Mohon tunggu...
Mohammad Fahmi
Mohammad Fahmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Random Cuties

12 Januari 2016   21:33 Diperbarui: 12 Januari 2016   21:53 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti hari-hari biasa di Jakarta, hari itu sangatlah panas. Aku sedang berada di bus yang bergerak menuju ke pusat kota. Layaknya kebanyakan transportasi umum lainnya di Jakarta, udara yang panas di luar berubah jadi puluhan kali lebih panas di dalam bus yang berdesakkan, tidak ber-AC, dan memiliki ventilasi udara yang sangat buruk. Beginilah hari-hari hampir semua orang di Jakarta, seperti biasa.

Betapa buruknya keadaan di bus sekalipun tidak akan menghalangiku untuk melakukan hal yang produktif ... Oh yang kumaksud dengan produktif adalah aktivitas membaca buku atau memainkan game portabel di mesin yang aku miliki. Karena bermain game tidak akan terasa menyenangkan jika satu tanganku harus sibuk menjaga keseimbangan dengan berpegangan ke railing bus, jadi aku memutuskan untuk membuka buku yang belum lama aku beli, sebuah kopi dari The Elephant Vanishes yang ditulis Haruki Murakami, sambil ditemani dengan alunan musik yang diputar secara acak melalui iPod yang aku bawa.

Meskipun keadaan di dalam bus cukup ramai, setidaknya aku masih memiliki sedikit ruang untuk berdiri sambil bersandar ke pinggiran kursi. Selain aku, ada kurang lebih sepuluh orang lainnya yang juga berdiri di dalam bus, dengan seluruh bangku terisi penuh. Sebuah kondisi yang biasa terjadi di Jakarta pada hari Sabtu libur panjang seperti sekarang ini. Aku sendiri berdiri cukup dekat dengan pintu belakang bus, jadi aku tidak bisa mengatakan kalau keadaanku terlalu buruk juga.

Selama membaca, tidak jarang aku mengalihkan perhatianku dari buku ke lingkungan sekitar, takut melewatkan tempat tujuan atau sekedar memastikan tidak ada pencopet yang mengganggu. Ketika aku tengah memperhatikan sekitar itulah, mataku tiba-tiba terpaku kepada sesosok wanita yang tengah berdiri cukup dekat dengan pintu depan bus.

Cukup sulit mendeskripsikan wanita itu, karena memang bisa dibilang tidak ada ciri khas spesial yang melekat pada dirinya. Dia berdiri sambil bersandar juga di pinggiran kursi bus. Kacamata dengan frame tebal dan polesan make-up tipis melekat di wajahnya yang sangat manis untuk standar pribadiku. Earphone kecil terpasang di telinganya, entah musik apa yang tengah ia dengarkan dan entah benda apa yang menjadi sumber musiknya. Senyumnya terpampang tipis, dan pandangannya jarang terfokus ke satu tempat, selalu saja ada hal yang dia perhatikan, entah pemandangan di luar atau di dalam bus.

“Mungkin dia adalah orangnya,” sebuah pikiran absurd dan acak tiba-tiba terdengar di benakku.

Sebagai pemuda single yang terkadang bisa menjadi seorang hopeless romantic secara tiba-tiba, tidak jarang pikiran seperti itu terbesit di kepalaku. Fenomena yang aku beri nama Random Cuties ini bukanlah pertama kalinya terjadi. Sedikit saja aku melihat wanita di tempat umum yang memiliki penampilan fisik yang sesuai dengan seleraku, langsung muncul berbagai pikiran tentang apa yang terjadi kalau aku mengajaknya berkenalan.

Sambil memandanginya, aku teringat dengan seorang Random Cutie lain yang pernah aku temui dalam perjalanan kereta api Prameks dari Yogyakarta ke Solo. Wanita manis berambut pendek itu nampak sangat berbeda dari seluruh penumpang Prameks lainnya. Dia nampak bersinar dengan pakaiannya yang jelas tidak cocok dengan kereta seperti ini, apalagi dia membawa sebuah biola yang membuatku sangat tertarik dengannya. Sampai saat ini, aku masih mengingat wanita tersebut sebagai semacam unicorn yang pernah melintas dalam hidupku, dan ada kemungkinan wanita yang tengah kupandangi ini bisa menjadi unicorn lain dalam hidupku.

Ketika aku tengah terpaku memandangnya, tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya ke arahku. Mata kami bertemu. “Shit!” ujarku dalam hati sambil kembali mengalihkan pandanganku ke arah buku yang tengah kubaca. Tapi tentu saja aku tidak bisa lagi berkonsentrasi kepada buku itu. Sesekali aku melirik ke arah wanita tersebut sambil berpikiran untuk mencoba mengajaknya berkenalan.

“Jangan gila! Kau mau dianggap seperti orang bodoh yang terlalu percaya diri untuk mengajak wanita tidak dikenal mengobrol di tengah keramaian? Bagaimana kalau dia tersinggung, atau lebih parah lagi ... bagaimana kalau dia jauh dari bayangan wanita sempurna yang sekarang ada di otakmu?!” suara ego yang sangat besar itu berteriak di dalam kepalaku.

“Tapi bagaimana jika dia adalah orangnya? Mungkin saja dari earphone yang dia kenakan tengah mengalun lagu Explosions in the Sky atau malah musik karangan Yoko Shimomura yang merupakan favoritmu. Kalau benar, maka kau jelas telah melewatkan orang yang sudah kau cari-cari semenjak kau akil baligh!” suara ego lainnya terdengar di dalam kepalaku.

Aku pun mulai membungkam suara-suara absurd yang berteriak di dalam kepalaku itu, sambil mengingat-ingat bahwa ini bukanlah pertama kalinya kejadian seperti ini terjadi. Fenomena Random Cuties ini sudah amat sangat sering terjadi, dan sejauh ini tidak pernah ada yang berjalan mulus.

“Apa kau tidak ingat dengan wanita yang kau temui setiap hari di bus yang membawamu ke tempat kerja lamamu? Dia nampak seperti wanita yang sudah 100% sempurna seperti yang engkau harapkan bukan? Ternyata begitu kau berkenalan dengannya dan menguntit kehidupan dia melalui media sosial, dia jelas jauh dari apapun yang kau bayangkan,” ujar ego menyebalkan di kepalaku.

Betapa sulitnya pun aku harus mengakui, tidak bisa dipungkiri egoku ini ada benarnya juga, pikirku dalam hati sambil memberikan makan besar kepada ego negatif yang mengisi kepalaku.

Tapi aku jelas tidak pernah menyesali berkenalan dengan wanita yang rasanya hanya kurang dari 10% cocok denganku tersebut. Toh segala jenis perkenalan dengan siapapun pasti ada positifnya kan.

“Hei coba ingat-ingat, kau lebih sering menyesal karena mengambil keputusan, atau karena tidak mengambil keputusan? Jangan tambah jumlah unicorn dalam hidupmu. Hasil akhir itu belakangan, yang penting coba saja dulu!” teriak egoku yang sedikit tidak terlalu menyebalkan … walaupun pikiran barusan jelas menyebabkan ego alternatif tadi jadi sedikit lebih menyebalkan.

Sementara terjadi konflik batin besar-besaran di pikiranku, aku semakin sering melirik ke arah wanita tersebut, dan sepertinya dia juga menyadarinya. Pada satu poin, mata kami kembali bertemu, namun kali ini dia menyempatkan untuk tersenyum sedikit kepadaku! Otomatis aku membalas senyuman tersebut, namun langsung kembali membuang muka karena malu.

“Oh yang benar saja! Usiamu sudah seperempat abad dan kau masih belum bisa memandang lawan jenis langsung dengan matamu? Dasar bocah bermuka tua,” bisa ditebak ego yang mana yang mengucapkan ini di kepalaku.

Pada saat itu, aku sudah memasukkan buku yang dari tadi kupegang ke dalam tas. Kalau memang pikiranku ada di tempat lain, buat apa memegangi terus buku yang tidak bisa aku baca dengan penuh konsentrasi.

Aku pun mulai membayangkan berbagai skenario yang akan terjadi jika aku nekat mengenalkan diriku pada wanita itu. Pertama, aku jelas akan sangat mengganggu penumpang lain yang harus memberi jalan agar aku bisa menhampiri tempatnya berdiri. Kedua, seluruh isi bus yang mungkin berisi hampir empat puluh orang akan menganggap aku orang mesum tak tahu malu, dan salah satu dari mereka yaitu sang wanita tersebut akan menganggapku sebagai orang mesum tak tahu malu yang merepotkan dan jelas sangat kepedean hanya karena sebuah senyum basa-basi saja. Ketiga, setelah melalui proses-proses memalukan dan menyusahkan tersebut, si wanita tersebut mungkin saja akan berteriak minta tolong karena ada seorang bocah bermuka tua tiba-tiba genit menghampirinya, dan kemudian aku akan dipukuli orang satu bus sampai setengah mati hanya karena aku mengikuti kata hatiku yang jelas tidak bisa dipercaya.

Metro Mini | Illustration
Metro Mini | Illustration
Ah semakin pusing saja aku dibuatnya! Tapi bagaimana kalau dia adalah orang yang tepat? Orang yang telah aku cari-cari dari entah kapan pikiranku mulai memikirkan tentang masa depan sebelum waktunya.

Setelah memikirkannya … jelas tidak dengan baik-baik … aku memutuskan untuk melupakan wanita tersebut saja. Fenomena seperti ini sudah terlalu sering terjadi padaku, buat apa memikirkannya repot-repot kan? Lagi pula, ada yang bilang, kalau sudah jodoh tidak akan ke mana. Kalau memang dia adalah orangnya, aku tidak perlu khawatir juga suatu saat akan bertemu lagi. Yah itulah pembenaran yang paling sering aku gunakan untuk menyenangkan diri sendiri yang tidak pernah bisa menghadapi situasi seperti ini dengan kepala dingin.
Aku pun memandang ke arah wanita tersebut sekali lagi. Tidak terlalu cantik, tapi jelas sesuai dengan tipeku. Mungkin saja dia memiliki kegemaran yang sama denganku, mungkin juga tidak. Tapi biarlah, jangan diambil pusing dan lanjutkan hidupku seperti biasa. Toh kalau jodoh tidak akan ke mana.

Tidak lama kemudian bus yang kutumpangi pun sampai ke tempat tujuan. Aku berusaha untuk tidak menengok ke wanita tersebut lagi. Earphone yang kupakai tengah melantunkan lagu “Strange Chameleon” dari The Pillows. Suara Sawao Yamanaka yang meneriakkan lirik berbunyi “I wanna be your gentleman” menggema di kupingku. Huh, dramatis sekali.

Bus pun berhenti di halte depan mal yang aku tuju. Aku turun melalui pintu belakang sambil tetap mendengarkan musik dari The Pillows dan menghela nafas karena terbebas dari ruangan sempit yang dipenuhi banyak orang yang sempat aku bayangkan akan memukuliku sampai setengah mati.

Saat itulah aku menengok ke arah kanan, dan kulihat bahwa aku bukan satu-satunya orang yang turun di halte tersebut. Wanita yang dari tadi kupandangi nampak keluar dari pintu depan bus. Dia menghela nafas sebentar sebelum kemudian menengok ke arah kiri, ke arahku, dan nampak sedikit kaget. Ekspresi kaget itu pun langsung tergantikan dengan senyum manis yang jelas memiliki banyak arti bagi seorang bocah berusia seperempat abad.

Jadi, apa benar kalau jodoh itu tidak ke mana?

Sumber Gambar: Next Destination by Gerokun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun