Dengan latar belakang keluarga yang terkait erat dengan kesultanan, Ki Ageng Suryomentaram tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal. Warisan keluarganya memberikan fondasi kuat bagi pemikiran dan kepribadian Ki Ageng Suryomentaram, juga ia disediakan fasilitas pendidikan yang terjamin dibandingkan masyarakat umum. Beliau merupakan sosok yang senang mempelajari hal baru untuk menambah pengetahuannya.
Hingga suatu ketika ia merasa ada yang kurang dalam jiwanya, beliau merasa belum bertemu "orang". Ia merasa bosan dan beranggapan bahwa mungkin penyebab tidak bahagianya adalah harta benda, akhirnya ia menjual semua barang miliknya. Beliau meninggalkan istana dan melepas gelarnya sebagai pangeran segala hal ia lakukan untuk mengisi batinnya yang merasa kurang namun ia tak kunjung menemukannya.Â
Tahun 1927 akhirnya apa yang ia cari ketemu, yaitu dirinya sendiri. Ia selalu merasa bingung selalu tidak puas dengan semua yang ia lakukan, ia berkata pada istrinyaÂ
"Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah Si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah Si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi."
"orang" yang ia cari adalah dirinya sendiri, ia tidak pernah bertemu dengan orang yang selalu merasa tidak puas dan kecewa dengan apa yang ia lakukan. Setelah menemukan jati dirinya Ki Ageng Suryomentaram sering berpergian, bukan untuk merenung atau tirakat melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri.
Hasil renungan dan menjajagi diri sendiri itu ia tulis dan di bukukan pada tahun 1928 dan mulai melakukan ceramah di tahun 1929 hingga ceramah terakhirnya di Desa Sajen Salatiga. Sebelum meninggal ia sempat ceramah tentang puncak belajar Kawruh Jiwa adalah mengetahui gagasannya sendiri. Beliau meninggal pada tanggal 18 Maret 1962 dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Kanggotan.
Kawruh Jiwa
Ki Ageng Suryomentaram, seorang pangeran Jawa, mencapai ketenaran karena keberhasilannya menghidupkan kembali ajaran adi luhung nenek moyangnya. Ajarannya yang dikenal sebagai Kawruh Jiwa, atau ilmu kebahagiaan hidup, menitikberatkan pada esensi kehidupan manusia. Ia menekankan bahwa sebelum berinteraksi dengan sesama, manusia perlu memahami dan merasakan perasaan dalam dirinya sendiri untuk menghindari potensi melukai orang lain.
Bagi Ki Ageng Suryomentaram, rasa manusia adalah penjelmaan dari perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Pentingnya memahami dan merasakan rasa ini menjadi dasar untuk menjalani interaksi sosial yang bermakna. Menurutnya, mempelajari rasa manusia tidak hanya sebatas pengenalan terhadap diri sendiri, melainkan juga sebagai sarana untuk memahami hakikat manusia secara lebih luas.
Dalam pandangannya, proses mempelajari rasa menjadi sebuah jendela untuk menggali lebih dalam esensi manusia. Dengan memahami rasa, seseorang dapat mengembangkan empati, kepekaan, dan kesadaran terhadap keberadaan orang lain. Oleh karena itu, belajar tentang rasa tidak hanya merupakan sebuah keterampilan interpersonal, tetapi juga merupakan kunci untuk memahami dan memperkaya diri sendiri.
Ki Ageng Suryomentaram melihat studi tentang rasa sebagai suatu bentuk penelitian tentang manusia secara menyeluruh. Memahami rasa tidak hanya sebatas memahami bagaimana diri sendiri merespons situasi, tetapi juga mencakup pengertian terhadap beragam reaksi emosional dan psikologis manusia dalam berbagai konteks sosial.