Mohon tunggu...
Fahmi Nouval Dzulfikri
Fahmi Nouval Dzulfikri Mohon Tunggu... Musisi - Musisi

Seorang penikmat dan pencipta musik yang memiliki ketertarikan dibidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelisik Perilaku Bullying yang Sudah Mengakar di Kalangan Siswa Indonesia

29 September 2023   23:50 Diperbarui: 30 September 2023   00:15 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: edited by fahmi nouval

Dari masa ke masa, berita tentang bullying sering muncul dalam topik pemberitaan. Ironinya adalah, peristiwa ini sering terjadi dikalangan sekolah, mulai dari SMP, SMA Universitas bahkan saat ini anak SD pun menjadi sorotan karena ternyata terdapat perilaku bullying yang terjadi disana.

Bullying kerap atau santer terdengar ketika mendekati masa-masa orientasi siswa atau ospek universitas. Perilaku ini terus berlangsung bahkan sampai saat ini pun masih selalu terdengar. Seakan bullying menjadi sebuah budaya yang sudah mengakar dikalangan sekolah khususnya di Indonesia.

Maraknya perilaku ini di Indonesia, memaksa UNESCO menyoroti bagaimana perilaku anak-anak sekolah di Indonesia, dampak dari kasus yang viral akhir ini. Pada akhirnya, lewat pembahasan ini gue sedikit banyak penasaran, apakah bullying itu terjadi sejak lama atau hanya dizaman sekarang? Lalu, kenapa bullying itu terjadi?.

Kata Bullying diperkenalkan pertama kali pada tahun 1973 oleh Olweus, menurut penulis buku Bullying At School ini, menerangkan perilaku ini merupakan bentuk perilaku agresif yang sengaja dilakukan untuk membuat korbannya kesusahan, perilaku ini terjadi berulang-ulang karena ketidak seimbangan dalam hubungan.  

Selanjutnya bullying atau dikenal dengan perundungan ini didefinisikan yang merupakan perilaku merendahkan, meresahkan, atau menyerang seseorang secara berulang-ulang dan biasanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang lebih kuat atau berkuasa daripada korban.

 

Menurut Riauskina, Djuwita dan Soesetio (2005) mendefiniskan bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. 

 

Dari sini bisa disimpulkan bahwasannya bullying ini adalah sebuah pola perilaku atau bisa dikatakan sebuah insiden yang dilakukan berkali-kali, bullying biasanya dilakukan oleh anak-anak berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi.

Contohnya anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer sehingga dapat menyalahgunakan posisinya. Sekilas hal ini mirip dengan perilaku intimidasi, hanya saja kata bullying ini  diposisikan lebih spesifik kepada anak-anak yang duduk dibangku sekolah atau sedang menempuh pendidikan.

Pernah suatu hari gue mendengar percakapan siswa-siswa yang sedang nongkrong disalah satu warung kopi. Mereka sedang mendiskusikan acara masa orientasi disekolahnya, yang gue nilai dari diskusinya adalah ketika pembahasan konsep acara bobot nya mungkit 30-40% (jika dipersentasekan), lalu intinya pada pembahasan yang condong kearah bullying.

Masih terngiang dikuping gue ketika mereka membicarakan perilaku yang menjurus ke perundungan ini, ada kata-kata "ah, dulu juga gue dibegituin ama kakak kelas, bahkan lebih parah" ucap salah satu siswa yang sedang nongkrong tersebut. Dari situ gue mengambil hipotesis, mungkin bullying ini bisa didasari oleh balas dendam.

Gue akhirnya menilisik kebelakang untuk memvalidasi hipotesis gue mengenai balas dendam ini. Ternyata, bullying sudah ada sejak pendidikan tradisional, dimana pada masa itu sudah ada kasus seperti pelecehan baiktiu fisik, verbal bahkan emosional dan juga adanya penganiayaan terhadap anak-anak sekolah.

Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor kenapa bullying sampai hari ini masih ada dikalangan anak sekolah, karena dalam beberapa situasi, seseorang mungkin terlibat dalam perilaku bullying sebagai bentuk balas dendam yang mana mereka merasakan suatu sejarah konflik atau perselisihan sebelumnya.

Dan faktor lainnya, bisa jadi karena anak-anak ini masih tidak memahami betapa merusaknya perilaku tersebut. Yap, sampai sekarang gue belum melihat secara langsung, apakah pendidikan akan kesadaran mengenai perilaku bullying ini sudah diberikan atau belum disekolah-sekolah, atau jangan-jangan tidak ada sama sekali.

Dampak dari kurangnya pendidikan akan kesadaran perilaku ini akan mengakibatkan mata rantai bullying secara terus menerus. Hal ini dikarenakan diusia anak-anak mereka masih perlu diarahkan dalam hal perilakunya, jika tidak diarahkan kearah yang benar, mereka akan terus melabrak batasan sehingga menjadi kebiasaan.

Mau tidak mau mata rantai ini harus diputuskan dengan cara terus menerus mealakukan sosialisasi pendidikan perilaku anti bullying ini dan jadikan kasus-kasus sebelumnya sebagai contoh akibat dari melakukan bullying. Kalo  hal seperti ini  tidak ditanggapi dengan serius, bisa-bisa anak-anak menjadi takut untuk bersekolah.

Maka dari itu, terapkan pendidikan dan kesadaran dampak dari bullying ini dengan serius. Karena hal seperti ini akan terus-menerus berulang karena mata rantainya tidak kita putus. Dan diharapkan hukuman untuk pelaku pun serius, karena hal ini sudah termasuk dalam kategori merugikan bagi korbannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun