Dibalik marahmu padaku, aku membanting tulang kelak aku bisa mendengarmu tanpa ada waktu yang terbuang di setiap pekerjaanku. Maafkan bila aku tak menemani ceritamu dan inginmu.
Dibalik diamnya dirimu, aku bersedih hati padahal aku ingin mendengar motivasimu untuk kembali bekerja. Aku ingin kamu tahu, suatu hari pekerjaan ini adalah caraku untuk menghalalkan kamu.
Dibalik janji yang tak kutepati, adalah kerasnya dunia pekerjaan yang mampu mengecoh pikiranku dan mengabaikanmu hingga rasa menyesal selalu tumbuh dalam hatiku.
Ini memang kalimat galau penuh dengan sedih tanpa air mata.
Lebay dan sangat lebay.
Aku tak bisa koneksi lagi.
Aku tak bisa melihat ketikkan tawamu di pesan singkat.
Aku tak bisa lagi untuk mengajakmu ke suatu tempat yang kujamin kau bakal suka.
Hening menyelimuti media sosial yang biasa kita curhat.
Aku tak punya lagi ide untuk, entah bagaimana caranya bisa membuatmu mengerti betapa buruknya aku setelah tertinggal diam oleh dirimu.
Aku tak mau memaksa kamu ingin mengerti keadaanku.
Aku berjuang lembur dengan rekor belasan kali, agar aku dapat memilikimu seutuhnya dalam satu rumah.
Aku selalu memandang baik dan penuh seksama foto profilmu, andai boleh kuedit, akan kutambah hias menawan di sekeliling wajahmu.
Efeknya….
Aku tak tahu buku mana yang bisa kamu rekomendasikan.
Aku tak tahu bagaimana memulai alur cerita pendek yang biasa selalu kau nilai dengan baik.
Hingga lirik Butiran Debu meresap dalam kalimat ini…, aku tanpamu butiran….
Berat sekali memikirkan pertanyaan di kepalaku.
Pernahkah kau mengerti?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H