Kecanggihan teknologi masa kini telah melahirkan inovasi di berbagai bidang termasuk penelitian, misalnya ilmu data (data science) yang mampu memprediksikan perilaku dan motif kita berdasarkan sejumlah rekaman data.
Kelihatannya teknologi akan membimbing kita untuk menggali pengetahuan, bahkan merefleksikan siapa diri ini, melalui proses data/reality mining. Namun, jangan lupakan pula kecanggihan lahiriah kita yang dibekali oleh kesadaran. Hal yang akan senantiasa relevan dari kesadaran manusia salah satunya adalah citra mimpi. Namun, dari sisi mana mimpi dapat menjadi sumber epistemologis alternatif yang memiliki manfaat pada kehidupan sehari-hari?
 Bagi umat Muslim, saya teringat pada perkataan bapak MIF Baihaqi -- salah satu dosen saya -- bahwa jaminan untuk mempercayai mimpi dan penafsirannya datang dari firman Allah sendiri. Salah satunya dapat dilihat dalam surat Yusuf ayat 4, 5, 6, 21, 36, 43, 44, 45, 100, dan 101. Mungkin banyak dari kita yang tahu kisah berikut.
Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering". Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi." (Qur'an 12:43)
Sebagaimana yang umumnya diketahui, nabi Yusuf menafsirkan mimpi tersebut sebagai masa paceklik yang akan menimpa Mesir selama tujuh tahun.
Penafsiran mimpi sendiri memiliki riwayat yang panjang. Namun kepopulerannya sampai hari ini merupakan kontribusi bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud. Melalui karyanya yang berjudul 'Interpretation of Dream', Freud menulis bahwa mimpi merupakan kompensasi untuk suatu kebutuhan yang tidak terpuaskan, baik kebutuhan dasar seperti makan dan minum, ataupun kebutuhan emosional. Selain mengenai kebutuhan yang tidak terpuaskan, mimpi juga mengandung makna-makna tertentu, sehingga dapat dimanfaatkan untuk melacak konflik dalam psikis (Schultz & Schultz, 2013, hal. 495). Selain berteori soal esensi mimpi, Freud juga dengan jeli menjelaskan bagaimana citraan mimpi yang fantastis terbentuk. Penggambaran yang terkadang tampak magis dan sureal bisa jadi merupakan salah satu mekanisme represi untuk menyensor konten mimpi yang berpotensi menimbulkan kecemasan bagi ego kita -- dalam hal ini konten-konten seksual.
Dalam perkembangannya, Carl Gustav Jung memperdalam interpretasi mimpi yang bagi Freud sebatas ekspresi simbol-simbol seksual beserta konfliknya, menjadi simbol-simbol arketipal dari ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran kolektif sendiri adalah sekumpulan imaji, konten pikiran, memori, yang diturunkan dari leluhur kita, sepanjang berlangsungnya sejarah evolusi manusia (Hall & Lindzey, 1985, hal. 113).Â
Simbol-simbol mimpi yang ditampilkan merujuk pada ketaksadaran kolektif yang universal, namun juga pribadi berdasarkan simbol arketipe yang ditunjukannya. Menurut Jung, dalam kepribadian seseorang terdapat arketipe Anima/Animus, bayang-bayang, great mother, old wise man, pahlawan, dan Diri.
Freud dan Jung sendiri memanfaatkan mimpi (melalui teknik asosiasi bebas) sebagai salah satu teknik dalam psikoterapi. Sebelum mengarah pada simbol-simbol seksual yang implisit dan tersensor, Freud menafsirkan objek dalam mimpi melalui penelusuran semantik dari nama benda atau kata-kata yang terkait dengan objek tersebut.
Kemudian mencari tahu apa relevansi maknanya dengan kehidupan klien, dan apakah berhubungan dengan kata yang disebutkan klien dalam asosiasi bebas. Puncaknya, mengetahui kompleks apa yang termanifestasi dalam psikis klien, yaitu sekumpulan perasaan, ingatan, harapan, dan persepsi dalam pikiran bawah sadar yang menonjolkan tema tertentu, god complex misalnya.
Sementara dalam pendekatan Jung, mimpi dapat dijadikan sebagai teknik untuk meninjau perkembangan pribadi kita. Ketidaksadaran selalu berupaya untuk berkomunikasi dengan kita, salah satunya melalui mimpi, supaya individu mencapai 'individuasi'. Individuasi itu sendiri merupakan perkembangan psikis yang berlangsung seumur hidup di mana orang akan semakin mengenali serta berintegrasi dengan komponen kepribadiannya secara harmonis (Hall & Lindzey, 1985, hal. 132).