Mohon tunggu...
Fani Tafia
Fani Tafia Mohon Tunggu... Insinyur - Pejuang melawan kebodohan

Hanya ingin hidup dalam damai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Masih Hidup

16 Maret 2017   18:11 Diperbarui: 16 Maret 2017   18:17 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini, tanggal 26 di akhir semester tepatnya pada bulan Juni 2012, aku sangat bahagia. Seperti rencana yang telah disusun oleh sekolah, aku dan kawan-kawan akan berangkat rekreasi pada hari ini. Tujuan rekreasi kami adalah Pantai Parangtritis. Salah satu pantai yang indah dan sering dikunjungi oleh siswa sekolah dasar di kabupaten kami. Dalam pikiran anak-anak seperti kami, rekreasi ke luar kota merupakan hal yang sangat menakjubkan. Maklum, anak sekolah dasar seperti kami ini belum mempunyai cukup pengetahuan tentang dunia luar pagar.

Seperti yang telah diinformasikan, rombongan kami akan berangkat pukul 21.00 WIB. Tapi, kami harus berkumpul di sekolah pukul 20.00 WIB. Sebelum berangkat, aku mempersiapkan semua barang-barang yang akan aku bawa. Tepatnya mengecek kembali, karena jauh-jauh hari sebelum keberangkatan aku telah mengemasnya dalam satu tas. Karena kami harus berada di sekolah pukul delapan, maka sebelum berangkat aku bisa melaksanakan sholat terlebih dahulu di rumah. Saat aku sholat, aku mendengar suara Radit dan Wawan memanggil namaku. Segera setelah selesai sholat kami berangkat ke sekolah bersama-sama.

Sebenarnya, ibuku kurang setuju kalau aku mengikuti rekreasi ini. Beliau khawatir karena mengingat usiaku yang baru menginjak dua belas tahun dan tidak pernah pergi ke manapun tanpa kedua orang tua. Namun, setelah aku membujuk beliau dan memberitahukan alasanku mengikuti kegiatan ini, akhirnya beliau setuju. Aku berkata kalau aku ingin mendapat pengalaman bersama teman-teman sekolah dasar di akhir-akhir waktu kebersamaan kami. Lagi pula, ada dua sahabatku yang juga mengikuti kegiatan ini. Dengan alasan-alasan itulah ibu akhirnya setuju.

Tepat pukul 19.45 WIB, aku, Radit, dan Wawan tiba di sekolah. Dalam perjalanan ini, sekolahku hanya menggunakan satu bus. Jadi, tidak ada pembagian kelompok pada kali ini. Sebelum berangkat, Pak Ali selaku panitia penyelenggara kegiatan ini segera melakukan pendataan untuk memastikan tidak ada siswa yang tertinggal. Setelah itu kami berdoa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan. Kemudian, tepat pukul 21.00 WIB kami akhirnya berangkat.

Di dalam bus, aku duduk satu bangku bersama Radit dan Wawan. Aku merasa bahwa bus yang kami gunakan ini sangat nyaman. Tempat duduknya empuk dan berwarna-warni, terdapat dua televisi, sambungan internet dan juga terdapat pendingin di dalam bus. Karena terlalu nyaman, aku tertidur lelap di awal perjalanan. Aku merasa hal itu juga terjadi kepada kedua temanku. Karena tidak ada suara berisik yang terdengar.

Beberapa menit kemudian, sayup-sayup suara ribut bergema di telingaku. Perlahan ku buka kedua mataku dan melihat sekelilingku. Namun, sudah tidak ada orang di dalam bus. Aku terkejut karena semua orang sudah berada di luar bus. Ternyata suara berisik yang aku dengar tadi berasal dari sana. Kemudian aku keluar dan menyusul mereka.

Setelah aku bertanya kepada Radit dan Wawan, ternyata bus yang kami gunakan kehabisan bahan bakar. Ketika aku melihat jam, saat ini waktu menunjukkan tepat pukul dua belas malam. Aku bersyukur karena bus kami tidak kehabisan bahan bakar di tengah hutan. Tapi, aku tidak tahu di mana kami sekarang. Yang aku tahu adalah kami berada di pinggir jalan raya yang tidak terlalu ramai dan dihiasi oleh toko-toko yang sudah tua.

Tiba-tiba, aku merasa sakit perut. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi seingatku tidak ada yang salah pada makan malam hari ini. Karena sudah tidak tahan, aku meminta izin ke Pak Ali kalau aku ingin pergi ke toilet terdekat bersama Radit dan Wawan dikarenakan sakit perut. Secara langsung, beliau mengizinkan kami pergi bersama. Namun, beliau berpesan kami harus berhati-hati dan tetap bersama sampai kembali lagi di tempat bus kami parkir ini.

Setelah kami berjalan kurang lebih 500 meter, akhirnya kami menemukan mushola. Aku memutuskan untuk membuang hajat di toilet mushola ini. Sembari menunggu, Radit dan Wawan melakukan tahajjud di mushola ini. Sekitar lima menit aku berdiam di toilet, reda sudah rasa sakitku. Setelah itu, kami kembali ke tempat parkir bus rombongan kami.

Memang benar kalau bus kami parkir di pinggir jalan raya. Namun, pemukiman yang ada di sekitar jalan ini sangatlah sepi. Jarak antar rumah dipisahkan oleh kebun pisang. Terlihat agak seram memang. Seringkali di tengah-tengah langkah kami, aku mendengar suara gesekan daun pisang yang membuatku agak merinding. Dalam hati aku berharap kalau kami cepat sampai di tempat parkir bus kami.

Karena terburu-buru, aku tidak sadar kalau di depanku ada lubang kecil. Secara tidak sengaja, aku terjatuh dan kakiku terkilir. “Fatir, kamu baik-baik saja? Masih bisa berjalan?”, ucap Radit. “ Iya, aku baik-baik saja, aku harap bisa, Dit,”, balasku sambil berusaha bangun. Aku mencoba untuk berdiri, namun rasa sakit yang amat sangat ini seakan menahan diriku untuk berdiri. “ Fatir, aku gendong saja ya? Badanku juga lebih besar dari kamu, pasti aku kuat,”. Kemudian, Wawan mengulurkan tangannya kepadaku. Setelah itu kami berjalan bersama menuju parkiran bus.

Akhirnya, setelah menghadapi berbagai rintangan, kami sampai di tempat parkir bus. Alangkah terkejutnya kami setelah sampai dan tidak melihat apa-apa di sini. Semua seakan lenyap terbawa angin malam. Aku sangat panik, begitu pula Radit dan Wawan. Aku mencoba menghubungi Pak Ali. Namun, tidak satupun yang diangkat oleh beliau. Naasnya, baterai telepon genggamku tiba-tiba habis. Wawan dan Radit juga tidak ada yang membawa alat komunikasinya. Lebih tepatnya tertinggal di bus.

Sekarang aku hanya berharap ada keajaiban yang dikirim oleh Tuhan untuk kami. Aku merasa bersalah kepada kedua sahabatku ini. Karena aku mereka tertinggal di tempat yang menyebalkan ini. Ditambah rasa sakit dari kaki ku, rasanya aku ingin terbang dan pulang kemudian tidur di rumah. Aku juga merasa bersalah kepada Ibu. Seandainya aku mengikuti kata-kata beliau, mungkin aku tidak akan terjebak di tempat ini.

Aku melihat sekeliling dan suasana sangat sepi. Secara tiba-tiba muncul mobil yang kemudian berhenti di depan kami. Di dalam mobil itu ada seorang laki-laki setengah baya berseragam polisi yang bertanya kepada kami tentang apa yang terjadi. Setelah kami menceritakan semuanya, beliau menawarkan tumpangan kepada kami karena kebetulan tujuan kita sama. Betapa senangnya kami, seakan-akan beliau adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolong kami.

Setelah itu kami masuk ke dalam mobil dan berbincang-bincang dengan beliau. Hingga tidak terasa kalau waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Karena terlalu asyik berbincang-bincang, bapak pemilik mobil tersebut kehilangan kendali atas kemudi. Kami semua panik, dan kemudian mobil kami menabrak jembatan di pinggir jalan. Kepalaku terbentur jok depan mobil dan sedikit mengeluarkan darah. Kemudian aku melihat sekeliling dan betapa terkejutnya aku setelah mengetahui kalau mobil kami berada di ujung jembatan dan hamper jatuh. Kami makin panik, dan arena terlalu panik, usaha kami untuk menyelamatkan mobil justru membuat mobil kami jatuh dan masuk ke dalam sungai.

Kakiku terjepit, dan pandanganku gelap. Dalam pikiranku sekarang terlintas kenangan-kenangan indah yang pernah aku alami. Aku teringat tentang Ibu, keluarga, teman-teman, dan semua orang yang telah ada di hidupku. Aku hanya bisa pasrah dalam keadaanku yang sekarang ini. Setelah berberapa menit kemudian, aku mendengar suara Ibu yang memanggil-manggil namaku. Sekuat tenaga aku berusaha bangun dan perlahan aku membuka mata ini. Ketika aku melihat sekitarku, ternyata aku berada di mushola rumah. Aku terkejut sekaligus bahagia karena aku belum berangkat dan aku hanya bermimpi.

Syukurlah itu semua bukan kenyataan. Aku cepat-cepat bangun dari tidurku dan bersiap-siap untuk berangkat rekreasi bersama kedua temanku. Ternyata itu tadi adalah suara ibu yang memanggilku karena Radit dan Wawan sudah berada di rumahku. Aku kemudian meminta doa restu dari Ibu supaya dalam rekreasi ini aku diberi perlindungan selama perjalan dan sampai di rumah dengan selamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun