Bulan lalu saya sempatkan diri untuk mengunjungi Liga Buku Bandung yang diselenggarakan di gor Sabuga, Bandung. Setibanya di sana hanya ada satu buku yang memikat saya secara misterius, intuisi saya pun berkata "Ambilah, jangan ragu!" Setelah membaca isinya, keputusan tersebut saya syukuri dengan sungguh-sungguh. Satu kata untuk buku ini, "fenomenal!"
Sang penulis, Pandu Hamzah, membawa Anda berpetualang ke pelosok belantara misteri di gunung Ciremai yang tersembunyi di dalam hutan larangannya. Semua bermula dari pertemuan antara tokoh direktur radio dan televisi dengan dua orang misterius yang menyingkapkan mitos lokal di kawasan Ciremai, terutama tentang eksistensi semacam 'mahkluk hutan' yang disebut 'Ulu-Ulu'.Â
Namun ini bukan sebuah cerita investigasi ala siaran misteri di televisi yang tayang sejak zaman saya SD. Kita diajak oleh penulis untuk mengenal Ciremai sebagai jantung kehidupan bagi masyarakat Kuningan dan sekitarnya. Pengenalan tersebut dinarasikan melalui arti penting sebuah pohon Kiara bagi mata air, hingga wilayah di kaki gunung Ciremai yang akan dieksploitasi karena potensi panas buminya oleh perusahaan Chevron dari Amerika.
Mungkin kita akan membayangkan demo dan protes besar-besaran dari aktivis lingkungan untuk membela kepentingan masyarakat, pertempuran kekuatan politik antara elemen masyarakat dengan pihak Chevron. Namun, kisah dalam novel ini tidak dimeriahkan oleh animo semacam itu, melainkan oleh mereka yang memiliki keintiman dengan alam dan tidak memiliki kekuatan secara politik.Â
Mulai dari bocah bisu yang ditemani seekor anjing hutan betina (ajag), pengelana bernama Zasu yang kharismatik tetapi misterius, dan Octaviany Kiara yang menemukan takdir dan sejarah keluarganya di bawah bayang-bayang gunung Ciremai.Â
Sebagai pengantar, tokoh direktur radio dan televisi memberi penuturan dokumenter mengenai berbagai hal yang terjadi di sekitar kawasan gunung Ciremai, mulai dari penampakan Ulu-Ulu, kisah tempat persembunyian pemberontak DI/NII (Negara Islam Indonesia), proyek-proyek yang mengancam ekosistem Ciremai, dampak kerusakan alam bagi kehidupan tokoh bernama Lasmi, dan hubungan pribadi dengan kawasan gunung yang mempesona batinnya.Â
Sementara dari petuangan bocah bisu berkulit hitam kita tahu lebih dalam tentang kehidupan Lasmi selaku ibu angkatnya, yang kemudian mengilustrasikan perbandingan antara kasih sayang alam untuk mahkluk hidupnya yang tidak mengenal pamrih, dibanding kasih sayang manusia yang serba syarat.
 Kisah yang dituturkan oleh tokoh Octaviany Kiara bagi saya merupakan bagian yang istimewa. Pertama karena saya membaca kisahnya dari kacamata mahasiswa psikologi. Membaca kisah Kiara bukan lagi membaca narasi seorang tokoh dalam sebuah plot, tetapi juga membaca perkembangan pribadi dari seseorang yang tumbuh tanpa mengenal ayah dan garis keturunan dari pihak ibu.Â
Di dalam perkembangan pribadinya, Kiara menghadapi kecemasan terdalam terhadap dirinya sendiri yang bermanifestasi sebagai sosok Emprak, dalam perspektif psikoanalisis Freud kita bisa melihat Emprak sebagai 'super ego' yang terus menerus menuntut Kiara untuk berwudhu secara obsesif-kompulsif dan melakukan hal irasional lainnya supaya dia dijamin masuk surga, dan terjaga kesuciaannya, sehingga mengurangi kecemasan yang dialaminya; sedangkan dalam perspektif psikoanalisis Jung, sosok Emprak merupakan arketipe bayang-bayang, mengingat imaji yang dimunculkan tentangnya memiliki jenis kelamin yang sama, dan memiliki potensi destruktif karena pada mulanya bersumber dari insting yang berevolusi bersama organismenya.Â
Kedua, saya memahami dengan baik 'kelebihan' yang dimiliki oleh Kiara juga interaksinya bersama entitas yang antara ada dan tiada. Saya rasa inilah yang dimaksud oleh intuisi saya di awal.Â
Dalam cerita, dinamika psikologis dan kelebihan Kiara tersebut dapat menyatukan penjelasan dokumenter tokoh direktur, sudut pandang bocah bisu, dengan pentingnya eksistensi Zasu yang mempertemukan mereka. Pertemuan yang sudah ditakdirkan, begitulah cerita dari Octaviany Kiara.