Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terlahir di Masa Depan

25 September 2018   13:35 Diperbarui: 25 September 2018   13:40 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali ke kaum intelek penghuni kerucut atas, Jean Paul Sartre adalah contoh intelek yang atheis, sementara Bertrand Russell seorang intelektual yang menolak iman Kristen, tidak religius tapi memiliki dorongan untuk bertuhan, menemukan makna dalam spiritualitas agama Buddha, namun tampaknya Russell masih belum puas untuk sampai bertuhan.

Bisa dikatakan bahwa intelektual semacam Russell -- mungkin juga pada mereka yang menganggap dirinya agnostik -- mendekati puncak kerucut, secara pribadi orang-orang yang saya sebut sebagai pembawa ruh kemanusiaan. Namun mari kita lihat dalam kata-kata Ali Syariati sendiri.

Ada sebagian kecil individu langka yang pemikiran dan keyakinannya berbeda dari kaum intelektual dan orang-orang terdidik. Mereka tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat biasa. Mereka adalah penulis hebat dan humanis yang jenius.

Mereka tidak bisa dikategorikan sebagai kelas intelek juga. Kenapa? Karena substansi dari apa yang mereka katakan tidak seperti yang kelas intelek percayai, karena mereka membawa gagasan baru yang masih tidak dipercayai kelas intelek. (Syariati, 2017, hal. 14-15)

Sang penceramah berhenti sejenak, pandangannya matanya mencari-cari ke sekeliling, mengamati para mahasiswa yang mendengar dengan khusyuk. Rupanya pandangan para pendengar kuliah itu juga sama-sama berkelana, mencari orang yang dimaksud sang Penceramah di antara teman-teman mereka. Pada saat seperti ini saya memanfaatkannya untuk mengacungkan tangan dan bertanya.

"Bolehkan saya memberi contoh? Penjelasan Anda tadi mengingatkan saya pada Nietzsche."

"Nietzsche?" Sang Penceramah tampak tertarik untuk mendengarkan contoh tersebut.

"Nietzsche bertanya 'Mengapa aku adalah takdir?', kemudian menuliskan jawabannya sebagai, 'Aku tahu takdirku. Suatu hari kelak akan diasosiasikan dengan namaku kenangan tentang sesuatu yang menakutkan -- tentang sebuah krisis yang belum ada bandingannya di muka bumi, tentang pembenturan kesadaran yang paling dahsyat, tentang sebuah keputusan yang dibangkitkan menentang segala hal yang hingga saat itu dipercayai, dituntut, disakralkan.

Aku bukanlah seorang manusia, aku sebuah dinamit.'(Ecce Homo. 14:147 Cetakan IV)" Saya berhenti untuk menarik nafas sejenak, pak Ali Syariati menangguk-angguk sepanjang penjabaran dramatikku tadi. 

"Mungkin Nietzsche salah satu penghuni kerucut atas dari zamannya, seorang anti-kristus yang percaya pada Tuhan yang bisa mengajarkan dirinya untuk menari. Dan saya melihat kalau Nietzsche membayangkan orang-orang itu sebagai apa yang disebutnya bermensch, atau mungkin sekurang-kurangnya sebagian orang yang terlahir kemudian, setelah kematiannya."

Entah siapa yang memulai, tepuk tangan tiba-tiba memeriahkan suasana. Pak Ali Syariati melanjutkan penjelasannya tentang orang-orang di puncak kerucut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun