Mohon tunggu...
Fahmi Abdillah
Fahmi Abdillah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kami Bukan "Kelinci Percobaan"

13 Desember 2016   09:15 Diperbarui: 13 Desember 2016   10:24 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS IMAGES/ANDREAN KRISTIANTO

Sebuah topik yang menjadi perbincangan hangat negara ini, pendidikan. Tampaknya perubahan-perubahan yang terjadi di abad ke-21 ini memaksa “pendidikan” untuk bekerja secara optimal. Akan tetapi, seringkali kita mendengar bahwa pendidikan kita kurang bagus dibandingkan negara lain. Ya, hal tersebut tidak bisa kita pungkiri dan mau tidak mau kita harus menerima kenyataan tersebut. 

Berdasarkan tes PISA dan TIMSS, yang mengujikan mata pelajaran sains, matematika, dan literatur pada tingkat SD dan SMP, tampak bahwa negara kita masih belum bisa beranjak dari posisi bawah. Pada TIMSS 2015 misalnya, untuk kelas 4 SD mata pelajaran matematika, Indonesia menduduki peringkat ke-44 dari 48 negara. 

Tampak dengan jelas ketertinggalan yang sangat-sangat jauh. Meskipun tes TIMSS maupun PISA hanya mengujikan mata pelajaran sains, matematika, dan membaca, akan tetapi setidaknya hal itu dapat menjadi acuan untuk hasil pendidikan dasar kita. Biasanya setelah membaca berita seperti ini, hati kita menjadi dongkol dan menyalahkan sistem pendidikan yang ada di Indonesia.

Sebenarnya, apa yang membuat pendidikan kita begitu terbelakang? Saya kira saya tidak perlu menyebutkannya di sini. Begitu banyak pendapat para ahli mengenai hal tersebut. Saya sebagai seorang siswa yang bahkan belum lulus SMA rasanya tidak patut dan pantas jika harus mengkritik sistem pendidikan kita. Tetapi saya ingin meninjau perubahan terutama di bidang pendidikan merupakan hal yang harus dilakukan.

Perubahan merupakan suatu keniscayaan jika kita menilik seberapa derasnya arus globalisasi di era modern ini. Kita tidak dapat memungkiri perubahan itu juga harus mencakup ke segala aspek hingga ke aspek paling mendasar di kehidupan. Pendidikan sebagai kebutuhan pokok di era modern ini mau-tidak mau harus menerima imbasnya. Inovasi dan pengembangan kurikulum merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Percobaan mengenai mana kurikulum yang terbaik yang harus kita pakai terus digulirkan. Tarik ulur di bidang pendidikan terus menerus terjadi.

Agaknya sulit bagi para siswa untuk memahami hal tersebut. Misalnya, jika kita melihat kembali agenda memoratorium UN yang diajukan oleh menteri pendidikan kita. Salah satu usulan yang diajukan yaitu mengganti sistem UN menjadi USBN. Saya pribadi menyambut baik usulan tersebut bukan karena saya menyenangi hal tersebut, akan tetapi jika hal tersebut memang mampu mendongkrak sistem pendidikan kita, kenapa tidak? 

Meskipun pada akhirnya memoratorium UN ini dibatalkan, tetapi jika kita lihat di berbagai media sosial dapat kita lihat berbagai macam respons yang diberikan. Kebanyakan komentar yang diajukan netizen yang saya perkirakan masih mengenyam bangku SMA terutama kelas 12 ini menolak USBN. Sedikit banyak yang saya ketahui mengenai USBN ini, pada soal USBN akan disisipkan soal essay. 

Selain itu, pada USBN ini diisukan mengujikan seluruh mata pelajaran (meskipun saya ragu jika pendidikan olahraga dan seni dimasukkan). Dengan kedua alasan itu, muncullah berbagai macam opini mengenai memoratorium UN. Seperti yang dijelaskan di atas, kebanyakan siswa menolak adanya memoratorium UN. Mereka membuat tagar #saveUN. Saya juga sering melihat komentar “Kami bukan robot” atau “Kami bukan kelinci percobaan”. Bahkan terdapat inisiatif untuk membuat petisi online untuk menolak USBN. Saya pikir hal tersebut tidaklah berlebihan mengingat banyaknya siswa yang benci dengan UN yang “hanya” mengujikan enam mata pelajaran bagi siswa SMA dan hanya berisi pilihan ganda, tentu saja USBN tampak lebih menyeramkan.

Berbagai macam penolakan dari kalangan siswa ini dapat menjadi tantangan bagi dunia pendidikan kita. Melihat ketertinggalan kita di level internasional dan perubahan dunia dengan cepat, mau tidak mau kita harus mengayuh dengan kekuatan ekstra, bahkan harus 10 kali dibandingkan negara maju lainnya. 

Kesulitan terbesar yang kita alami yaitu kita yang tidak mau berubah sedangkan dunia ini terus berubah dengan cepat. Perubahan terus menerus ini jangan membuat kita semakin tergerus terutama di bidang pendidikan.  Kita harus memperbaiki dunia pendidikan kita dan di saat yang sama harus mengorbankan hati para siswa yang menganggap diri mereka sebagai “kelinci percobaan”.

---

Tabel Peringkat TIMSS siswa kelas 4 SD mapel matematika
Hasil PISA 2015
Petisi online menolak USBN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun