Mohon tunggu...
Aziz Fahmi Hidayat
Aziz Fahmi Hidayat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Santri Nusantara

My Life, My Rule, My Decision

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meretas Resah Lewat Sejuta Rumah

4 Oktober 2016   16:08 Diperbarui: 4 Oktober 2016   16:44 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan anggaran sebesar itu, tentunya serapan untuk membangun rumah hingga memenuhi target yang diinginkan akan semakin besar dari periode sebelumnya. Syarif sendiri tidak menampik bila Program Sejuta Rumah yang telah dimulai sejak tahun lalu belumlah sempurna. Karena itu, tahun ini pihaknya banyak melakukan percepatan dengan mengacu pada  pengalaman sebelumnya.

Nah, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah memetakan ragam masalah yang disinyalir bisa menjadi penghambat laju program ‘mulia’ ini. Untuk memecahkan tiga masalah utama tadi—regulasi pertanahan, dukungan Pemda, dan ketersediaan lahan tanah (land bank)— pemerintah terus menggenjot usaha mengakrabkan diri dengan beberapa instasi terkait seperti Kementeian Agraria/ Kepala BPN dan Kementerian Dalam Negeri.

“Kami terus melakukan kesepakatan pemahaman dengan teman-teman pendukung program ini sehingga bisa berjalan sesuai harapan. Jujur saja, masalah koordinasi yang kadang sedikit menghambat,” ungkap pria ramah ini.

Sebagai contoh, pemerintah pusat telah menginstruksikan soal pembebasan biaya IMB serta perizinan. Nyatanya, baru tiga daerah yang taat yakni Jambi, Palembang dan Surabaya. Dengan kata lain, sebenarnya yang terjadi di lapangan adalah kurang maksimalnya peran Pemda yang nilai Syarif merupakan ujung tombak dari kesuksesan progam ini. “Sinergi menjadi hal yang paling dibutuhkan untuk menyelaraskan program sejuta rumah ini,” tegasnya lagi.

Memang tidak mudah, ini diakui Syarif sendiri. Menurutnya, semua pihak harus mendukung. Namun, proses implementasinyalah yang membutuhkan waktu agak panjang.

Contonhya, belum lama ini Kementerian PUPR mendapatkan hibah berupa land bank dari Kementerian Keuangan seluas 360 hektar yang diperuntukkan untuk penyediaan rumah murah. Faktanya, lahan seluas itu belum bisa langsung digunakan lantaran masih harus mengurus perizinannya terlebih dulu.

Persoalan utama dari Program Sejuta Rumah ini memang lebih banyak berkutat di urusan land bank. Sekalipun disokong dengan aneka kemudahan terutama bagi calon konsumen alias pembeli seperti peringanan uang muka dari 5-10% menjadi 1%, kemudian besaran cicilan menjadi 5% dari yang sebelumnya 7,25% dengan tenor hingga 20 tahun (bahkan ada wacana sampai 30 tahun); namun bila lahan untuk membangunnya tidak ada, maka ini mirip istilah ‘pepesan kosong’.

Land bank pulalah yang membuat Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW) berteriak keras mengenai pengadaannya yang menjadi wajib hukumnya. Ali cukup konsisten menyuarakan soal land bank, bahkan sejak Kemenpera masih berdiri sendiri di bawah kepemimpinan Suharso Monoarfa dan penggantinya Djan Farid. Ali mengingatkan pemerintah akan pentingnya ketersediaan bank tanah bagi pengembangan rumah sederhana. 

“Bank tanah mutlak disediakan jika misi merumahkan rakyat adalah prioritas,” ujar Ali saat wawancara dengan penulis lima tahun silam. Namun, sampai saat ini keberadaan bank tanah masih saja belum terwujud matang sehingga keyakinan menjalankan misi sejuta rumah agak terganggu.

Artinya, gerak cepat pemerintah melalui sejumlah kebijakan serta fasilitas penunjang Program Sejuta Rumah menjadi lambat, bahkan jalan di tempat, bila urusan bank tanah ini tidak segera dibenahi. Hasilnya, target memenuhi sedikitnya 1 juta unit rumah tiap tahunnya baru bisa tersedia 400-500.000 unit, sementara di sisi lain kebutuhan terus meningkat sebanyak 800.000 unit setiap tahun.

Sedikit mengulik sejarah, konsep bank tanah sebenarnya telah ada sejak zaman Orde Baru dengan istilah Kasiba (kavling siap bangun) atau Lisiba (lingkungan siap bangun). Konsep ini menjadi strategis karena nantinya tanah-tanah yang bisa dikembangkan untuk public housingdapat segera ‘diamankan’ pemerintah sehingga harga tanahnya tidak terus naik mengikuti mekanisme pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun