Mohon tunggu...
Fahmi Hasan
Fahmi Hasan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Syari`ah Islamiyah Universitas Al-Azhar Cairo...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perpecahan Dimulai dari Perbedaan Sudut Pandang

26 Juni 2012   06:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31 1629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh manusia, dalam surat Hud ayat 118 dikatakan bahwa jika Allah berkehendak maka Allah akan menjadikan manusia sebagai umat yang satu, namun manusia tetap akan saling berbeda. Apapun usaha manusia menghindari perbedaan, pastilah perbedaan itu akan tetap ada.
Zaman semakin maju dan saat ini perbedaan pun sangat jelas sekali terlihat. Dari hal kecil seperti gerakan telunjuk ketika duduk tahiyat akhir, hingga hal besar seperti perbedaan dalam menentukan hari raya Idul Fitri. Hal ini menjadikan kita sebagai kaum muslim gerah, bagaimana bisa Rasulullah yang "sendirian" bisa mengajarkan hal yang berbeda-beda dan saling bersebrangan? Logika apapun akan mengatakan bahwa perbedaan bukan muncul dari Rasulullah, tapi dari generasi setelahnya.
Maka, setidaknya terdapat dua kecenderungan kaum muslimin dalam memandang dan menyikapi perbedaan yang telah terjadi. Kelompok pertama cenderung melihat perbedaan dengan sudut pandang “mulai dari bawah ke atas”, yaitu menilai bahwa adanya golongan-golongan yang saling berbeda inilah yang penyebab terpecahnya kaum muslim satu sama lain.
Seperti mazhab dalam fikih. Menurut mereka, karena adanya empat mazhab maka hal itu menyebabkan kaum muslim memiliki cara beribadah yang berbeda antara satu sama lain. Adanya organisasi dan yayasan pun dianggap sebagai pemecah belah persatuan, padahal Allah dan RasulNya memerintahkan kepada persatuan dan bukan perpecahan. Perpecahan dalam penafsiran mereka  adalah masuk ke dalam golongan-golongan yang ada, dan itulah yang mereka tentang.
Mereka memiliki cara yang sedikit ekstrim dalam menyikapi perbedaan yang ada. Yaitu dengan mengajak kepada kaum muslim untuk kembali kepada asal yang satu dengan meninggalkan golongan-golongan yang telah ada. Mereka melarang kaum muslim untuk bermazhab dalam fikih yang nyatanya saling berbeda satu sama lain, mereka mengajak kepada satu manhaj yang memiliki satu pendapat yang sama, terkadang mereka mengklaim bahwa setiap pendapat yang mereka ambil itulah yang dimaksudkan oleh Rasulullah, dan mereka pun mengklaim berada dalam manhaj suci yang dahulu rasul dirikan.
Mereka berdalih dengan surat Ali Imran 103, yaitu perintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah dan larangan untuk berpecah. Dengan ayat ini mereka menafsirkan bahwa kaum muslim tidak boleh terpecah dalam mazhab-mazhab yang berbeda pendapat, namun harus menjadi satu kelompok yang sama dan tidak ada perbedaan.
Cara pandang seperti ini terkadang menjadikan setiap perbedaan pendapat bagaikan sebuah golongan yang terpisah dari golongan lain. Dalam masalah kunut misalkan. Mereka menganggap bahwa kunut dalam subuh itu tidak disunnahkan, itulah maksud Rasulullah menurut mereka, sedangkan mazhab yang menganggap kunut adalah sunnah dianggap tidak mengikuti sunnah melainkan hanya taklid belaka. Maka, tak heran jika ada perkataan yang menyebutkan bahwa Imam Nawawi (w. 676 H) membenarkan hadis tentang kunut adalah bukan karena keilmuannya, namun "hanya" karena ia bermazhab Syafi`i. Perkataan yang terlalu su`uzhan menurut saya.
Perdebatan yang tak akan pernah usai akan muncul ketika mereka berusaha untuk menghapus segala macam sekte dan mazhab agar kembali kepada jalan yang lurus dalam penafsiran mereka, pastinya akan terus berbenturan dengan bangunan fikih yang telah dibangun sejak masa-masa awal hijriyah hingga saat ini.
Lebih ekstrim lagi, ternyata terdapat sebagian mereka yang sama sekali mengharamkan kelompok, dalam artian tidak boleh bagi kaum muslim untuk membuat kelompok-kelompok baru, seperti yayasan atau partai misalnya, karena itulah penyebab perpecahan menurut mereka. Mereka melihat bahwa pendirian kelompok-kelompok inilah yang kelak akan memecah belah suara kaum muslim, hingga akhirnya mereka memvonis orang-orang yang berkelompok itu telah keluar dari jama`ah. Perang yang mereka lancarkan justru ditujukan kepada sesama golongan mereka yang telah mendirikan sebuah yayasan atau kelompok lain di dalam tubuh mereka.
Karena sudut pandang mereka ini, maka mereka terkadang tidak bisa mengelak ketika terdapat sedikit perbedaan di dalam tubuh mereka sendiri. Setiap perbedaan yang terjadi di dalam kelompok mereka akan menjadikan perdebatan panjang hingga akhirnya berujung pada klaim kebenaran sendiri dan vonis menyimpang pada orang yang berbeda pendapat tadi.
Lain hal dengan kelompok ke dua. Kaum muslim dengan kecenderungan kedua adalah kelompok yang memandang perbedaan “mulai dari atas ke bawah”. Yaitu melihat bahwa perbedaan antara sesama muslim terjadi bukan karena adanya kelompok-kelompok dalam Islam, tapi karena dari asalnya pun sudah berbeda.
Dalam masalah ibadah misalnya. Menurut mereka, perbedaan terjadi bukanlah disebabkan oleh adanya mazhab-mazhab yang berbeda, namun disebabkan oleh adanya riwayat yang berbeda-beda. Contohnya ketika ada satu riwayat yang menyatakan bahwa menyentuh wanita bagi seorang lelaki itu membatalkan wudlu dan riwayat lain menyatakan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudlu, perbedaan riwayat inilah yang menjadikan adanya perbedaan pendapat antara satu dan lainnya. Bukan karena si A bermazhab Syafi`i maka ia bilang batal dan karena B mazhab Hanafi maka ia bilang tidak batal.
Kecenderungan mereka yang melihat perbedaan dari asalnya itulah yang menjadikan perbedaan yang ada di antara mereka hanyalah berkisar pada perbedaan yang disebabkan oleh riwayat yang ada. Maka tak jarang terdapat beberapa persamaan pendapat antara mazhab satu dengan mazhab lain. Seperti dalam masalah niyat wudlu, menurut mazhab Syafi`i, Maliki dan Hanbali adalah wajib, sedangkan menurut mazhab Hanafi adalah sunah.
Pun begitu, terkadang dalam satu mazhab bisa saja terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Contohnya mazhab Syafi`i, dalam mazhab Syafi`i setidaknya terdapat empat kriteria tentang air dua kulah, masing-masing memiliki sandaran sendiri yang berbeda satu sama lain. Dan masih banyak perkara yang memiliki beberapa pendapat dari para ulama mazhab Syafi`i telah dikumpulkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin.
Perbedaan itu ada tidak lain adalah karena masing-masing ulama berijtihad dengan menggunakan berbagai macam riwayat yang ada, ditambah lagi dengan kemampuan bahasa dan pemahaman masing-masing mujtahid yang berbeda, pergaulan dan tempat bermukim masing-masing mujtahid, menjadikan dalam satu mazhab pun terdapat beberapa pendapat. Hal ini pun terjadi dalam mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali.
Menurut kelompok kedua ini, perbedaan adalah suatu hal yang lumrah hingga pertentangan pendapat tidak akan menyebabkan perpecahan, karena perbedaan ini telah ada sejak dulu, dalam artian para sahabat pun telah mengalami perbedaan pendapat, dan itulah yang diriwayatkan hingga sampai kepada masing-masing mujtahid. Maka jika seperti itu, siapa yang benar dan siapa yang akan disalahkan?
Dalam riwayat dari Imam Nasai (w. 303 H) dikatakan bahwa suatu saat Rasulullah bepergian bersama Aisyah untuk melaksanakan Umrah, dan dalam perjalanan Aisyah melaksanakan shalat empat rakaat tanpa diqasar sedangkan Rasulullah melaksanakan shalat dua rakaat dengan diqashar, Aisyah juga tetap melaksanakan puasa sedangkan Rasulullah membatalkan puasanya karena perjalanan. Meski berbeda, namun saat itu Rasulullah sama sekali tidak mencela Aisyah, bahkan beliau memujinya dan membenarkannya. Jika melihat riwayat seperti ini, siapa yang akan diikuti? Apakah wajib mengikuti Rasulullah dengan mengqasar shalat dan membatalkan puasa dalam perjalanan? ataukah boleh mengikuti Aisyah dengan melengkapkan shalat dan meneruskan puasa jika mampu? dan salahkah kita jika mengikuti Aisyah?
Maka, sejatinya perbedaan pendapat khususnya dalam masalah fikih tidaklah harus selalu berujung pada keributan dan saling menuduh, karena masing-masing telah memiliki sandaran atas apa yang dikerjakan. Generasi salaf pun tidak pernah meributkan masalah fikih hingga saling jotos, kenapa kita justru saling ngotot setiap ada perbedaan? Umat Islam hanya akan berada dalam posisi stagnan jika hanya meributkan masalah telunjuk ketika tahiat dan masalah Ushalli. Wallahu A`lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun