Mohon tunggu...
Achmad Fahmil Ulum
Achmad Fahmil Ulum Mohon Tunggu... -

Speacher | Founder Of Islamic Economic Challenge in UIN Surabaya | Manager HRD Of DASA | Editor In Chief Buletin DASA | Editor In Chief LPM DEMA FEBI UINSA

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi 2015 Unexpected, Krisis Moneter 1998 Terulangkah?

16 September 2015   16:39 Diperbarui: 16 September 2015   16:53 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Memasuki pertengahan tahun 2015 , dianggap sebagai periode yang cukup kelam bagi sebagian pelaku pasar yang merasakan dampaknya secara langsung terhadap lesunya perekonomian global, khususnya negara – negara dunia yang dilanda krisis ekonomi berkepanjangan. Dimana seringkali kita mendengar berita – berita buruk mengenai pelemahan perekonomian kita akibat yang ditimbulkan dari rentetan krisis – krisis ekonomi berkelanjutan dari dunia luar khususnya Krisis Yunani, efek dari isu kenaikan suku bunga The Fed (Bank Sentral AS) serta pelemahan angka pertumbuhan ekonomi di China. Memang sebenarnya dalam krisis Yunani, hubungan perekonomian memang tidak berdampak secara langsung signifikan terhadap Indonesia hanya dirasakan penurunan terhadap angka ekspor, karena memang selama ini dari kita yang mengekspor produk – produk kelapa sawit dan hasil perkebunan dari bumi Indonesia.

Sedangkan efek dari kenaikan suku bunga The Fed menyebabkan para investor “melarikan” dollar mereka kembali ke negaranya sehingga mebuat mata uang negara superpower ini menguat. Belum ditambah dengan menurunnya data perekonomian negara Tirai Bambu akibat dari melemahnya harga – harga komoditas barang di beragam mancanegara, mulai dari harga minyak dunia yang anjlok, diikuti harga batu bara anjlok, harga karet anjlok, harga CPO (baca : Kelapa Sawit) bahkan anjlok hingga mengalami penurunan hampir 16% dari harga sebelumnya dalam beberapa bulan sebelum terjadinya krisis. Sehingga China sebagai “Pabrik Dunia” mengalami defisit neraca perdagangan mereka akibat begitu perkasanya USD dan anjloknya harga – harga komoditas. Sehingga dengan secara sengaja mendevaluasi mata uang Yuan terhadap USD agar menjaga daya saing ekspor barang mereka sehingga tetap terjaga karena otomatis barang – barang dari China akan lebih murah.

Karena Devaluasi Yuan, ¼ perekonomian dunia panik karena membuat USD semakin digdaya. Hal ini diperparah dengan rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunganya lagi pada akhir bulan ini atau bulan depan dan bisa – bisa menimbulkan “currency war” akut antar negara akibat pelemahan ekonomi. Termasuk mata uang Rupiah yang akan terkena imbas secara langsung, karena kita tahu bahwa perdagangan ekspor tujuan China sangat besar sekali nilainya, bisa kita bayangkan saja kalau pelemahan ini terus berlanjut berapa juta atau milliar dollar melayang akibat krisis ekonomi ini ? Bisa kita bayangkan barang – barang hasil ekspor kita banyak yang kembali ke negara sendiri ?

Sedangkan di wilayah internal ekonomi kita sendiri juga mengalami perlambatan akibat dari menurunnya daya beli masyarakat akibat dari melonjaknya harga bahan pokok dan kebijakan pemerintah. Meroketnya harga – harga kebutuhan pokok masyarakat yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan akibat menguatnya USD dan permainan mafia – mafia pangan, hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan pengendalian pemerintah terhadap pangan khususnya terhadap daging sapi dan bahan pokok lainnya.

Sejalan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, tuntutan pemerintah menggenjot penerimaan pajak dari segala lini juga semakin gencar, dengan kenaikan sebesar hampir 30% dari realisasi penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp. 1.143 Triliun. Tentunya membuat masyarakat berfikir seribu kali untuk membeli kebutuhan pokok, sekunder apalagi tersier dan para pengusaha yang semakin pusing di tengah lesunya ekonomi negeri ini, akibat dari target pemerintah dalam penerimaan pajak yang terlampau tinggi. Akan tetapi nyatanya kinerja Direktorat Jenderal Pajak semakin diperburuk dengan realisasi penerimaan pajak sebesar 46% di akhir agustus dari total APBN – P 2015 sebesar Rp. 1.294.254 Triliun. Tentunya hal ini cukup mengkhawatirkan bagi cash flow keuangan Negara kita.

Ditambah juga dengan realisasi kinerja penyerapan anggaran belanja kementerian yang hanya mencapai 20% dari total dana APBN – P 2015 yang dianggarkan oleh pemerintah. Belum ditambah dengan peningkatan angka PHK (baca : Pemutusan Hubungan Kerja) yang meningkat di awal Semester II 2015 ini. Sangat logis hal ini kita amati dengan seksama, karena memang sebagian besar beban pengusaha terhadap sekian banyak tenaga kerja begitu banyak mulai dari kelas atas, pengusaha kelas menengah hingga mikro. Apalagi sektor usaha besar yang berhubungan langsung dengan perdagangan ekspor – impor. Tentunya mereka akan merasakan dampak langsung terhadap krisis ekonomi global, dimana permintaan terhadap barang maupun jasa akan menurun sejalan menurunnya angka impor akibat pelemahan ekonomi negara – negara yang terlibat langsung perdagangan dengan China maupun Amerika. Membuat para investor – investor melarikan uang mereka ke tempat yang lebih aman. Hingga akhir September USD sudah menyentuh angka hampir Rp. 14.400.

Seluruh tanda – tanda pelemahan ini bisa dianalogikan dengan tanda – tanda yang mirip dengan awal mula krisis ekonomi 1998. Mungkinkah Indonesia akan berjumpa dengan kembali dengan krisis ekonomi seperti tahun 1998 ? Jawabannya iya, kalau melihat dari kondisi makroekonomi sangat mungkin terjadi apabila Rupiah terhantam hingga melemah terhadap USD di posisi Rp. 17.000 – 20.000.

Bahkan akibat Rupiah yang terus melemah , cadangan devisa Indonesia menurun. Bahkan dikhawatirkan beberapa bank – bank nasional akan tutup akibat dari pelemahan rupiah yang begitu signifikan. Seluruh sector usaha akan bangkrut karena tidak mampu membayar kreditnya terhadap bank – bank. Sehingga akibatnya ekonomi kita akan benar – benar “tidur” seperti sediakala krisis 1998.

Bagaimana tindakan pemerintah ? Memang sejauh ini pemerintah sudah melakukan tindakan preventif dengan salah satunya meningkatkan PTKP sebesar 3 juta dari awal mula 2,025 juta sebagai stimulus untuk menaikkan kemampuan daya beli masyarakat. Pemerintah juga melakukan Operasi Pasar guna menurunkan harga – harga bahan pokok/ Dan salah satu yang terbaru adalah diluncurkannya Paket Kebijakan Ekonomi sebagai kartu As pemerintahan sekarang ini untuk meredam gejolak krisis ekonomi berkepanjangan dimana isinya sebagian besar menyangkut Pertama, deregulasi aturan – aturan mengenai kemudahan dalam berinvestasi dan mendirikan usaha di Indonesia, Kedua mempercepat proyek – proyek implementasi strategi nasional, Ketiga peningkatan investasi di sektor properti khususnya investor asing yang ingin berinvestasi di Indonesia. Tak mau kalah BI (baca : Bank Indonesia) pun juga meluncurkan paket kebijakan moneter yang dalam isinya memperkuat nilai rupiah, memperkuat supply and demand serta pengendalian inflasi secara menyeluruh. Diharapkan memang dengan paket stimulus ini akan menggerakkan sektor riil yang akan berimplikasi secara langsung terhadap pertumbuhan nasional ekonomi kita.

Semoga Indonesia kita tercinta mampu melewati krisis dunia yang berkepanjangan di akhir 2015 ini. Wallahua’lam.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun