Mohon tunggu...
Fahliza Syahira
Fahliza Syahira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memasak, menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu Di Ujung Senja Karya Fahliza Syahira

6 November 2024   20:06 Diperbarui: 6 November 2024   20:13 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang seakan merasakan kesedihan Rina. Di sudut kamarnya yang sederhana, dia duduk meringkuk di bawah selimut, memandangi foto ayahnya yang tersenyum di sampingnya. Tiga bulan sudah berlalu sejak ayahnya pergi untuk selamanya, tetapi rasa kehilangan itu masih begitu menggerogoti hatinya.

Rina adalah seorang gadis berusia sebelas tahun, dan ayahnya, Pak Danu, adalah sosok yang selalu ada dalam setiap langkahnya. Sejak kecil, Rina belajar banyak hal dari ayahnya—bersepeda, menggambar, bahkan merangkai kata-kata dalam puisi. Ayahnya selalu membimbingnya dengan sabar, mengajarkan arti cinta, kejujuran, dan impian.

“Rina, jangan pernah takut untuk bermimpi. Mimpi itu adalah jendela untuk melihat dunia yang lebih indah,” kata Pak Danu suatu sore saat mereka duduk di taman, menikmati sinar matahari.

Sekarang, kenangan itu terasa seperti pisau yang menghujam hatinya. Rina merindukan suara tawa ayahnya, pelukan hangatnya, dan nasihat-nasihat bijaknya. Hujan di luar membuatnya merasa seolah langit pun ikut berduka.

Ketika hujan mulai reda, Rina beranikan diri keluar. Dia berjalan pelan ke taman tempat ayahnya sering mengajaknya bermain. Tanpa disadari, air mata mengalir di pipinya. Di bawah pohon besar yang pernah mereka naungi, dia duduk dan memejamkan mata, berusaha mengingat wajah ayahnya.

“Rina, jika kau merasa kesepian, ingatlah, aku akan selalu bersamamu. Dalam setiap mimpi dan dalam setiap hembusan angin,” suara ayahnya terngiang dalam ingatan, dan Rina merasakan semacam kehangatan di dalam hatinya.

Dia menggali sisa-sisa keberanian dan mengambil selembar kertas. Dengan pensil di tangan, dia mulai menulis puisi untuk ayahnya, mengekspresikan semua rasa rindunya.

“Ayahku, bintang di langit,
Kau pergi, tapi cintamu takkan pernah mati.
Dalam setiap detak jantungku,
Akan ku bawa namamu, selamanya.”

Puisi itu mewakili semua perasaan yang ada dalam hatinya. Saat menulis, Rina merasa seolah ayahnya ada di sampingnya, memberinya semangat. Dia menulis hingga langit gelap dan bintang-bintang mulai bermunculan.

Ketika pulang ke rumah, Rina mengikat puisi itu dan menaruhnya di dekat foto ayahnya. “Aku akan selalu mengingatmu, Ayah,” katanya pelan, seolah berbisik pada angin yang berhembus lembut.

Meski kehilangan itu takkan pernah sepenuhnya hilang, Rina tahu bahwa cinta ayahnya akan selalu hidup dalam hatinya. Dia mengangkat kepala, menatap bintang-bintang di langit. “Selamat malam, Ayah. Aku akan bermimpi tentangmu,” ujarnya, berharap bisa bertemu ayahnya dalam mimpinya malam ini.

Dengan semangat baru, Rina kembali ke kamarnya. Dalam setiap langkahnya, dia bertekad untuk mewujudkan impian yang pernah diucapkan ayahnya. Dia tahu, di setiap detak jantung dan mimpi, ayahnya akan selalu ada bersamanya. Cinta pertama seorang anak kepada ayahnya takkan pernah pudar, karena ia adalah fondasi yang akan selalu menguatkan jiwa Rina dalam menjalani hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun