Mohon tunggu...
M. Fafi rahmatillah
M. Fafi rahmatillah Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Hp : 0853-4877-1491 Fb : ففي رحمة الله Twitt : @FaffysMe IG : Faffy_Elhanafy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Banjar

16 Mei 2015   18:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:55 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Banjrmasin

“Obrolan Sang Kyai dan Tukang Becak”

Jum’at subuh, seorang lelaki berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah seorang kyai, dia berjalan dari rumahnya yang tak jauh dari mesjid yg berdiri tegak di sekitaran jalan sultan adam dikota Banjarmasin, karena rumah kyai tersebut terletak tepat di depan mesjid, masyarakat sekitar menamai mesjid itu, mesjid Al-Ikhlas, dari kejauhan terlihat rona raut wajah lelaki tersebut sedang bingung, resah dan agak sedikit muram. Sesampainya didepan rumah sang kyai, dengan sedikit rasa malu dia mulai melangkahkan kakinya kedekat pintu rumah, ia letakkan alas kakinya diteras rumah, dan kebetulan sekali pintun rumahnya terbuka lebar, mungkin karena sang kyai baru pulang dari sholat subuh di mesjid, kemudian dengan nada lembut ia mengucap salam.

“Assalamua’alaikum”...

Dengan cepat terdengar jawaban, wa’alaikum salam warahmatullah...eeeh, nak Ehsan! Ada apa subuh-subuh mampir kesini...mari masuk, kebetulan sekali ini acil baru selesai bikin teh, kebiasaan di rumah ini nak ehsan!, kalau subuh begini “abuya” (panggilan umum kyai tersebut),  sering minum teh bersama-sama keluarga...hemmm..(sembari tersenyum simpul).

‘Terima kasih banyak cil ae...ini ulun mau ketemu abuya, ada sesuatu yang ingin ditanyakan kepada beliau” jawab ehsan...

“Oooh...tunggu dulu sebentar ya nak ehsan, acil panggilkan dikamar, duduk aja dulu di kursi tamu yaa”...

“Inggih cil”, jawab ehsan.

Sementara itu didalam kamar, abuya sang kyai tengah khusu’ berzikir, beliau memang sudah biasa, setelah pulang dari mesjid dari sholat subuh, beliau langsung melakukan rutinitas ritual/amalan yang sudah beliau amalkan sejak beliau masih mondok dipesantren. Beliau dikenal alumni pesantren Darussalam yang terkenal di kota Martapura, rata-rata semua orang suku banjar tahu dan mengenal serta mengakui akan prestasi pondok tersebut dalam mendidik dan menghasilkan seorang kyai atau pemuka agama di masyarakat.

Ditengah ke khusu’kan beliau berzikir, mendekatlah istri beliau tadi dan dengan lembut mengelus punggung sambil berucap...”Abah, diluar ada tamu, itu si ehsan anak almarhum Zulkifli, ada sesuatu yang ingin ditanyakan katanya”...

“Emmmh...inggih umanya ae, sebentar lagi abah selesai nih”...

“jangan lama ya bah, kasian nanti ehsan lama menunggu, mama mau kedapur dulu mengambil teh”...jawab istri beliau...

“Emmm...siap umanya ae hehe”...abuya tertawa kecil..

Tak lama setelah istri beliau meninggalkan kamar, abuya pun mengangkat tubuhnya, tak lupa beliau tetap membawa tasbih yang digunakan berzikir tadi.

Sementara diluar, ehsan yang dari tadi duduk, dengan sabar menunggu sang kyai muncul dan menemuinya, sambil sesekali mamandangi photo-photo kyai bersama sahabat atau mungkin guru-guru beliau, yang dengan rapi terpajang didinding ruang tamu rumah beliau. Disaat itu terdengarlah suara tirai kamar terbuka, dan dengan tersenyum sambil melangkah, abuya sang kyai berjalan mendekatinya, Ehsan pun dengan tubuh menunduk ingin bersalaman, dan meraih uluran tangan abuya yang kemudian diciumnya dengan penuh rasa hormat.

“Ada hal apa gerangan nak ehsan datang kemari, ada masalah ya??”  tanya abuya.

Ehsan langsung menjawab, “inggih abuya, ulun ada masalah, ulun bingung dengan masalah ini, jadi ulun kesini mau bercerita, boleh kan abuya?”...

“Oooh, boleh-boleh nak ehsan, cerita aja, insya Allah nanti kita bisa cari jalan keluar masalahnya bersama-sama” jawab abuya tanggap.

Sebelum ehsan memulai ceritanya, tiba-tiba datang langkah kaki dari dapur, ternyata istri abuya sedang membawa teh yang baru saja selesai dibuatnya tadi, kemudian setelah di letakkan di meja istri abuya bilang,

“Naaah...ini tehnya dataang, teh cap Gunung Satria lhoo. hemmmm, ayoo nak ehsan, diminum dulu tehnya, mmmm... Abah minum juga yaa”(sambil sedikit mengedipkan mata kirinya).

Abuya pun membalas kedipan mata sang istri, sambil bilang “Oyaa, tentu umanya ae, betul, saya sangat suka teh merek ini, ayoo minum dulu nih nak ehsan, biar seger”! Abuya tidak lupa menambahkan.

Ehsan yang menyaksikan tingkah suami istri didepannya itu pun sedikit berkomentar, “Masya Allah, Aduuuh aduuuh... abuya dengan istri beliau ini, meskipun sudah lama menikah masih terlihat harmonis, seperti habibi Ainun saja, kalau di Banjar itu disebutnya Nanang Galuhnya banua,  jadi iri saya melihatnya, heheeheee”

Abuya pun tersenyum kaget sambil berucap, “Allah, Allah... nak ehsan ini bisa ajaaa, maklum, anak-anak kami yang dua itu semuanya pada menuntut ilmu di jawa, jadi dirumah tinggal berdua sama istri, harus sering-sering bercanda ria, Yaaa.. sedikit bisa mengurangi rasa kerinduan kita dengan anak, heeehee”.

“Hemmm...Inggih, inggih betul itu abuya ae”...Ehsan sedikit terkagum dengan jawaban abuya.

Istri abuya pun berdiri sambil tersenyum malu, kemudian berpesan ingin masak dulu, ia pun melangkah menuju dapur lagi,

“Masak yang enak ya umanya”heheehe, abuya berseru, dan istri beliau hanya menjawab dengan tersenyum manis.

“Emmmm...jadi gimana nih ceritanya nak ehsan”, tanya abuya tiba-tiba.

Ehsan pun memulai bercerita, sambil meraih teh yang tersaji didepannya tadi. Sluuuurrrp...sluuuuuurppp, sekitar satu dua tegukan teh ehsan pun mulai bicara,

“jadi begini abuya, yang pertama, ulun ini sedang dalam keadaan susah ekonomi, anak ulun si Rita mau melanjutkan sekolah ke tingkat SMP, baru saja inya lulus di SD kebun bunga, mau bayar pendaftaran gak ada uang, yaa wajar, ulun kan hanya seorang tukang bacak, penghasilan ulun yaa ada kala banyak, ada kalanya sedikit, jadi ulun ini bingung dan resah lagi gusar abuya ae”(Ehsan bercerita dengan muka sedikit agak masam berkerut)

“Inggih...Inggih abuya paham” terus ada lagi masalahnya? ucap abuya menanggapi sembari bertanya.

“naaah! sekarang ini kan di Banjarmasin, sudah ramai kabar akan mengadakan pemilihan pemimpin yang baru, dari pemilihan walikota sampai gubernur yang baru”.(respon cepat ehsan).

“He’eehh”...abuya mengiyakan.

(Ehsan lanjut bercerita lagi) “jadi malam tadi sekitaran jam sebelasan abuya ae, waktu ulun duduk di teras, memikirkan biaya sekolah tadi, ada orang yang tidak dikenal datang ke rumah ulun, ia membawa dua amplop, lalu diberikan amplop yang satu itu ketangan kanan ulun, yang satunya diletakkan ditangan kiri, tapi sambil berpesan,....

”ini ada sedikit duit buat kamu, kemudian amplop yg satu ini nanti tolong bagikan kesesama tukang becak di pangkalan, dan jangan lupa bilang pada mereka, bila pemilihan tiba, pilih calon yang gambarnya pakai baju sasirangan yang berpeci putih yaa! setelah itu ia dengan cepat meninggalkan rumah ulun”. Kemudian setelah amplop itu ulun buka, ternyata isinya jutaan lebih abuya ae”.

“Jadinya ulun harus gimana abuya!, Duit yang ada dengan ulun itu gimana kedudukannya, Sementara ulun ini orangnya kurang berani jika sembarangan memakai uang yang tidak jelas kedudukannya, yaaa... meskipun ulun hanya seorang tukang becak, tapi dalam hati nurani ulun masih ada iman abuya ae, ulun tidak mau dengan mudah disalah langkahkan oleh syetan, sampai subuh ini ulun gak pergi narik becak dulu, dan uangnya masih ulun simpan di dalam lemari”.  Mmmmm... “jadi harus ulun gimanakan dan harus diapakan uang ini menurut pian abuya”,? (tanya ehsan kepada abuya, yang dari tadi mendengarkan ceritanya dengan serius dan seksama).

“Ooooh, hemmmm, begitu ya masalahnya..

Abuya pun berpikir sejenak...

Tak lama sekitar 4-5 detik, beliau pun menjawab kerisauan yang di ajukan ehsan kepada beliau. “Ehsan, abuya salut sekaligus bangga dengan kamu, meskipun dalam kondisi sesulit ini, pian masih mau mendengarkan hati nurani dalam bertindak. Insya Allah pian termasuk orang yang di berkahi hidupnya”

“Amiiiiin” ehsan dengan cepat mengamini.

Abuya pun melanjutkan, “karena orang seperti pian ini jika mampu menghindari perbuatan dosa ditengah kondisi banyak masalah dan terdesak ekonomi, maka sangat besar pahalanya. Tidak seperti orang yang kaya banyak duit, yang tidak diuji rasa kebutuhan akan ekonominya. Iya kan ehsan!

“Inggih abuya ae” ehsan mengangguk mengiyakan.

“Naaaah! Untuk masalah duit yang kamu pegang itu, ada dua kemungkinan, yang pertama, serahkan dan bagikan saja semuanya kepada teman-teman becak pian, tapi bilang kepada mereka bahwa ini uangnya tidak jelas halal atau haramnya, bila mereka berani menerima, pian kasih saja, tapi bila tidak berani menerima lebih baik semuanya disumbangkan saja ke mesjid, karena ustadz terkenal yakni Arifin Ilham yang orang Banjar juga kan, beliau bilang, “jika ada yang mengasih duit dengan dalih memilih seseorang dalam pemilihan, ambil saja duitnya, tapi jangan pilih orangnya” tapi jika disumbangkan ke mesjid, insya Allah uangnya bisa untuk kemakmuran mesjid, betul kan nak ehsan?

“Emmmmh...inggih...inggih betul abuya ae”...ehsan mengiyakan lagi. Kemudian bertanya sedikit, “ jadi kalau menurut pian, calon pemimpin itu lebih baiknya harus gimana abuya?? Apakah harus selalu dengan begitu untuk mau memperoleh jabatan??

Lalu, abuya melanjutkan kembali nasehatnya, “Makanya sekarang ini sudah lumrah yang namanya money politik, politik uang istilahnya, sasarannya ya orang-orang yang kekurangan seperti pian ini, yang dengan mau menerima pemberian karena alasan membutuhkan tadi, Sekarang ini juga berbeda dengan zaman Nabi kita Muhammad Saw dulu, kalau nabi kita dulu, beliau rela mengorbankan waktu istirahat beliau, waktu bersama berkumpul keluarga, waktu makan, waktu tidur, demi memimpin dengan baik umat beliau, padahal beliau juga manusia biasa seperti kita, yang kebutuhan jasmaninya harus dipenuhi, iya kan nak ehsan”??

Ehsan pun mengangguk cepat mengiyakan perkataan abuya itu.

“Ini tidak terasa kita sudah masuk bulan rajab, bakal ramai lagi di mesjid-mesjid di Banjarmasin memperingati isra mi’rajnya beliau Nabi kita tadi, orang banjar ini sangat antusias bila ada acara-acara yang berhubungan dengan keagamaan, iya kan nak ehsan??

“Inggih, betul itu abuya ae...

Abuya melanjutkan nasehatnya lagi, “Hemmm... jadi intinya selayaknya dibulan rajab ini, terbuka hati calon-calon pemimpin sekarang itu mencontoh Rasulullah Saw, sebelum diangkat dan dijadikan pemimpin umat, yang di tanamkan beliau paling utama adalah kepercayaan, dan sebab orang bisa percaya kepada kita adalah, kita harus jujur, jika kita jujur maka orang yaa...akan percaya tadi. Naaah! Menanam kepercayaan itu tidak gampang nak ehsan ae, karena banyak orang yang menutupi identitas dirinya, masa lalunya, dan ketika ingin mencalon menjadi pemimpin, yang buruknya disimpan, yang baiknya diumbar, dipublikasikan, jadi karena ia tidak punya kepercayaan banyak dari masyarakat akan dirinya, terpaksa melalui jalan money politik tadi”, (begitu menurut pemikiran abuya). Dan ehsan pun dengan baik memahami dan mengerti penjelasan abuya tersebut.

Abuya meneruskan lagi,“Untuk masalah anak pian tadi, ini nak ehsan pakai saja uang abuya, tidak perlu nak ehsan kembalikan, anggap saja ini berkah dari Allah, karena keteguhan hati nak ehsan, karena mungkin jika orang lain yang meneima uang itu, mungkin akan lain pula ceritanya”, abuya pun mengambilkan uang dalam sakunya, lalu mengasihkan kira-kira sepuluh lembar uang seratus ribuan kepada ehsan. Ehsan pun bukan main gembira setelah menerima uang tersebut, dan tidak lupa ia mengucapkan terima kasih.

“Alhamdulillah....Terima kasih banyak abuya, mudah-mudahan uang ini bermanfaat dan berkah nantinya buat keluarga kami”.

“iyaaa, kembali kasih nak ehsan”, berucap sambil menepuk bahu ehsan...

Ehsan pun memasukkan uang tersebut ke saku baju kokonya.

Abuya pun berucap, “daripada kita menggunakan uang yang dari mana tidak tahu asalnya, digunakan untuk sekolah anak, bisa-bisa nanti anak kita tidak berkah sekolahnya, entah nanti anak jadi tidak mudah paham pelajaran, sulit menangkap penjelasan gurunya, yaaa, karena di awal daftarnya menggunakan uang yang seperti itu tadi, betul tidak??

“Inggih, betul, betul banget abuya”...ulun memang menyadari juga sesuatu yang seperti itu”, (kata ehsan meyakinkan ucapan abuya). Dan obrolan mereka pun berlanjut seru, jika ehsan bertanya, abuya pun menjawab dengan solusi yang penuh hikmah dan perhitungan...

Dan tidak terasa, waktu berjalan cepat mengiringi ayiknya diskusi abuya dan ehsan, ternyata waktu menunjukkan pukul 06:50, dan teh yang diminum mereka berdua pun kian sedikit, mungkin tersisa satu atau dua tegukan lagi.

Ehsan pun dengan cepat membuka obrolan lagi, “Alhamdulillah...kalau begitu terima kasih banyak abuya ae atas pencerahan pian, ulun merasa nyaman hati”.

Abuya pun menjawab,”Ya Alhamdulillah, sama-sama nak ehsan, jadi ingat betul-betul kejadian hari ini, bila nanti terulang lagi, entah besok atau tahun depan pas maraknya pemilihan, ada lagi kejadian seperti ini, pian sudah tau harus berbuat seperti apa, dan pian kalau perlu duit, jujur saja, bilang kepada abuya, insya Allah abuya bisa membantu, kita sesama orang Banjar ini, sesama agama Islam itu seperti keluarga, bila ada masalah sudah seharusnya saling membantu”.

“Ingggih”, jawab ehsan mengerti.

Melihat hari sudah mulai siang, ehsan pun ijin pamit pulang kepada abuya, “emmmm, ulun mau pulang saja kalau begitu abuya ae, gak enak kalau lama-lama, nanti istri saya nyariin, hehehe”.

Abuya cepat menyahut, “nak ehsan kalau bisa jangan pulang dulu, mari ikut abuya makan kedapur, itu acil mungkin sudah selesai menyiapkan makanan”.

Ehsan pun menolak ajakan itu dengan sopan,”Aduuuh, ulun jadi gak enak nih abuya, ulun makan dirumah saja nanti, gak apa-apa kan abuya”.

“Ooooh, iyaaa deh siiiip, siiip, silahkan kalau begitu...jawab abuya memaklumi.

Sambil berdiri, ehsan mengulurkan tangannya kepada abuya, diciumnya lagi tangan beliau dengan sopan lembut, setelah itu ehsan pun kembali memakai alas kakinya yang tadi diletakkannya di teras rumah abuya, sembari mengucapkan salam pulang,

”Assalamu’alaikum....”

“Wa’alaikum salam warahmatullah...jangan bosan kemari ya nak ehsan,,,jawab abuya tersenyum.

Ehsan pun pulang dengan kondisi wajah sumringah, berbeda dari sebelum ia datang kerumah abuya tadi, terpancar kebahagiaan dan harapan kecil akan kebahagiaan anaknya, ehsan masih tetap pada pendiriannya, yakni tidak berani menggunakan uang pemberian tim sukses yg telah diterimanya, ia memilih berhati-hati, meskipun abuya membolehkan menerimanya, karena ia sudah punya uang mendaftarkan sekolah anaknya yang pasti diyakini baik oleh ehsan, dari pemberian abuya yang ia datangi tadi, kemudian untuk uang tim sukses itu, niat akhirnya uang itu, semuanya untuk disumbangkan ke mesjid saja, karena ia fikir itu lebih bermanfaat dan berguna untuk semua.

^_^ Selesai ^_^

( HaCi : M. Fafi Rahmatillah )                                                Banjarmasin 22 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun