Mohon tunggu...
FhmBdg
FhmBdg Mohon Tunggu... Translator, Interfaith Activist, World Peace Protagonist -

Translator, Interfaith Activist, World Peace Protagonist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Spiritualitas dari Zaman Batu

27 November 2017   16:47 Diperbarui: 27 November 2017   16:58 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu saya membaca berita yang menyinggung zaman di mana nenek moyang saya dan nenek moyang kita semua pernah hidup. Pikiran saya langsung melayang ke Pacitan dan Ngandong, dua tempat yang meninggalkan artefak yang bisa kita pelajari. Saya coba untuk membaca ulang dan mengambil pelajaran dari kehidupan paling sederhana yang pernah ada dalam sejarah manusia. Ingin sekali rasanya masuk ke mesin waktu dan melihat langsung kehidupan mereka, sekedar meyakinkan bahwa pelajaran ini bukan tanpa dasar.

Ternyata, dalam kapasitasnya yang sangat terbatas mereka sudah mengrekspresikan nilai spiritual dan kesatuan walaupun dalam bentuk tindakan yang sangat sederhana. Ketika itu "gadget" yang mereka pegang masih berupa batu dan tulang. Tapi mereka sudah mengenal konsep bersatu walaupun dalam lingkup wilayah yang kecil. Mereka bersatu menggunakan "gadget" mereka untuk berburu dan hasilnya dimakan bersama. Sebelum makan bersama mereka menaruh "gadget" mereka. 

Sebaliknya, dalam kehidupan modern kita sering menjumpai sebuah keluarga atau sekelompok orang yang mengaku sebagai teman-teman dekat ketika makan bersama masing-masing sibuk memainkan gadget-nya. Padahal mungkin hanya sekedar penasaran dengan  berita-berita hoax dan membagikannya. Lalu, apa yang kita banggakan dari kehidupan modern, jika gadget canggih yang kita pegang hanya untuk menebarkan berita hoax dan ujaran kebencian, bukan untuk kebersamaan dan persaudaraan.

Spiritualitas dan kerohanian muncul dalam kehidupan manusia yang pada dasarnya memang makhuk rohani yang diciptakan mulia. Spiritualitas tidak tergantung pada dunia materi, namun dunia materi untuk menjadi hidup dan bermakna membutuhkan spiritualitas. Kualitas rohani bisa muncul di zaman batu, zaman besi, dan di zaman modern yang sangat canggih selama modernitas itu dipakai untuk menfasilitasi ekspresi nilai-nilai kerohanian. Namun, modernitas yang mengesampingkan spiritualitas hanya membuat dunia ini kumpulan benda mati yang bergerak. Ironisnya, suatu masa yang kita kenal dengan zaman jahiliah justru tidak muncul di zaman batu dan zaman logam, tapi di zaman sejarah ketika manusia sudah menemukan berbagai sarana kehidupan. Bahkan kejahilan ini ada dan berkembang sampai sekarang dan menjelma menjadi jahiliah modern.

Walaupun belum mengenal agama dengan segala struktur ilmu dan definisi teologisnya, nenek moyang kita di dalam DNA-nya sudah tertanam fitrah dan potensi untuk mencari Dia Yang Transenden. Sebelum tersentuh oleh bimbingan Tuhan melalui para utusan-Nya potensi pencarian ini bisa jatuh dan terekspresikan pada objek-objek alam yang fenomenal. Misalnya, Gunung, Halilintar, Samudra, Bulan, Matahari, dan lain-lain.

Bahkan dalam perjalanan selanjutnya di zaman sejarah ketika keyakinan mereka terlembagakan dalam sebuah agama dan konsep teologis setahap lebih jelas, mereka tetap membutuhkan simbol-simbol dan media-media untuk berhubungan dengan Tuhannya dan untuk mengekspresikan cinta dan pujaan kepada Sang Pencipta. Seseorang bisa merasa nyaman dan  fokus berhubungan dengan Tuhan dalam kondisi tertentu, menggunakan pakaian tertentu, berada di tempat tertentu, menggunakan pengharum, lampu, alat musik,  suara dan gerakan tertentu. 

Dengan demikian, media ini bisa berupa kain, batu, minyak wangi, asap aromatik, lilin, dupa, lonceng, simbal, bahkan sebuah gitar atau piano. Tentunya, simbol-simbol dan media ini tidak dianggap sebagai esensi dari Yang Dipuja. Melainkan sarana pengkondisian rohani. Di sinilah diperlukan kedewasaan sikap untuk tidak mempersoalkan media dan simbol apa yang dipakai oleh penganut sebuah keyakinan untuk "bercengkrama" dengan Kekasihnya. Karena di balik perbedaan lahiriah itu terdapat persamaan hakiki di mana nilai-nilai spiritualitas berada.

Tantangan kita bersama adalah bagaimana nilai-nilai dari agama yang kita banggakan selama berabad-abad ini bisa semakin terwujud di era modern ini. Dan bagaimana peradaban modern bisa mencerminkan kehidupan manusia sebagai makhluk rohani. Jika dalam batas waktu tertentu manusia gagal untuk menegakkan perdamaian global melalui sarana dialog dan musyawarah, dan persengketaan memuncak pada perang dunia yang dahsyat, bukan hal yang mustahil dunia ini akan berada dalam kehancuran total. Maka, pada saat itu Tuhan akan memaksa kita kembali ke "zaman batu" dan mengulang kembali sekolah agama dari awal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun