Anda bisa menuliskan "Silih asah, silih asih, silih asuh" di papan tulis kemudian menghapusnya, tetapi pesannya tak benar-benar terhapus dari zona tersebut, malah menjadi suatu pengaruh yang menetap dalam diri orang-orang yang berkumpul di zona tersebut. Secara pribadi, saya memaknainya sebagai 'dzikir' yang dilakukan dengan tindakan manusiawi.
Mengapa demikian? Tenang saja, ini tidak ada hubungannya dengan mistisisme atau pandangan dunia tentang kesadaran adalah kenyataan itu sendiri, dan maka dari itu yang berasal dari kesadaran tersampaikan kembali pada kesadaran. Sebesar apa pun ketertarikan saya pada pemikiran eksentrik semacam itu, saya lebih mengagumi kesederhanaan yang puncaknya seperti bait-bait haiku.Â
Setelah mengetahui penjelasan saya sebelumnya, tentu saja filosofi Silas dapat menjadi pengetahuan sekaligus lain-dari-pengetahuan, yaitu pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat manusia, yang wacana-wacananya ada di dalam kebudayaan Sunda dan buku filsafat manusia. Tetapi kalau kita mau membicarakannya sebagai yang lain-dari-pengetahuan, maka saya akan mengatakannya sebagai 'siloka'.
Siloka dalam KBBI diterjemahkan sebagai 'suluk' yang berarti, 1) "jalan ke arah kesempurnaan", 2) "pengasingan diri", 3) dalam konteks bahasa Jawa, tembang pembuka babak pertunjukan wayang oleh sang dalang.Â
Dalam bahasa Sunda, sebagaimana yang dikutip Asep Salahudin (2017, hal. 25), "Siloka atau suluk adalah termasuk bahasa kias, bahasa yang harus dipikirkan kembali tentang isi sebenarnya, mengandung arti mendalam".
 Karena saya telah menyebutkan tidak ada sangkut pautnya dengan mistisisme, pengertian siloka yang dimaksud seperti dalam konteks bahasa Jawa dan Sunda. Namun, saya tidak akan menafikan tentang pemerolehan siloka yang mengandaikan inisiasi spiritual atau pun dalam kondisi pengasingan diri.
Jadi bahasa kias seperti apa, apakah metafora seperti dalam puisi dan kitab suci? Sejauh ini saya memahaminya sebagai dalam cakupan bahasa, tetapi bukan bahasa secara hakikat bahasa itu sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi fonem, kata, sintaksis, morfologi, bahkan wacana. Cukup meliputi hal-hal yang dalam suatu konteks digunakan sebagai fungsi bahasa dengan cara yang wajar, yaitu komunikasi, pemerolehan informasi, dan abstraksi yang bisa dimaknai.Â
Warna, tarian, nada-nada, sampai ilusi optik bisa saja jadi 'bahasa' untuk mencerap siloka ini. Pertama-tama karena diniscayakan oleh berbagai keberadaan di dunia, dari manusia, tanaman, hewan, benda, sampai zat-zat kimia, untuk berpartisipasi dalam 'pentas seni'.Â
Contohnya, seperti ketika cicak memangsa cicak lain yang mengalihkan perhatian saya dan membuat saya mengamatinya secara seksama, kemudian karena saya sedang menuliskan tentang filosofi Silas yang secara pribadi dimaknai sebagai dzikir yang dilakukan dengan tindakan manusiawi, maka kehadiran cicak-cicak itu adalah tanda.Â
Apakah itu kebetulan yang bermakna (sinkronisitas seperti kata Carl Gustav Jung), atau tanda bahwa alam sedang berkomunikasi dengan saya, itu sama sekali tidak jadi soal dan biarlah momen itu datang dan pergi sendirinya. Sekali lagi, kesederhanaan yang seperti bait haiku.
Akan tetapi bila Anda tidak puas dengan penjelasan dangkal tadi dan menuntut untuk tahu apa hakikat siloka yang menjadikannya beroperasi dengan cara demikian dan mengapa bisa memengaruhi kesadaran untuk memaknai sesuatu, izinkan saya terlebih dahulu untuk mengucap, "Pun sapun!"