Jember – Sidang perdana kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (kasus korupsi e-KTP) pada 2011-2012 akan dilangsungkan Kamis (9/3/2017). Seperti yang diperkirakan dan dibicarakan sebelumnya, dakwaan yang dibacakan akan menimbulkan kegaduhan baru. Benar saja, ternyata ada lebih dari 35 nama yang disebutkan dalam dakwaan dan diperkirakan menerima aliran uang panas anggaran e-KTP yang merugikan negara sebesar 2.3 Triliun ( diperkirakan lebih ).
Kasus ini sebenarnya bukan kasus baru, dimulai di Era SBY tahun 2010. Proyek ini banyak kejanggalannya, ditemukan pada 2 September 2011, Dugaan penyimpangan dan keraguan terkait proyek pendataan penduduk melalui E-KTP mulai muncul di DPR. Namun tanggal 27 Januari 2012, Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan perangkat lunak, perangkat keras dan sistem blanko dalam uji coba E-KTP. Penyidikan dihentikan karena Kejaksaan tidak mendapat alat bukti yang cukup.
Pada 22 April 2012, KPK menelusuri dugaan keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam kasus E-KTP. Dugaan ini diungkapkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. KPK menetapkan Pejabat pembuat pembuat Komitmen di Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka.
2 Tahun melakukan pemeriksaan, barulah pada 24 April 2014, KPK menemukan sejumlah bukti kejanggalan dalam proyek pengadaan paket penerapan E-KTP. Selain dugaan penggelumbungan dana proyek pengadaan paket penerapan E-KTP, KPK juga menemukan dugaan penyelewengan proses tender. Tepatnya 19 November 2014, KPK kembali menggeledah kantor Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.
30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irwan sebagai tersangka.
Sidang perdana pada 6 Maret 2017, KPK membacakan dakwaan setebal 121 halaman terkait kasus korupsi pengadaan E-KTP serta menyebutkan peran dan posisi ke 23 Pejabat Penyelenggara Negara yang diduga menerima aliran dana dalam kasus itu. Namun, penetapan status dari 23 nama itu menunggu pengungkapan fakta yang akan digelar selang beberapa hari.
*Surat Dakwaan bisa diunduh disini : Dakwaan E-KTP
Terjawab sudah keraguan dan tanda tanya besar warga negara Indonesia yang belum mendapatkan e-KTP karena blangkonya kosong, atau yang sudah mendapatkan e-KTP tapi belum setahun digunakan sudah rusak.
Dan terjawab pula mengapa akhir-akhir ini DPR RI menggalakan kembali upaya revisi UU KPK bahkan sudah sosialisasi ke kampus – kampus. Tentu saja hal ini untuk memberikan pressure kepada KPK dan upaya DPR memberikan warning “Jangan macam – macam dengan kami”. Hal senada juga diungkapkan Ketua DPR, PapaNovanto agar KPK tidak membuat kegaduhan. Kita lihat manuver apa yang Novanto lakukan berikutnya, ia memiliki track record yang buruk sebagai pejabat publik dan tak etis menjadi Ketua DPR. Dimulai dari Kasus Bank Bali, dia lolos. Kasus penyelendupan beras vietnam dan limbah beracun, dia kembali lolos. Kasus PON Riau 2012, padahal sudah cukup alat bukti dia masih lolos. Terakhir, kasus e-KTP ada kerugian triliun, akankah Papa masih lolos?
Inilah yang dikhawatirkan, serangan balik oleh pihak – pihak lawan yang dirugikan kepada KPK. Revisi UU KPK merupakan upaya nyata para politisi parlemen untuk mengebiri KPK. Kedepan, tak ada yang tahu akan seperti apa upaya – upaya pelemahan KPK. Apakah akan sama seperti yang dulu, dimana para pimpinan KPK seperti Antasari Azhar dan Abraham Samad csyang dikriminalisasi saat menyentuh kasus yang berkaitan langsung dengan penguasa dan orang – orang besar dibaliknya.
Sementara ini ada 14 pihak terkait yang sudah mengembalikan uangnya ke KPK dan bertindak kooperatif namun ada juga pihak yang tidak kooperatif dan diduga menerima dana lebih besar namun tidak dikembalikan kepada negara.
Banyaknya nama besar yang terlibat dan lamanya waktu pemeriksaan serta besarnya kerugian, cukup membuktikan bahwa kasus ini masuk dalam kategori “Mega Korupsi” yang masif. Namun jangan terlalu bahagia jika kasus KTP-el disebut "Mega Korupsi". Dalam catatam historis, kasus-kasus besar biasanya berakhir "too big to fail". Pertamina (1969-1970), Dolog Kalimantan Timur alias kasus Budiadji (1977), BLBI (1998), Bank Bali (1999), Century (2008), Hambalang (2009). Ada semacam konsensus untuk "stop sampai di dia saja".
Dukungan untuk memperkuat KPK harus kita tekankan selalu, dan yang pasti dengan adanya kasus korupsi e-KTP ini cita – cita warga negara Indonesia untuk menjadi negara yang modern harus ditunda dulu, bayangkan KTP yang terintegrasi dengan pajak, BPJS dan pelayanan publik lainnya ternyata Servernya masih berada di luar negeri. Hal ini bisa dikatakan pengkhianatan Negara terhadap Bangsa sendiri.
*) Fahmi Ramadhan Firdaus
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H