo. Izin lingkungan untuk pengembangan sumur gas milik Lapindo Brantas, yang berjarak hanya 1 kilometer sebelah utara pusat semburan lumpur panas, diberikan lewat Surat Keputusan Bupati pada 23 Oktober 2015 yang ditandatangani Bupati Saiful Ilah. Menurut Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sidoarjo, izin Bupati itu dikeluarkan atas dasar rekomendasi yang dikeluarkan oleh SKK Migas pada Juli 2013 lalu.

Pemberian izin pada PT Lapindo Brantas, untuk melakukan pengeboran jilid kedua di Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, sungguh mengabaikan penderitaan rakyat Sidorajo yang terkena dampak luapan lumpur panas selama hampir 10 tahun ini. Semburan lumpur panas yang tiada henti sejak 29 Mei 2006 telah menenggelamkan lebih dari 400 hektar lahan yang di atasnya berdiri bangunan rumah penduduk, pabrik, sekolahan, tempat ibadah, kuburan, termasuk menggenangi jalan tol Surabaya-Malang, sehingga menimbulkan trauma berkepanjangan.

Kerugian yang ditimbulkan oleh semburan lumpur panas itu diperkirakan sudah mencapai triliunan rupiah yang dibebankan pada APBN, baik untuk membiayai upaya penanganan lumpur panas, maupun untuk biaya relokasi sekitar sepuluh ribuan penduduk yang rumahnya tenggelam akibat semburan lumpur panas. Belum lagi kalau dihitung biaya multiplayer effect akibat semburan lumpur panas itu. Biaya-biaya tersebut di antaranya meliputi hilangnya pekerjaan dan usaha penduduk setempat, tidak beroperasinya sejumlah pabrik di lokasi bencana, terhambatnya arus barang dan jasa akibat tidak berfungsinya jalan tol Sidoarjo.

PT lapindo Brantas, anak perusahaan Imperium Group bakrie, memang ikut bertanggung-jawab dalam membiayai relokasi penduduk yang terkena dampak luapan lumpur panas. Namun, pembayaran gati rugi kepada penduduk, selain dicicil, pembayarannya juga tersendat-sendat, hingga hari ini masih ada sekitar 68 berkas ganti rugi warga di area terdampak yang belum dibayarkan kompensasinya. Akibatnya, Pemerintahan Jokowi harus memberikan dana talangan sebesar Rp. 781,6 mililar untuk dibayarkan kepada penduduk yang belum dibayar oleh PT Lapindo Brantas.

Kendati adanya kontroversi penyebab utama semburan lumpur panas, tetapi dalam keterangan pers pada 15 Juni 2006, PT Lapindo Brantas mengakui bahwa pengeboran sumur Banjar-Panji-1 dengan memasang casing hingga kedalaman 3.580 kaki, tapi mulai kedalaman 3.580 hingga 9.297 kaki tidak memasang casing. Akibatnya, terdapat jalur patahan yang timbul oleh pengeboran Lapindo tanpa casing, sehingga menyebabkan semburan lumpur panas yang berkelanjutan hingga kini. Selain terbukti sebagai penyebab semburan lumpur panas, komitmen PT Lapindo Brantas dalam pembayaran ganti rugi kepada warga di area terdampak juga terbukti sangat rendah, sehingga hampir 10 tahun komitmen tersebut belum juga diselesaikan.

Mengingat trauma penderitaan rakyat Sidoarjo yang berkepanjangan dan kerugian Negara mencapai puluhan triliun rupiah, serta rendahnya komitmen PT Lapindo Brantas dalam pembayaran ganti rugi kepada warga, Pemerintah seharusnya “brantas Lapindo” dengan tidak memberikan izin pengeboran jilid kedua di Sidoarjo. Bahkan, Pemerintah harus membatalkan izin PT Lapindo Brantas untuk melakukan pengeboran Migas tidak hanya di area Sidoarjo saja, tetapi di seluruh area teritorial Indonesia.

Upaya brantas Lapindo tersebut dimaksudkan sebagai bentuk hukuman atas kecerobohan PT Lapindo Brantas, sehingga bisa menjadi pembelajaran, tidak hanya bagi PT Lapindo Brantas, tetapi juga bagi Perusahaan Pengeboran Migas lainnya, yang beroperasi di Indonesia. Adanya hukuman tersebut diharapkan dapat mencegah malapetaka serupa tidak terjadi lagi. (Penulis adalah Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM dan Mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas)

Dimuat di Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat, Senen Kliwon, 11 Januari 2016, http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4335/brantas-lapindo.kr

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun