Mohon tunggu...
Iqlima Faheema
Iqlima Faheema Mohon Tunggu... -

terlalu kecil untuk memaknai dunia, terlalu besar untuk melihat eksistensi dunia dari setoples gula-gula, itulah saya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak, dari Ibu

22 Desember 2013   12:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sendu hanya milik biru, anakku!” Tiba-tiba ibu membuyar lamunanku dengan kata-katanya yang teramat aneh belakangan ini.

“Maksud ibu?”

Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Beliau tidak melepas pandangannya pada ufuk di timur sana. Wajahnya tampak tenang seakan tidak ada lagi yang bisa membuatnya resah untuk saat ini. “Bapakmu sekarang pasti sedang di dalam pesawat itu.”

Lagi-lagi itu. sekejap, rasa lelah itu kembali mendera hati. Betapa kehilangan ini sangat mengguncang ibu. Yang sepanjang hidupnya dihabiskannya untuk menanti bapak pulang dari tugas-tugasnya.

Namaku Lembayung. Bapak bilang, Lembayung itu adalah warna yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman, menghilangkan resahnya. Namun, tepat saat sweet seventeen-ku, pesawat bapak dikabarkan hilang kontak. Tidak ada yang kuingat dari sosok pilot yang kupanggil bapak itu, kecuali wajahnya yang selalu tampak meneduhkan. Kalimat-kalimatnya yang selalu menenangkan adikku sebelum beliau kembali berangkat bertugas.

Mata yang memancarkan kelembutan akan sosok yang jarang dirumah, kerinduannya yang tidak bisa dibendungnya akan pelukan keluarga yang dinaunginya.

Namun, kabar itu datang menghajar kerinduan yang dipendam ibu habis-habisan.

Ingatan itu tertanam kuat dalam otakku. Bagaimana mata ibu memicing tidak percaya, tapi sedetik kemudian beliau melepas celemeknya dan menyeret tangan tetanggaku yang mengabarkan berita itu. keluar dan pergi dengan mobil kami yang dua hari ini menganggur karena tidak ada yang berniat menyentuhnya selain bapak.

Ibu tidak pernah menangis di depan anaknya. Itu prinsip hidupnya. Maka ketika adikku menjerit-jerit saat beberapa wartawan mendatangi rumah kami, ibu menggendongnya dan membiarkan para wartawan itu menunggu sampai adikku tertidur dalam pelukannya.

Tidak ada setetespun airmata di sana.

Terkadang justru ketegaran seseorang yang mampu meluluhkan hati kita. Adikku sejak saat itu tidak pernah lagi menangis ataupun menanyakan bapak pada ibu. Meskipun kami semua tahu.

Bahwa ibu lebih ingin menangis daripada kami, lebih ingin menjerit, lebih terluka, lebih terguncang dalam.

Semuanya terungkap saat usia menelan ketegaran ibu. Tiba-tiba saja ibu berubah. Segala sesuatu yang selama ini selalu beliau simpan rapat-rapat dari kami, terungkap.

Lewat igauannya, cerita-ceritanya yang terlontar tanpa beliau sadari. Saat hari raya, beliau sering lupa mencari bapak, menyiapkan sarung dan koko untuk bapak.

Saat ini di masa tuanya beliau lebih sering menghabiskan waktunya dengan cucu-cucunya. Aku sangat bersyukur. Celotehan mereka bisa mengurangi beban perasaan ibu.

“Lagu-lagumu selalu terdengar sendu, Yung!” ujar ibu suatu ketika. Saat mendengarkan beberapa lagu yang kuciptakan. “Bukannya selalu ibu katakan. Sendu itu hanya milik biru?”

“Ayung masih belum mengerti ibu!” jawabku diplomatis. Bukankah ketidaktahuan selalu dimaafkan? tapi, aku benar-benar tidak tahu. Ibu hanya mengatakannya, kemudian beliau bersikap lupa telah mengatakannya.

Sepertinya hari ini berbeda. Sikap ibu dan arah bicaranya mulai tampak jelas akan kemana.

“Bapakmu lebih tahu. Coba kamu tanyakan kalo dia pulang.” Jawabnya. Kemudian beliau berbalik berjalan pelan meninggalkanku sambil bergumam sedikit keras,

“Dia selalu mengatakan hal yang sama kalo mau berangkat tugas. Bahkan, dulu sebelum menikah juga sering mengatakan hal yang sama. Aneh!”

Aku selalu ingin menangis jika mendengar ibu mulai membicarakan bapak dan bersikap seolah-olah bapak masih ada diantara kami.

Malam ini ibu meminta untuk diantarkan kerumah adikku yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku.

“Untuk apa, bu? Kenapa nggak nunggu besok saja?” tanya suamiku.

“Bapakne Ayung belum pulang. Rumahnya Karang ‘kan lebih deket sama bandara, siapa tahu dia butuh dijemput!” jelas ibu. Wajahnya menampakkan kecemasan yang sangat.

Suamiku terdiam, aku terduduk menahan airmata, Yani pembantu kami tertegun.

Ternyata seluruh fragmen bapak tidak bisa lenyap dari ingatan ibu. Pada akhirnya, malam itu suamiku mengantarkan ibu ke rumah adikku. Kami sudah tidak tahu lagi dengan sikap ibu. Maka, seperti yang aku lakukan biasanya, adikku menerima kedatangan ibu basa-basi sebentar dengan suamiku sebelum akhirnya saling mengucap kata sampai jumpa.

Beberapa hari kemudian, aku mendapati istri adikku yang menangis ketakutan mendatangiku. Saat kutanyakan ada apa,

“Ibu, Mbak! Tadi, selepas mengantar anak-anak ke sekolah, lha ibu kok minta dianterin ke bandara. Katanya, bapak baru saja menghubungi ibu kalo bapak lupa jalan pulang. Terus bapak juga tidak ingin pulang! Begitu kata Ibu tadi.

“Aku beneran takut, Mbak! Aduh… bagaimana ini?”

Aku menggamit tangannya, “Ya sudah! Ayo ke rumahmu… kita bicara sama ibu!”

Kubiarkan ia menyopir. Sementara pikiranku sendiri sudah liar kemana-mana. Mungkinkah ada hubungannya dengan kalimat ibu yang tidak begitu jelas?

“Kamu sering mendengar kalimat-kalimat aneh ibu, nggak?”

Ia mengangguk, “Iya, mbak! Apa lagi, kalo ayahnya Karang itu lagi merampungkan novelnya. Ibu sering membaca judulnya, trus bilang, ‘Novelmu ini terlalu sendu, Nang! Sendu itu hanya milik biru.’ Aneh ‘kan, Mbak?”

Sama persis seperti yang sering ibu lontarkan kepadaku kalo mendengar lagu-laguku.

Jangan-jangan…

*

Begitu mobil berhenti di halaman rumah, aku segera melompat keluar. Secepatnya masuk rumah yang tidak terkunci itu.

“Kenapa nggak dikunci?”

“Saking takutnya, aku nggak sempet buat ngunci, Mbak!”

Kami berlari ke dalam mencari ibu. Seluruh ruangan sudah dimasuki, namun kami tidak menemukan ibu.

Ternyata beliau ada di dapur dan… Ya tuhan!

Istri adikku menjerit dan melompat menarik ibu keluar dapur. Aku segera mematikan kompor dan mengambil panci yang dipakai ibu untuk memanaskan air. Entah apa yang dipikirkannya, sampai tidak menyadari air panas itu tumpah sampai mengenai kakinya.

Kuhampiri ibu yang kakinya sedang dibalut kain kassa. Wajahnya tetaptenang seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

“Apa yang ibu pikirkan tadi?” aku bertanya dengan tetap menjaga intonasi suaraku agar tetap lembut. Setidaknya pertanyaanku tidak membuat ibuku tidak nyaman.

Ibu masih diam saja. Tidak mendengarkan pertanyaanku. Kusentuh ujung jarinya. Kebalikan dengan air diatas kompor yang dimasak ibu, tangan ibu terasa sangat dingin. Sentuhan tanganku membuat ibu mendongak.

“Ada apa dengan ibu? Mengapa jadi seperti ini?” kuangkat tangan dingin itu, menciumnya pelan, menikmati lembut kulitnya yang keriput termakan usianya.

“Lihatlah, Yung. Wajah bapakmu bahkan tidak pernah berubah. Ibu sudah bertemu dengannya, dia bahagia sekali. Katanya, langit hari ini benar-benar biru seperti yang disukainya. Dia sudah menemukannya dan ingin membawa ibu melihatnya bersama.

“Hari ini.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun