Mohon tunggu...
Arifah Suryaningsih
Arifah Suryaningsih Mohon Tunggu... profesional -

\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ibu, Sang Guru Sang Pencerah

20 Desember 2013   09:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:43 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemampuannya dalam mengerjakan banyak hal dalam satu waktu (multitasking) tidak akan terbantahkan oleh siapapun. Lebih dari semua itu, seorang Ibu telah menjadi guru ketika ketika seorang anak manusia mulai ditiupkan Ruh-nya oleh Sang Pencipta. Kelahiran seorang bayi di dunia, akan disambut oleh guru pertamanya. Sejak pertemuan pertama itulah, dimulainya sang bayi menerima pelajaran - demi pelajaran yang diberikan oleh sang ibu, mulai dari membuka mulut, menerima makanan, mengucapkan satu kata sampai dengan saatnya dia mencoba berjalan dengan kakinya sendiri, seorang bayi akan tumbuh besar bersama guru sejatinya.

Hasil penelitian yang ditunjukan Professor Keith Laws, seorang psikolog di University of Hertfordshire Inggris, membuat para ilmuwan percaya bahwa perempuan dalam hal ini seorang ibu lebih mampu merefleksikan masalah, sambil terus menyeimbangkan komitmen mereka yang lain ketimbang laki-laki. Perempuan dapat mengandalkan kedua tangan dan dua otak untuk bekerja simultan. Sebuah artikel lain menguatkan, bahwa otak wanita memiliki Corpus Callosum, sekelompok syaraf yang menghubungkan otak kanan dan kiri. Sedang pada pria, syaraf ini memiliki ukuran 25% lebih kecil dibanding wanita. Itu artinya, wanita cenderung mudah menghubungkan antara perasaan dan pikirannya. Kuatnya koneksi antara bagian-bagian otak yang berlainan itu rupanya yang lalu mampu memunculkan kemampuan wanita dalam hal multitasking. Dalam satu waktu, mereka mampu berpikir, mengingat, merasa dan mendengar serta merencanakan suatu hal secara bersamaan.

Lihat saja, beberapa kegiatan seorang ibu pada jaman apapun dan kapanpun itu. Ketika menyuapi anaknya makan, ibu akan mengajak anaknya belajar berkomunikasi, atau bahkan mempertemukannya dengan bayi yang lain untuk belajar bersosialisasi, sambil mengajaknya bermain-main di bawah hangatnya sinar matahari pagi, sementara dia juga harus mengingat bahwa di dapurnya ada kompor menyala yang dia tinggalkan untuk menjerang air, selain itu ada juga setumpuk cucian yang dia rendam dalam-ember-ember di sumurnya. Sementara kegiatan sang ibu modern kini juga tidak jauh berbeda, saat menghangatkan makanan anaknya dalam microwave, ia juga mengakses internet untuk membayar berbagai macam tagihan melalui e-banking, sambil mengetik, ibu juga menelepon toko dekat rumahnya untuk mengantarkan beberapa galon air mineral dan kebutuhan pokok lainnya, sementara mesin cucinya juga sedang berputar pada waktu yang sama.Juga ketika kita di jalanan menyaksikan seorang ibu sambil menggendong anaknya, dia mendorong gerobak dagangannya, atau menidurkan anak-nya di samping dagangannya, atau bahkan mengajari anaknya membuat PR diantara tumpukan dagangannya juga.

Banyak hal lain yang setiap hari kita saksikan dan rasakan, bagaimana seorang ibu menjadi guru tanpa ada sebuah keluhanpun keluar dari mulutnya. Apapun profesinya, seorang ibu adalah sosok dengan kekuatan yang luar biasa. Apa yang kita rasakan terhadap kasih sayang seorang ibu, atau apapun yang telah kita lakukan sebagai seorang ibu, akan terasa sangat luar biasa jika mampu terefleksikan dalam setiap profesi yang kita jalani.

Memasuki jenjang pendidikan formal bagi seorang anak adalah hal yang sangat sensitif secara phisik maupun psikis bagi diri mereka. Dimana anak-anak harus mulai mengenal seorang guru lain selain ibunya. Disinilah perlunya seorang guru tahu dan mengerti bagaimana menempatkan posisinya dihadapan anak dalam mensejajarkan dirinya sebagai guru kedua. Dimulai dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga anak-anak kita lepas dari masa pubertas, mereka tetap akan mendambakan sosok seorang ibu terhadap gurunya. Namun guru tetaplah orangtua kedua, yang hanya sekian jam dia berkewajiban mendampingi anak-anak didiknya, belum tugas-tugas lain yang pasti juga menyita waktunya. Disinilah perlunya kesepahaman tugas seorang guru dengan guru sejati yang dimiliki anak-anak ini, yaitu ibu. Adalah sebuah salah kaprah yang kebablasan jika kemudian hasil pendidikan yang jeblok dijustifikasi sebagai buah karya tunggal dari seorang guru.

Lepasnya anak menuju kesebuah jenjang pendidikan formal, bukan berarti itu hal tersebut adalah sebuah pengurangan “beban mengajar”, secara kuantitas memang berkurang, namun secara kualitas, tugas mengajar seorang ibu terhadap anak-anaknya yang beranjak dewasa pada tiap tahapan perkembangannya semakin membutuhkan pendampingan yang tepat dari ibunya. Peran ibu sebagai seorang guru akan terus dibutuhkan oleh seorang anak. Jiwa pendidik telah melekat dalam hakikat seorang ibu, yang akan terus dibawanya dalam mendampingi setiap jengkal pertumbuhan anak-anaknya. Dorothy Law Nolte (1954), menggambarkan hubungan antara lingkungan yang diciptakan oleh orangtuanya dengan reaksi yang dilakukan anak, dalam sebuah puisi “Children Learn What They Live”, beberapa bait diantaranya antara lain:

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
...

Dari penggalan beberapa bait puisi tersebut, disinilah peran penting seorang ibu sebagai sang guru harus terus di nyalakan, demi pencerahan kehidupan anak-anaknya. Ibu tidak boleh lelah, ibu tidak boleh lemah, dan ibu juga tidak boleh lengah. Selelah apapun, seorang ibu yang selalu ingat akan segala sikap dan perbuatannya akan memberi dampak dan menjadi tauladan anak-anaknya maka cerminan terbaiklah yang akan dia berikan. Perilaku negatif yang banyak ditunjukkan anak-anak didik kita akan berangsur hilang jika semua ibu berteriak, “Kami adalah sang guru dan juga sang pencerah terbaik bagi anak-anak kami”. Selamat Hari Ibu.

*Tulisan ini dimuat di Harian Jogja, 22 Des 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun