Mohon tunggu...
Fafi Masiroh
Fafi Masiroh Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Never Stop Learning.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Balada Standarisasi yang Membumi

9 April 2022   01:25 Diperbarui: 9 April 2022   01:41 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kali saya mendengar sebuah ungkapan yang biasanya dianggap sebagai kalimat motivasi mengatakan bahwa "kamu hebat dengan caramu sendiri" atau "setiap orang itu hebat dengan caranya sendiri". Tidak dipungkiri bahwa kalimat tersebut menumbuhkan rasa semangat, dan beberapa kali bisa juga menumbuhkan rasa percaya diri untuk tetap melangkah ke depan dan tidak jalan di tempat. Benar memang, jika setiap manusia itu hebat. Bahwa setiap manusia itu memiliki cara sendiri atau bahkan definisi sendiri untuk memaknai kata "hebat" dalam perjalanan hidupnya. Kita sendiri tahu jika jalan setiap manusia itu sangat beraneka ragam bahkan tidak ada yang sama persis, karena keseluruhan itu sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Pernyataan-pernyataan tersebut yang seharusnya sering kali untuk dijadikan sebagai sebuah peringatan dan catatan agar tidak ada perbedaan sikap atau bahkan sebuah judgement ketika kita mendapati sikap manusia-manusia yang di luar logika atau penerimaan kita.

Kendati demikian, ungkapan-ungkapan tersebut yang sebelumnya saya sebutkan terkadang hanya terdengar seperti angin lalu belaka. Meskipun kita sendiri telah mengimplementasikan ungkapan tersebut dalam realita kehidupan, tetapi tidak jarang saya menemui suatu keadaan di mana ungkapan tersebut sama sekali tidak berlaku. Singkatnya kita bisa sebut dengan istilah standarisasi. Setuju atau tidak standarisasi beberapa kali saya temukan dalam berbagai aspek kehidupan. Standarisasi sendiri ini layaknya sebuah ukuran yang telah ditentukan untuk kemudian dapat diterima secara umum. Bisa saja standarisasi ini bersifat dinamis, artinya memungkinkan untuk mengalami perubahan dengan disesuaikan pada kebutuhan. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahwa standarisasi ini bersifat permanen, artinya sudah menjadi suatu paten tanpa mempertimbangkan perubahan-perubahan yang ada sebagai bentuk penyesuaian.

Adanya standarisasi sebenarnya sangat penting dan dalam beberapa hal memang sangat dibutuhkan. Tidak lain bahwa keberadaan standarisasi ini diharapkan agar mampu mendapat kelayakan mutu yang berkualitas. Kita bisa ambil contoh standarisasi seorang ASN, atau misalnya dalam kegiatan komersialisasi produk industri. Di lain sisi, saya mendapat suatu hal yang memprihatinkan bahwa istilah standarisasi ini ternyata juga beberapa kali saya temui dalam aspek kehidupan yang konon katanya bisa disebut privasi. Standarisasi-standarisasi tersebut bahkan sepertinya sudah membumi di kalangan publik. Perempuan-perempuan di sekitar saya beberapa kali bercerita bahwa mereka cukup risih dengan standarisasi yang sudah menjadi doktrin publik. Standarisasi perempuan cantik misalnya, kita sering mendapati bahwa "cantik" itu mereka perempuan yang berkulit putih, tinggi semampai, hidung mancung dan spesifikasi lainnya yang mendominansi pada fisik. Lagi, standarisasi "sukses" yaitu mereka yang punya uang banyak, bekerja diperusahaan atau perkantoran, mereka yang punya mobil dan spesifikasi lainnya yang tidak semua orang memenuhi standarisasi tersebut.

Standarisasi tersebut yang sering kali membuat manusia dari awalnya percaya bahwa dia memiliki kemampuan dengan berpegang teguh pada ungkapan "semua manusia hebat" dan ungkapan semacam lainnya menjadi ragu untuk maju tegap ke depan, membuat mereka berulang kali berpikir untuk show their capabilities. Sedihnya, standarisasi tersebut akhirnya bisa juga merusak mental mereka bahkan untuk sekalipun percaya pada diri mereka sendiri. Standarisasi tersebut yang nampak sudah membumi mencerminkan bahwa diskriminasi masih sering kita jumpai dan cukup banyak yang beracuan pada fisik dan materi. 

Menyikapi standarisasi tersebut sewaktu-waktu kita bisa saja akan merasa down, rasa percaya diri menurun, hingga ragu beberapa kali dalam mengambil sikap ke depan. Boleh saja kita menerima perasaan-perasaan tersebut, tapi akan lebih baik jika tidak berlarut lama dalam perasaan tersebut. Sebisa mungkin kita berusaha untuk tetap mengendalikan diri agar menjadi lebih baik tanpa memperhatikan banyak standarisasi tersebut. Kita bisa menciptakan lingkungan kita sendiri di mana mereka yang di dalamnya tanpa memperhatikan standarisasi aspek kehidupan yang membumi tersebut secara detail. Semua orang hebat, tentu jika dia memiliki lingkungan positif untuk mendorong dia hebat dengan caranya sendiri.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun