Mohon tunggu...
Fahmi Ramadhan Firdaus
Fahmi Ramadhan Firdaus Mohon Tunggu... -

Constitutional Law Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tarik Ulur Pengesahan UU MD3

26 Februari 2018   16:43 Diperbarui: 27 Februari 2018   18:18 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : siperubahan.com

Jember - Setelah melalui pembahasan yang cukup panjang, revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) akhirnya disahkan dalam rapat paripurna senin (12/2). Ada 13 perubahan substansi pokok dalam revisi ini.

Namun yang menjadi permasalahan adalah 3 poin krusial yakni :

Pasal 73

Pasal ini memberikan kewenangan kepada anggota DPR untuk memeriksa objek yang dituju. Jika pemeriksaan tidak direspon oleh pihak-pihak atau lembaga yang disasar, DPR berhak meminta bantuan kepolisian untuk melakukan pemanggilan paksa. Bahkan, kepolisian diberikan kewenangan untuk melakukan penyanderaan selama 30 hari. Sampai saat ini kepolisian masih mempelajari hal ini.

Pasal 245

Pasal ini memberikan imunitas pada para anggota DPR yang berurusan dengan upaya penegakan hukum. Karena jika ada lembaga yang hendak memeriksa para anggota DPR maka harus melalui pertimbangan MKD. Setelah itu MKD mengeluarkan pertimbangan tersebut pada presiden untuk ditindaklanjuti.

Hal ini dapat dinilai sebagai upaya untuk melindungi anggota DPR dan merupakan kepentingan mereka saja, dapat kita lihat berapa banyak anggota DPR yang terlibat masalah hukum di KPK.

Prinsip-prinsip dasar dalam konstitusi yang menyebutkan setiap warga negara sama dihadapan hukum jelas dilanggar. Pembentukan pasal tersebut hanya atas dasar semangat untuk melindungi diri.

Pasal 122

Poin dalam pasal ini yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan, pada huruf k.  Poin itu menyebut jika ada pihak atau lembaga yang dianggap merendahkan kehormatan anggota DPR bisa ditindak oleh MKD dengan mengambil upaya hukum. Sehingga pihak yang mengkritik atau menghina anggota DPR bisa diproses secara hukum yang harus dilaporkan kepada kepolisian terlebih dahulu.

Sangat disayangkan karena sesungguhnya MKD merupakan lembaga etik internal yang tidak berurusan dengan publik yang dianggap mencederai marwah parlemen, namun hanya lingkup anggota DPR saja.

Lembaga Super Body

Revisi UU MD3 semakin merusak tatanan kelembagaan DPR. Tidak ada harapan Parlemen yang lebih baik dari pasal yang direvisi dan dicap sebagai DPR yang anti demokrasi padahal mereka yang menjadi anggota DPR dipilih melalui proses demokrasi.

Karena bertentangan dengan UUD NRI 1945 ketiga pasal dalam revisi UU MD3 tersebut sangat berpotensi untuk diajukan Judicial Reviewdi Mahkamah Konstitusi.

Permasalahan baru timbul. Draft revisi UU MD3 ini sudah sampai di meja presiden, namun sampai saat ini presiden belum mau menandatanganinya, sehingga undang-undang ini tidak ada nomornya.

Presiden menganggap isi dari RUU MD3 ini bertentangan dengan keinginannya, namun hal ini justru menjadi bumerang bagi presiden karena mustahil presiden tidak tahu isi undang-undangnya sedangkan pembahasan undang-undang sesungguhnya dibahas oleh legislatif bersama-sama dengan eksekutif dalam hal ini diwakili oleh Menkumham.

Sulit bagi pihak-pihak yang ingin mengajukan Judicial Reviewkarena perkara mereka tidak akan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi ( BRPK ) oleh karena revisi UU MD3 sebagai objek pengujiannya belum ada nomor undang-undangnya.

Langkah presiden yang belum mau menandatangani RUU MD3 dinilai tidak tepat karena tidak memberikan kepastian hukum, hal inilah yang menghambat pihak-pihak yang ingin mengajukan Judicial Review. 

Dalam pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa dalam hal suatu RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Sehingga apabila RUU MD3 dalam tempo 30 hari sejak disetujui dalam paripurna belum ditanda tangani oleh presiden, maka akan secara otomatis akan menjadi undang-undang.

Sebagai langkah yang lebih efektif, sesungguhnya presiden dapat menandatangani RUU tersebut dan kemudian menerbitkan PERPPU untuk menghapus pasal-pasal yang dinilai bertentangan dengan aspirasi publik dan konstitusi.

*) Fahmi Ramadhan Firdaus
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun