Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terlahir di Masa Depan

25 September 2018   13:35 Diperbarui: 25 September 2018   13:40 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jumlah kelompok kecil ini meningkat di setiap akhir sebuah era." (Syariati, 2017, hal. 23-24)

Semua dari mereka adalah orang-orang paling luar biasa, terdidik, yang menentang dan memberontak melawan pemujaan sains. Kesamaan mereka adalah kembali ke spiritualitas; kembali pada perasaan religius dan sensitivitas." (Syariati, 2017, hal. 29)

Kenapa jumlah mereka meningkat di setiap akhir sebuah era, dan memiliki kesamaan prinsip dan pemikiran? Menurut Ali Syariati, kembali pada model sejarah sebagai kerucut yang memuat pikiran, penilaian, dan persepsi, kemudian berdasarkan substansi ketiga hal tersebut menghasilkan karakteristik individu religius dan intelektual.

Dalam prosesnya terjadi sebuah dinamika yang membuat orang biasa menjadi orang terdidik, kemudian orang terdidik menjadi orang intelek, namun persoalan keimanan pada orang itu dideterminasi oleh pendidikan dan lingkungannya.

Orang-orang dari puncak kerucut pada dasarnya memiliki semacam 'bakat tertentu', di mana pada orang biasa yang terdidik religiusitasnya bernilai secara kultural, bisa saja perasaan dan nilai itu lepas bila banyak pengaruh atheisme karena sains dianggap mengoreksi apa yang diajarkan dalam agama.

Saya kira tokoh Hasan dalam novel 'Atheis' karangan Achdiat K. Miharja merupakan salah satu contohnya, terbawa jadi atheis karena Rusli menjelaskan asal-usul agama sebagai produk gaya hidup masyarakat di suatu tempat.

Hari ini kita juga dapat menemukan contoh semacam itu dalam sebuah grup diskusi online -- sarang atheis jadi-jadian yang membeberkan bukti ketiadaan Tuhan, padahal cuma mengutip, menjelaskan teori yang membantah keberadaan Tuhan, padahal tidak pernah melakukan eksperimen dan menguji teori itu secara langsung. (Secara pribadi saya curiga kalau-kalau mereka mengaku atheis karena malas beribadah).

Jadi apa bakat tertentu pada orang-orang dari puncak kerucut? Alih-alih didorong oleh pengaruh luar, mereka menggunakan potensinya untuk mengubah kondisi tersebut, didorong oleh kecenderungan bawaan yang mengarahkan perkembangan inteleknya ke dimensi mistik (bukan klenik). 

Pernahkah Anda menjumpai orang semacam itu? Atau mungkin Anda sendiri salah satunya karena sempat senyam-senyum ketika membaca semua tulisan ini.

Sejauh ini saya pribadi yakin kalau orang dari puncak kerucut di Indonesia, di kota Bandung khususnya, adalah Jeihan, sang maestro pelukis, penyair, dan pemikir.

Sebetulnya masih banyak hal yang ingin saya tuliskan. Tapi untuk kesempatan ini cukup sekian, mudah-mudahan Anda tidak puas dan pergi ke toko buku untuk mencari karya Ali Syariati ini. Semua kekeliruan dalam tulisan nyeleneh ini adalah kekeliruan saya pribadi. Mudah-mudahan kita diberi kesehatan dan umur supaya diberi kesempatan untuk berjumpa dengan orang dari puncak kerucut ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun