Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terlahir di Masa Depan

25 September 2018   13:35 Diperbarui: 25 September 2018   13:40 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda menyangka kalau salah seorang teman sekelas Anda yang dulunya lugu, pendiam, dan tak terasa kehadirannya, kini menjadi seseorang yang diperhitungkan. Mereka yang tergolong cerdas walau hampir tidak pernah finish di-ranking sepuluh besar sekalipun, tapi kemudian menjadi guru besar, profesor, pakar di bidangnya dengan reputasi yang diakui.

Aneh memang, mereka bahkan tak memiliki satu piala pun dalam lemarinya, tapi di hari kemudian nama mereka dipajang di mana-mana! Barangkali begitulah salah satu cara Tuhan menunjukan kemahaadilannya.

Namun kira-kira apa yang membuat sejarah menurunkan orang-orang itu, di tengah kebanyakan orang yang hidup-beranak-bercucu-mati?

Mari kita cari tahu jawabannya ke sebuah ruang kelas di negeri Iran. Kita kembali ke zaman peraih penghargaan Nobel, Bertrand Russell filsuf dan matematikawan dari Inggris,

Jean-Paul Sartre juga Albert Camus, dua orang filsuf dan sastrawan dari Perancis. Di zaman saat mereka berwara-wiri memberi ceramah dan secara aktif mengkritisi kondisi masyarakat waktu itu.

Dalam suatu ruang kelas negeri Iran sana, seorang lecturer memberi kuliah tentang 'sejarah masa depan', Ali Syariati, sosiolog yang mendapat gelar PhD-nya dari Universitas Sorbone. 

"Sejarah masa depan..." Katanya, menjelaskan dengan gaya seorang guru SMA, "dibangun dalam sebuah kerucut, orang-orang religius dari masa lalu sampai hari ini berdiam di bawahnya, semakin mendekati puncak semakin kita temui orang-orang intelek yang atheis... Namun mereka tak menduduki puncak kerucut ini, bukan mereka sama sekali."

Pemenang Nobel yang disebutkan sebelumnya merupakan contoh kaum intelek pengisi kerucut atas yang sezaman dengan Ali Syariati. Orang-orang intelek yang disebut Ali Syariati adalah mereka yang berilmu kemudian membangun berhala dari ilmunya dan menyembah pada sains, Logos yang Deus.

Tentu tindakan religius yang diarahkan pada sains sebagai objek sesembahannya ini ada baiknya dipahami sebagai religiusitas menurut Pargament (1996), agama sebagai cara merasakan, cara berpikir, dan cara bertindak sekaligus berelasi. Sehingga dalam perjalanan sejarahnya, orang-orang intelek di kerucut atas tidak melulu penyembah sains atau akan menjadi demikian.

Menurut Ali Syariati (2017), pada abad pertengahan di Eropa orang-orang intelek tersebut adalah golongan Pastur dan Paus, mereka yang menguasai ilmu agama. Kemudian zaman pencerahan datang, mengontraskan karakteristik antara penghuni kerucut bawah dengan atas menjadi religius vs saintisme.

Seiring dengan berkembangnya pendidikan, orang-orang awam religius bisa mendapat tempat kaum intelek, volume kerucut dasar berkurang, sementara volume kerucut atas bertambah -- mungkin saja jika peradaban semakin maju, kaum intelek adalah rakyat biasa baru, dan mereka yang berada di atas adalah... kecerdasan buatan, komputer yang belajar menjadi manusia dan melampaui manusia (ah, ini hanya imajinasi saya saja).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun