Mohon tunggu...
Fahmi Zakaria
Fahmi Zakaria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum

Mahasiswa Fakultas Hukum yang kepo isu-isu Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi: Ancaman atau Balas Budi?

13 Juni 2024   11:53 Diperbarui: 13 Juni 2024   11:58 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Orang yang beriman tak akan menjadi diktator, despot, tiran, atau sebangsanya, melainkan menjadi demokratis dan egaliter - Prof. Dr. Nurcholis Madjid

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang dijadikan harapan terakhir masyarakat Indonesia yang memperjuangkan hak konstitusinya. Yang menjadi 'langganan' masyarakat Indonesia untuk datang ke Mahkamah Konstitusi adalah mengajukan judicial review ketika Undang-Undang ditengarai bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Data dari Lembaga Survei Indikator Politik 21 April 2024 Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga dengan tingkat kepercayaan dari publik cukup tinggi, yaitu 72,5%. Angka ini naik signifikan dari Januari 2024 dari 60-an persen. Namun angka tersebut diprediksi akan jatuh kembali dampak wacana revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang mengatur tentang usia hakim konstitusi. Revisi tersebut diprediksi akan melumpuhkan independensi hakim konstitusi.  

Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi terfokus pada pasal 23A dan pasal 87 yang pokok perubahannya adalah di pasal 23A mengatur bahwa masa jabatan hakim konstitusi ialah 10 tahun, dan pasal 87 mengharuskan hakim yang telah lima tahun menjabat untuk mendapat persetujuan ulang dari lembaga yang mengusungnya. 

Dengan adanya persetujuan ulang, diharapkan bahwa kinerja hakim dapat dievaluasi secara berkala, memastikan bahwa mereka tetap memenuhi standar profesionalisme dan integritas yang tinggi. Namun, revisi ini juga menimbulkan berbagai tanggapan dan diskusi di kalangan masyarakat dan pakar hukum. Sebagian pihak menganggap bahwa masa jabatan 10 tahun dapat memberikan kepastian hukum dan mengurangi pengaruh politik dalam proses peradilan. Di sisi lain, ada pula kekhawatiran bahwa persetujuan ulang setelah lima tahun dapat menimbulkan potensi intervensi politik terhadap independensi hakim.

Intervensi politik dapat terjadi jika lembaga pengusung, yang mungkin memiliki kepentingan politik tertentu, menggunakan proses persetujuan ulang untuk memengaruhi keputusan atau sikap hakim konstitusi. Hakim yang harus mempertahankan posisinya mungkin merasa tertekan untuk mengeluarkan putusan yang sejalan dengan keinginan atau agenda politik dari lembaga yang mengusungnya, demi mendapatkan persetujuan ulang dan memperpanjang masa jabatannya. 

Potensi intervensi politik ini dapat mengancam independensi hakim konstitusi, yang seharusnya bebas dari tekanan dan pengaruh politik dalam menjalankan tugasnya. Independensi hakim konstitusi adalah prinsip fundamental dalam sistem peradilan yang bertujuan untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum. Jika independensi ini terganggu, maka integritas dan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi bisa terancam. 

Selain itu, ketentuan masa jabatan 10 tahun dalam Pasal 23A juga bisa menimbulkan dinamika politik tersendiri. Meskipun memberikan stabilitas jangka panjang, hakim yang mendekati akhir masa jabatannya mungkin menghadapi tekanan untuk membuat keputusan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memiliki pengaruh politik atau ekonomi.

Independensi hakim konstitusi merupakan elemen fundamental dalam menjaga integritas dan kredibilitas sistem peradilan suatu negara. Prinsip normatif yang diharapkan dalam konteks independensi hakim konstitusi mencakup beberapa aspek penting yang harus dijaga dan diimplementasikan secara konsisten. Pertama, kebebasan dari intervensi politik. Hakim konstitusi harus mampu menjalankan tugas dan fungsinya tanpa tekanan atau pengaruh dari pihak manapun, termasuk lembaga eksekutif, legislatif, maupun kelompok kepentingan lainnya. Ini berarti bahwa proses pengangkatan, masa jabatan, dan evaluasi kinerja hakim harus diatur sedemikian rupa sehingga meminimalisir peluang intervensi politik. 

Misalnya, masa jabatan yang tetap dan tidak dapat diperpanjang tanpa evaluasi independen dapat membantu mengurangi tekanan politik terhadap hakim. Kedua, proses seleksi yang transparan dan akuntabel. Pemilihan hakim konstitusi harus dilakukan melalui mekanisme yang terbuka dan berdasarkan meritokrasi. Kriteria seleksi harus jelas, obyektif, dan dijalankan oleh panel independen yang terdiri dari ahli hukum dan tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi. 

Dengan demikian, hakim yang terpilih adalah mereka yang benar-benar kompeten dan memiliki komitmen terhadap prinsip-prinsip konstitusi dan hukum. Ketiga, jaminan masa jabatan yang aman. Masa jabatan hakim konstitusi harus diatur dengan jelas dan tidak boleh mudah diubah atau dipengaruhi oleh perubahan politik yang terjadi. Ketentuan ini penting untuk memastikan bahwa hakim dapat menjalankan tugasnya dengan tenang tanpa takut akan ancaman pencopotan atau tidak diperpanjang masa jabatannya karena putusannya tidak populer atau tidak sesuai dengan kepentingan politik tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun