Warteg menjadi penyelamat bagi kaum urban sekaligus menjadi ruang egaliter yang menyatukan siapa saja.
Dari masa ke masa, warteg tetap eksis menjadi pilihan tempat makan utama bagi warga di kota-kota besar seperti Jakarta. Warung makan dengan ciri khas etalase kaca yang menempel langsung dengan meja dan kursi kayu yang memanjang ini memiliki daya tarik. Murah dan sederhana, hanya 10-20an ribu saja sudah dapat sepiring nasi penuh lauk pauk.Â
Kehadiran warteg tak mengenal pasang surut, ia meluas di semua sudut ibu kota. Ribuan warteg yang terus tumbuh memiliki peran penting dalam perkembangan perekonomian kota sekaligus penopang perut kaum urban. Eksistensinya seperti pahlawan kehidupan bagi warga Jakarta. Tidak terlalu menguras isi kantong, tetapi memiliki cita rasa yang enak.Â
Bagian dari Sejarah Ibu Kota
Berdirinya warteg seperti saat ini telah melewati berbagai situasi ibu kota di zaman dulu. Sejarawan JJ Rizal mengatakan bahwa perkembangan warteg dapat menjadi tolok ukur sebuah kota urban. Seberapa urban kota dapat dilihat dari banyaknya warteg yang ada. Jakarta adalah cerminan tersebut.
Pada mula urbanisasi meningkat setelah ibu kota dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta, Presiden Pertama Soekarno memiliki visi politik mercusuar untuk membangun Jakarta. Proyek infrastruktur pun mulai masif dibangun. Bersamaan dengan banyaknya pembangunan untuk wajah ibu kota baru ini tak hanya memunculkan tenaga kerja berdatangan, namun menjadi ruang pembenihan bagi warung-warung nasi yang memenuhi berbagai proyek.
Kebutuhan akan warung nasi kian meningkat pada saat masa pembangunan Jakarta. Warung dengan konsep sederhana mulai menjamuri ibu kota. Warteg turut menjadi bagian dari proses urbanisasi dari desa ke kota saat itu. Dengan dirancang para perantau asal Tegal, warteg menargetkan pelanggan pada kuli-kuli bangunan di Jakarta.
Meski kini gedung-gedung pencakar langit dan warung kekinian mulai memenuhi Jakarta, namun tidak mempengaruhi warteg untuk menjadi tujuan para pekerja mencari tempat makan. Konsep yang ada tidak mengandalkan pada tren ataupun berubah mengikuti arus yang ada. Warteg diminati sekalipun dengan ciri khas dan identitas yang tidak pernah berubah. Dengan tidak harus mengikuti arus yang gemerlap, warteg tetap bisa membuat ruang-ruang ibu kota terasa hidup.
Terciptanya Ruang Egaliter
Hingga kini warteg telah ada di setiap sudut kota. Dari persebaran yang makin mudah ditemukan di mana saja, warteg merambah tak terbatas untuk dinikmati oleh kuli-kuli proyek seperti zaman dulu. Contohnya pada warteg di Tebet bernama Warmo, dinding-dinding pada temboknya tersemat sejumlah pesohor, sebut saja Raja Dangdut Roma Irama, Ivan Gunawan hingga Presiden Joko Widodo. Mereka disatukan oleh cita rasa kentang mustofa, orek tempe dan telur balado.Â
Warteg tidak lagi identik untuk kelas menengah kebawah. Kini bilik-bilik egaliter terbentuk sebagai penyatuan atas berbagai kalangan yang datang. Filososi meja warteg yang menempel dan kursi kayu panjang adalah bukti gambaran atas peleburan strata sosial. Semua menikmati makan berhimpit-himpitan, di atas satu meja, tidak individualis, dan tidak terpencar-pencar. Pelanggan akan terlihat sama saja.Â
Warteg menggambarkan ruang egaliter yang tidak membeda-bedakan siapa saja, tidak membedakan status sosialnya. Warteg adalah pembuktian atas ruang egaliter yang nyata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H