Penyakit kusta atau dikenal sebagai lepra dan Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit yang telah lama ada dalam sejarah manusia yang sering disebut sebagai penyakit kutukan dari tuhan dan sering dihubungkan dengan dosa. Penyakit kusta merupakan penyakit yang langka, hal ini dikarenakan kusta dapat mengalami suatu  periode yang dinamakan dengan reaksi dan mampu menimbulkan kecacatan yang permanen jika penderita kusta ditemukan sudah dalam  keadaan  cacat tingkat dua. Meskipun secara medis penyakit ini dapat disembuhkan dengan pengobatan modern, akan tetapi stigma sosial dan diskriminasi terhadap penderitanya masih menjadi persoalan serius di masyarakat. Dalam artikel ini kita akan membahas stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit yang mencerminkan dinamika sosial dari sudut pandang ilmu sosiologi kesehatan.
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit, jika penanganan kasus penyakit kusta buruk dapat menyebar secara progresif yang menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata. Salah satu penularan penyakit ini melalui kontak langsung dengan penderita, terutama dari percikan ludah, batuk, bersin dan bersentuhan secara langsung yang membuat kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel, rambut dan keringat. Menurut Tuturop (2022) mengatakan bahwa tipe penyakit kusta merupakan tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit yang bisa diamati dari luar.
Bentuk infeksi ini dapat berupa munculnya bercak-bercak putih pada kulit yang mati (tuberculoid) dan akan berkembang hingga leprotamus. Semakin parahnya tingkatan tipe kusta bukan hanya karena perkembangan penyakit itu sendiri, melainkan juga tergantung pada daya tahan tubuh (immune system) penderita. Lepromatous hingga pada tahap yang parah terekam pada tulang, pada kasus lepra infeksi tulang ter1etak pada wajah, tangan dan kaki hingga pada tahap tertentu harus dilakukan amputasi (Chhem & Brothwell, 2008).
Dalam masyarakat, kusta tidak hanya dipandang sebagai penyakit fisik tetapi juga sebagai kondisi yang membawa label negatif. Hal ini berakar pada sejarah panjang pengucilan sosial terhadap penderita kusta yang dianggap "najis" atau "kutukan" dari tuhan dan dihubungkan dengan dosa. Sosiolog Erving Goffman dalam teorinya tentang stigma menjelaskan bahwa stigma adalah "cacat sosial" yang mengurangi status individu di mata masyarakat. Penderita kusta sering kali dilabeli sebagai individu yang "berbeda" atau "berbahaya," meskipun penularan penyakit ini sebenarnya sangat rendah dan membutuhkan kontak yang sangat lama dengan penderita yang tidak diobati.
David Armstrong dalam bukunya Social Studies in Health & Medicine menjelaskan bahwa penyakit tidak hanya merusak integritas biologis pasien, namun juga mempengaruhi kondisi sosial mereka. Dalam kasus penderita kusta tantangan bukan hanya dari penyakit yang merusak integritas biologis penderita, akan tetapi juga menghadapi tantangan berupa tekanan sosial yang menghancurkan integrasi sosial mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana penyakit mampu menjadi lebih kompleks ketika dilihat dari dimensi sosial dan psikologis.
David Armstrong mengidentifikasi dua faktor utama yang memengaruhi kesehatan individu yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang memberikan pandangan holistik tentang kesehatan, menggabungkan aspek biologis, psikologis, dan sosial. Dalam faktor internal mengacu pada elemen yang berasal dari dalam individu, yang memengaruhi kondisi kesehatan penderita meliputi genetik atau biologis (Kondisi kesehatan yang diwariskan atau dipengaruhi oleh gen), gaya hidup, dan psikologis sedangkan dalam faktor eksternal mengacu pada elemen memengaruhi kondisi kesehatan penderita yang berasal dari luar individu meliputi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi.
Faktor internal : Stigma dan diskriminasi tidak hanya memengaruhi kondisi fisik tetapi juga berdampak pada kesehatan mental penderita kusta, banyak dari mereka mengalami depresi, kecemasan, dan rasa rendah diri akibat isolasi sosial. Selain itu, stigma juga dapat menyebabkan self-stigma, di mana penderita kusta menerima label negatif yang diberikan masyarakat dan merasa bahwa mereka memang tidak layak untuk hidup bermasyarakat. Kesadaran akan  kebersihan merupakan salah satu aspek gaya hidup yang berperan pencegahan maupun pengobatan, gaya hidup yang kurang mendukung pengetahuan kesehatan bisa berkontribusi pada keterlambatan diagnosis dan penanganan penyakit.
Faktor eksternal : Dalam sistem kesehatan, diskriminasi terhadap penderita kusta dapat muncul dalam bentuk pengabaian kebutuhan mereka atau perlakuan yang tidak setara. Kecacatan  yang  berlanjut  dan  tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak baik akan menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang normal serta kehilangan  status  sosial  secara  progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman- temannya ( Munir, 2001). Selain itu, dalam kehidupan sosial, penderita kusta sering dikucilkan dari lingkungan kerja, pendidikan, dan komunitas mereka. Diskriminasi semacam ini sering diperkuat oleh mitos dan kepercayaan tradisional yang mengaitkan kusta dengan dosa, karma buruk, atau hukuman ilahi.
Salah satu upaya untuk mengatasi stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta yaitu diperlukan pendekatan multidimensional yang melibatkan berbagai pihak untuk mengedukasi masyarakat guna meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fakta medis mengenai kusta dan edukasi dapat menghilangkan mitos yang menjadi dasar stigma. Pendekatan Inklusif dalam Kebijakan Kesehatan merupakan langkah Pemerintah dan organisasi kesehatan untuk memastikan bahwa penderita kusta mendapatkan layanan kesehatan yang setara dan bermartabat. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan (Depkes RI, 2005).
Dalam sosiologi kesehatan, stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta tidak hanya dipandang sebagai masalah individu, tetapi juga sebagai manifestasi dari ketidakseimbangan sosial yang lebih besar. Untuk mengatasi stigma ini memerlukan perubahan pola pikir kolektif dan reformasi sistemik untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil. Hanya dengan cara ini kita dapat menghormati hak asasi manusia dan memberikan kesempatan yang setara bagi semua individu, termasuk mereka yang hidup dengan kusta.
Referensi :
1. Tuturop, K. L., Adimuntja, N. P., & Borlyin, D. E. (2022). Faktor Risiko Kejadian Penyakit Kusta di Puskesmas Kotaraja. Jambura Journal of Epidemiology, 1(1), 1-10.Â
2. Cahyana, M. A. K., & Simanjuntak, P. (2020). Aplikasi Sistem Pakar untuk Mendiagnosis Penyakit Kusta dengan Metode Forward Chaining. Computer and Science Industrial Engineering (COMASIE), 3(1), 31-37.
3. Koesbardiati, T. (2011). Lepra pada sisa rangka manusia dari Lewoleba: relevansinya terhadap sejarah penghunian Indonesia. Berkala Arkeologi, 31(2), 89-106. Â
4. Soedarjatmi, S., Istiarti, T., & Widagdo, L. (2009). Faktor-faktor yang melatarbelakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 4(1), 18-24.
5. Muntasir, M., Salju, E. V., & Rulianti, L. P. (2018). Studi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Kusta Pada Wilayah Kerja Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun 2017. Jurnal Info Kesehatan, 16(2), 197-213.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H