Istilah sejarah sangatlah tidak asing didengar. Apa itu sebenarnya sejarah? Sejarah merupakan waktu atau masa, dimana keterangan atau peristiwa penting yang terjadi di masa lampau. Dalam bahasa Arab, sejarah disebut dengan ‘Syajarotun’ yang berarti pohon. Hal ini dikarenakan pohon mempunyai cabang dan ranting, bermula dari sebuah bibit, kemudian tumbuh dan berkembang, lalu layu dan tumbang. Seirama dengan kata sejarah adalah kata silsilah, kisah, hikayat yang berasal dari bahasa Arab. (Zubaidah, 2006: 1)
Cangkupan sejarah sangatlah luas. Berkaitan dengan makam, maka kali ini pembahasan sejarah lebih spesifik masuk ke dalam situs-situs. Situs merupakan suatu tempat bersejarah dari hasil perilaku manusia yang memiliki ikatan erat dengan kebudayaan. Sesuatu dapat dikatakan situs umumnya ketika tempat atau barang tersebut berusia lebih dari 50 tahun. Tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan patokan, karena ada beberapa tempat atau barang dapat dikatakan situs karena memiliki pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat.
Jika dilihat di masa sekarang, banyak situs-situs yang berada di Indonesia mulai terbengkalai. Salah satu faktornya yaitu berada di tempat yang agak terpencil. Akan tetapi, sebenarnya beberapa masyarakat juga berusaha untuk menyelamatkan situs tersebut. Hal ini terlihat jika dimanapun wilayah yang memiliki situs, tempat situs tersebut juga diurus. Dengan kata lain, ada ada sebuah benteng atau bangunan untuk berusaha menyelamatkan situs. Hanya saja memang ada beberapa hal yang tidak bisa menjadikan situs tetap aman.
Berbicara mengenai situs khususnya situs makam, sebuah wilayah di kabupaten Blitar, tepatnya di desa Jajar memiliki salah satu situs yang cukup dipandang bagi masyarakat Jajar. Makam mbah Sungkem atau Ki Sungkem, merupakan sebuah makam atau situs dari seorang pendiri desa Jajar. Mbah Sungkem sendiri merupakan pejuang dari Pasuruan di masa Untung Suropati sekitar tahun 1680’an.
Perjalanan mbah Sungkem untuk menjelajah hingga sampai ke desa Jajar cukup panjang. Dari Pasuruan hingga mendapati desa Jajar bukan hal yang mudah. Suatu masa ketika mbah Sungkem diperjalanan, beliau melihat pohon manggis, jati dan petai yang tumbuh sejajar. Dari sini secara spontan mbah Sungkem menamai desa tersebut dengan sebutan Jajar. Masyarakat cukup menikmati nama untuk wilayah mereka. Sebagai pencetus desa jajar, mbah Sungkem sendiri menetap pada wilayah tersebut sampai akhir hayatnya.
Setiap tanggal 1 Suro atau biasa disebut dengan bersih desa, masyarakat Jajar selalu melakukan tradisi dengan tahlilan dan doa bersama yang diadakan di pinggir jalan. Hal ini dilakukan untuk selalu menjaga keamanan dan kedamaian desa Jajar. Selain itu, tradisi ini juga dilakukan untuk mendoakan sesepuh mbah Sungkem atau Ki Sungkem,
Budaya memang selalu melekat pada diri masyarakat. Setiap ada pernikahan di desa Jajar, sang keluarga berusaha menyempatkan dirinya untuk berziarah di makam mbah Sungkem. Tetapi sepertinya di masa akhir-akhir ini terlihat hanya beberapa orang saja yang masih melakukan budaya ziarah ke makam mbah Sungkem sebelum mengadakan pernikahan.
Salah satu sumber, bu Ati mengatakan “Setiap malam Jumat Legi, pemakaman mbah Sungkem sendiri tampak ramai. Beberapa masyarakat berdoa dan menjaga pemakaman mbah Sungkem.”
Bu Surti sebagai narasumber lain juga mengatakan, “Beberapa tahun terakhir pemakaman mbah Sungkem tidak memiliki juru kunci, pemakamannya hanya dirawat oleh warga sekitar.” Setiap hari pemakaman mbah Sungkem selalu dibersihkan, air di dalam bag juga dipastikan selalu terisi karena ada beberapa peziarah yang memang berkunjung setiap waktu.
Sejarah dan kisah mbah Sungkem atau Ki Sungkem sendiri sangat sulit untuk ditemukan, selain karna faktor tidak memiliki juru kunci, kronologi cerita perjuangan mbah Sungkem seakan hanyut tergores jaman. Bahkan untuk batu nisan mbah Sungkem sendiri tidak memiliki tulisan yang cukup jelas, sehingga sulit untuk dibaca. Namun masyarakat desa Jajar masih mempertahankan tradisi dan budaya seperti yang disebutkan di atas. Sampai saat ini pemakaman mbah Sungkem sampai saat ini masihlah terjaga dengan baik.
Sulistyo, W. D. (2019). Study on Historical Sices: Pemanfaat Situs Sejarah ... . IJSSE: Indonesia Journal of Social Science Education, Vol 1, No 2, 124-135.
Zubaidah, S. (2016). Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Publishing.
Zulkarain. (2013). Tradisi Jumat Legi Upaya Mempertahankan Solidaritas Sosial Masyarakat Desa. Jurnal Studi Sosial, 113-126.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H