Mohon tunggu...
Fahmi Fahmi
Fahmi Fahmi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Peneliti, Senat Akademik

Dosen, Peneliti, Senat Akademik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Melayang (Tak Jejak di Bumi, Tak Nyangkut di Langit)

24 April 2020   22:06 Diperbarui: 24 April 2020   22:50 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga minggu sudah kampus lockdown, tutup, no access dan terlarang untuk dimasuki siapa saja, termasuk mahasiswa, dosen dan seluruh sivitas akademika. Tinggal di dalam kampus memberi kesempatan mengamati susana sepi seperti kota mati, jejeran gedung tanpa penghuni.

Tapi menjadi menarik, berjalan menyisiri kampus - seperti pagi ini. Tak terasa mengitari seluruh fakultas satu demi satu. Hingga sampai di satu titik, di antara dua pintu utama, di depan 2 gedung berwarna putih - yang kiri pusat penelitian, yang kanan pusat pengabdian masyarakat - langkah pun terhenti.

Memandangi kedua gedung itu bagai memandang langit dan bumi. Bukan karena mewah atau sederhananya, tidak. Dua-dua gedungnya bagus walau yang satu 2 lantai yang satu "cuma" 1 lantai.

Imajinasi bagai langit dan bumi itu karena membayangkan yang satu urusannya for the sake of knowledge, advance science and tech, yang satu urusannya mengabdi kepada masyarakat; yang satu ada di atas, di langit khasanah keilmuan di menara gading, yang satu di tapak bumi bersentuhan dengan masyarakat, down to earth.

Diferensiasi yang terlalu umum memang (bahkan klise), karena penelitian pun ada yang sifatnya terapan bermitra langsung dengan masyarakat dan pengabdian pun ada yang berbasis penelitian, ya memang kadang bisa campur aduk membingungkan.

Tapi bukan urusan lembaga penelitian atau lembaga pengabdian masyarakat itu yang menghentikan langkah dan membuat tertegun. Keduanya adalah representasi 2 dari 3 tugas berat tridarma perguruan tinggi, selain darma pendidikan sebagai core business kampus.

Berat, maka seharusnya ditanggung renteng oleh universitas, bukan pribadi setiap dosen. Dosen itu  bukan superman yang harus sangup menjalankan ketiga tugas tersebut dengan maksimal (kadang ditambah tugas lain).

Kalaupun dipaksakan maka hanya akan melahirkan dosen-dosen sebagai medioker pendidik, medioker peneliti dan medioker pengabdi masy, akan sulit muncul peneliti unggul, pendidik unggul dan pengabdian masyarakat unggul kalau semuanya sekaligus dikerjakan. Ya, berat. Sorry, ngelantur sekaligus curhat.

Balik lagi urusan bumi dan langit tadi. Beberapa tahun belakangan ini hampir seluruh effort mayoritas kampus diarahkan untuk urusan gapai langit: berapa banyak paper scopus, berapa indeks sitasi, berapa hisrch index peneliti, yang ujung-ujungnya selalu dikaitkan dengan pemeringkatan, ranking, baik nasional maupun internasional.

Mimpi-mimpi meraih bintang (stars) dengan parameter-parameter reputasi akademik, reputasi dosen, rasio internasionalisasi, sitasi dan lainnya dikejar at any cost. Yang kadang sayangnya (semoga tidak benar-benar benar) justru meninggalkan urusan cecah bumi di urutan belakangan, urusan memikirkan bagaimana kampus harusnya mampu memberikan dampak terhadap masyarakat dalam menyelesaikan isu-isu sekitar, bagaimana impact kampus, bagaimana masyarakat mendapat manfaat dari kampus, secara langsung.

Dan suka tidak suka, di musim seperti pandemi covid ini masyarakat akan bisa menilai kampus mana yang mampu turun ikut memberi solusi, kampus mana yang terlalu nyaman hingga tidak bereaksi. Masyarakat akan mencatat.

Mungkin tertegunnya penulis pagi ini ada juga hubungannya dengan rilis Times Higher Education Impact Ranking 2020 yang baru dikeluarkan beberapa hari lalu (22 April 2020, THE Impact Rankings 2020 : results announced). THE impact ranking menitikberatkan penilaian pada dampak kampus dan kontribusinya dalam menyelesaikan masalah riil masyarakat yang dituangkan dalam 17 SDGs : (1) no poverty, (2) zero hunger, (3) good health and well-being, (4)  quality education, (5) gender equality, (6) clean water and sanitation, (7) affordable and clean energy, (8) decent work and economic growth, (9) industry, innovation and infrastructure, (10) reduced inequalities, (11) sustainable cities and communities (12) responsible consumption and production, (13) climate action, (14) life below water, (15) life on land, (16)  peace, justice and strong institutions, dan (17) partnerships for the goals. Setiap goal memliki kriteria penilaian tertentu dan setiap kampus akan dinilai skornya sesuai dengan kontribusi yang telah diberikan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat sekitarnya.

Beruntung kita ada 9 kampus Indonesia yang masuk 600 besar ranking THE impact ranking ini, dari 766 universitas - 85 negara. Ada UI di urutan 47 dengan program unggulan anti kemiskinan (no poverty), UGM peringkat 77 yang unggul di program anti kelaparan (zero hunger), IPB di urutan 77 unggul di program kesetaran gender (gender equality) disusul kemudian dengan unpad (200 besar), UB (300 besar), UNAIR , ITB, UNDIP (400 besar) dan ITS (600 besar) dengan masing-masing memiliki variasi keunggulan tersendiri pada salah satu dari 17 SDG's tadi.

Kalau kita cermati kampus-kampus di atas yang memiliki dampak yang tinggi (high impact) - minimal bagi masyarakat Indonesia, ternyata juga adalah kampus-kampus yang sama yang selama ini dikenal memiliki peringkat yang baik, setidaknya dilihat dari bintang-bintang QS world university ranking: UI (296), UGM (320), ITB (331), IPB, UNAIR, UNPAD, UNDIP dan ITS (peringkat 600 - 1000) -link. Pemainnya ternyata itu-itu juga.

Menarik, karena ternyata menggapai langit bisa dilakukan dengan tetap menjejak kaki di bumi. Tidak perlu dipertentangkan. Harusnya bisa berdampingan, sama peperti 2 gedung yang berdampingan tadi. Atau bahkan justru sebenarnya dengan menjejak kaki di bumi lah kita bisa menggapai langit.

Karena kampus hidup dan tumbuh bersama masyarakat, permasalahan masyarakat harusnya menjadi bahan bakar sumber inspirasi aktivitas akademik di kampus. Tidak ada yang salah dengan menggapai langit, mengejar pemeringkatan setinggi-tingginya, asal tidak melupakan dampak, impact langsung kampus kepada masyarakat.  

Lalu bagaimana dengan kampus yang lain?

Itulah yang mejadi kegalauan penulis, sehingga tulisan ini judulnya menjadi seperti itu. Apa jangan-jangan kampus-kampus yang ada sekarang ini sebenarnya sedang melayang-layang ke sana kemari: setengah mati mengejar bintang-bintang pemeringkatan di langit, tapi hampir-hampir melupakan jejak kaki di bumi memberi dampak pada masyarakat. Salah strategi bisa-bisa betulan bisa menjadi kampus melayang tadi : tak jejak di bumi, tak pula nyangkut di langit.   

Ah, tapi kan dunia kampus tak selebar daun pemeringkatan. Asli, ini menghibur diri.

F.F

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun