Mohon tunggu...
Fahmi Alfansi Pane
Fahmi Alfansi Pane Mohon Tunggu... Penulis - Tenaga Ahli DPR RI/ Alumni Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

Hobi menulis dan membaca, aktif mengamati urusan pertahanan, keamanan, dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mitigasi Perang Nuklir di Semenanjung Korea

11 September 2024   11:50 Diperbarui: 11 September 2024   12:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mitigasi Perang Nuklir di Semenanjung Korea
Fahmi Alfansi P Pane
Tenaga Ahli DPR RI/ Alumnus Magister Universitas Pertahanan

Ketika tentara Republik Korea (Korea Selatan/ROK) dan Amerika Serikat (AS)  sedang latihan militer gabungan bersandi "Ulchi Freedom Shield" yang digelar sejak 19 Agustus selama 11 hari, muncul berita The New York Times (20 Agustus) bahwa Presiden AS Joe Biden telah meneken Panduan Pengerahan Nuklir AS yang berfokus pada ekspansi senjata nuklir China, sekaligus mengantisipasi ancaman terkoordinasi dari Rusia, China, dan Korea Utara.


Sebelumnya, Rusia dan Korea Utara (Republik Rakyat Demokratik Korea/DPRK) menandatangani perjanjian kemitraan strategis. Yang terpenting dari perjanjian yang diteken Juni 2024 itu adalah Pasal 4. Dengan mengutip kantor berita DPRK Korean Central News Agency (KCNA), kantor berita The Associated Press (20 Juni 2024) mengutip isinya bahwa "kedua negara sepakat membantu pihak yang lain yang berperang dengan menyediakan bantuan militer dan lainnya dengan segala cara yang tersedia".


Perjanjian itu tidak eksplisit menyebut bantuan senjata nuklir. Namun, karena kedua negara mempunyai stok senjata nuklir, dan sama-sama bersedia memakainya dalam perang, maka risiko perlombaan dan perang senjata nuklir di Semenanjung Korea akan meningkat. Terlebih, awal Agustus Korea Utara mengumumkan pengiriman 250 peluncur rudal yang dapat menggotong senjata nuklir ke garis perbatasan.


Masalah bertambah karena Korea Utara mengubah kebijakannya menjadi lebih progresif dengan lahirnya Undang-undang Kebijakan Kekuatan Nuklir pada 8 September 2022, yang mengubah UU Konsolidasi Posisi Negara Senjata Nuklir tahun 2013. Merujuk terjemahan Institute of  Foreign Affairs and National Security (IFANS) Korea Selatan (12 Oktober 2022), pada Pasal 2 UU 2013 dinyatakan "DPRK dapat memakai senjata nuklir untuk mencegah dan mengusir invasi atau serangan kekuatan musuh dan membuat serangan balasan yang mematikan sumber provokasi".


Namun, Pasal 6 UU 2022 memperluas opsi penggunaan senjata nuklir pada lima kondisi. Pertama, serangan nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya diluncurkan, atau telah mendekati (drew near). Kedua, serangan nuklir atau bukan terhadap kepemimpinan nasional dan pusat komando diluncurkan atau telah mendekati. Ketiga, serangan militer fatal terhadap sasaran strategis penting negara diluncurkan atau telah mendekati. Keempat, mencegah ekspansi dan perang berlarut, serta mengambil inisiatif dalam situasi darurat. Kelima, krisis membahayakan eksistensi negara dan keselamatan warga karena senjata nuklir.


Dari kelima kondisi tersebut, hanya jika DPRK diserang dengan senjata nuklir, negara itu logis membalasnya dengan setara. Namun, DPRK membuka opsi memakai senjata nuklir saat ada senjata nuklir atau konvensional "telah mendekati" tanpa memperjelas sedekat apa yang dimaksud. Padahal, kedua Korea memiliki perbatasan darat. Undang-undang 2022 juga menegaskan Korea Utara bukan penganut kebijakan "no first use" (NFU), atau tidak memakai senjata nuklir lebih dulu.


Adapun Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan sedang mempertimbangkan mengubah doktrin nuklirnya karena minimal ada musuh potensial yang sedang berusaha memakai perangkat peledak nuklir berdaya sangat rendah (ultra-low power nuclear) (kantor berita TASS, 21 Juni 2024). Dalam beberapa kesempatan lain, Putin juga mengisyaratkan dapat memakai nuklir jika dikeroyok oleh Anggota NATO yang berkekuatan konvensional lebih besar.


Bertolak belakang dengan DPRK, ROK justru cenderung menolak penggunaan senjata nuklir. Menurut Menteri Pertahanan Korea Selatan Shin Won-Sik, penarikan ROK dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) akan mendatangkan sanksi, merusak aliansinya dengan AS, dan mengguncang pasar finansial (Reuters/MSN, 11 Agustus 2024). Sekalipun Korea Selatan tidak mempunyai stok senjata nuklir, tapi sekutunya AS memilikinya, dan memakai senjata nuklir untuk menggentarkan lawan demi pencegahan perang. Dalam Perang Korea ancaman AS memakai senjata nuklir memaksa Korea Utara dan China setuju dengan gencatan senjata tahun 1953 (Laporan RAND Corporation berjudul Options for Strengthening ROK Nuclear Assurance, 2023, hal. 13).


Data Status Kekuatan Nuklir Dunia yang dirilis oleh Federation of American Scientist (FAS) per 29 Maret 2024 menunjukkan stok hulu ledak Korea Utara berjumlah 50 buah; meningkat dibanding laporan FAS 2022 sebanyak 30 buah. Stok AS menurun, sedangkan Perancis dan Israel tetap. Adapun stok Rusia, China, Inggris, India, dan Pakistan, meningkat.


Senjata nuklir tergolong senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) berskala global. Namun, bila yang terdampak hanya Semenanjung Korea dan sekitarnya, para pemimpin Indonesia tetap harus waspada.


Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia yang dirilis Bank Indonesia (2024) menunjukkan jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Korea Selatan tahun 2017 berjumlah 24 ribu, lalu terus naik hingga kuartal pertama 2024 menjadi 38 ribu. Sempat turun 2020-2021 menjadi sembilan ribu dan tujuh ribu PMI saat pandemi Covid.
Pola serupa juga terjadi di Hongkong SAR, Taiwan, dan Jepang. Tahun 2017 jumlah PMI di Hongkong, Taiwan, dan Jepang berjumlah masing-masing 178 ribu, 208 ribu, dan 23 ribu. Lalu, kuartal pertama 2024 melonjak menjadi masing-masing 413 ribu, 423 ribu, dan 29 ribu.


Bila terjadi perang nuklir, total 903 ribu orang PMI pada empat wilayah terancam. Itu belum termasuk para pelajar/mahasiswa, turis, dan diplomat Indonesia. Selain risiko keselamatan fisik, terjadi dampak ekonomi karena penurunan pendapatan WNI, dan bertambahnya pengangguran di sini.

Rekomendasi
Untuk memitigasi risiko perlombaan dan perang senjata nuklir, ada beberapa poin rekomendasi, yakni:


Pertama, mengakhiri semua perang regional berlarut yang melibatkan negara-negara besar, seperti perang di Ukraina/Rusia, dan Palestina. Setidaknya, gencatan senjata harus direalisasikan. Sebelum Rusia menyerang Ukraina 24 Februari 2022, kelima negara besar (major powers) pemilik senjata nuklir, yang juga pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, pernah menyepakati komitmen bersama 3 Januari 2022. Dari situs Gedung Putih AS tertera pernyataan bersama China, Perancis, Rusia, Inggris, dan AS bahwa "kami menegaskan perang nuklir takkan dimenangkan, dan harus tidak pernah diperjuangkan. Kami juga menegaskan senjata nuklir hanya untuk bertahan, mencegah agresi, dan menghindari perang".


Kedua, membuka kembali diplomasi dan perundingan, terutama antardua Korea. Gencatan senjata kedua Korea 1953 ditingkatkan menjadi perundingan perdamaian.  Perundingan program nuklir dan bantuan ekonomi bagi DPRK juga dibuka.


Meski sulit, tapi AS pernah mampu menyelenggarakan KTT AS-Korea Utara antara Presiden Donald Trump dengan Pemimpin Kim Jong Un di Singapura tanggal 12 Juni 2018. Bahkan, keduanya bertemu kembali di Zona Demiliterisasi Panmunjom tanggal 30 Juni 2019 hingga Trump dapat berjalan beberapa meter di wilayah Korea Utara.
Sebelumnya, kedua Korea malah menyetujui Joint Declaration of the Denuclearization of the Korean Peninsula yang diteken 20 Januari 1992. Setelah itu, AS dan Korea Utara meneken The Agreed Framework between The USA and DPRK tanggal 21 Juni 1994 untuk denuklirisasi, rekonsiliasi, dan beragam kerja sama lain. Sayangnya, perkembangan politik domestik AS turut mempersulit implementasi perjanjian tersebut.


Ketiga, Indonesia sebagai negara netral yang berprinsip bebas aktif dapat menjadi honest broker (perantara jujur) perundingan, baik antardua Korea, maupun antarnegara besar. Indonesia mampu menggelar kegiatan internasional yang diikuti oleh negara-negara besar dari Blok Barat dan Timur, seperti Latihan Maritim Multilateral Komodo (MNEK). Tahun 2023 MNEK diikuti oleh angkatan laut dari 36 negara, antara lain AS, Rusia, China, Inggris, Perancis, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan India. Peluang ini perlu dioptimalisasi oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk berdiplomasi langsung dengan ROK dan DPRK, sebagaimana dengan negara-negara besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun