Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parpol Post-Democracy dalam Perspektif

31 Maret 2018   11:53 Diperbarui: 3 April 2018   14:53 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh mashable.france24

Keberadaan dan Kondisi PartaiPost-Democracy

Mari bayangkan kembali Pilpres 2014, apakah yang dapat Anda kenang pada momen pesta demokrasi tersebut? Ada yang menjawab 'drama', katanya persaingan dua kubu yang perankan lewat 'TV merah' dan 'TV biru'. Sebagian dari kita mungkin sudah tahu rahasia umum kalau dua TV tersebut adalah 'alat politik' milik elit suatu partai. Lalu pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa hal demikian bisa terjadi? Bila 'ya', kami ucapkan selamat datang di era partai 'post-democracy'.

Kehadiran partai post-democracypernah terjadi di Italia. Partai tersebut bernama Forza Italia, didirakan oleh Berlusconi yang berlatar belakang sebagai pengusaha yang disegani di negeri asalnya. Dinamika internal Forza Italia menunjukan karakter post-democracy dengan adanya 'firma politik' melalui orang kepercayaan yang ditempatkan pada kedudukan strategis (Noor, 2017). Dalam kasus Berlusconi dia menempatkan Cesare Previti dan Marcello Dell'Utri yang bekerja di perusahaan iklan naungan Finivest.

Kehadiran post-democracy terjadi dalam lembaga pemerintahan yang sudah ada. Semula, partisipasi masyarakat dari golongan menengah yang membentuk lembaga tersebut berorientasi pada penegakan keadilan dan kebajikan dalam masyarakat. Namun, muncul golongan baru yang mengalihkan orientasi tersebut pada kebutuhan populis, sebagai dalih untuk mengamankan dan menjalankan kepentingan sesamanya. 

Golongan ini dinilai mapan secara ekonomi dan berhasrat mempertahankannya. Maka dari itu, kebijakan praktis yang dibuat seringkali diklaim sebagai 'kepentingan umum' melalui penggiringan opini dan pandangan publik (Noor, 2017). Lebih jelasnya, partai post-democracy memiliki karakteristik berikut, 1) firma politik, 2) self-sufficient, 3) pragmatis-personal, 4) Top-Downagenda, 5) formal shell. 

Pembahasan dalam essai ini berangkat dari hasil analisis Noor (2017) mengenai partai post-democracy di Indonesia yang terdiri atas partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Nasdem (Nasional Demokratis), dan Perindo (Persatuan Indonesia). Partai tersebut tergolong sebagai post-democracy lantaran sejarah kemunculannya yang dilandasi oleh sekelompok pengusaha yang menjadi tokoh penting dalam partai, dan dinamika partai yang bergantung pada eksistensi pengusaha dan jaringan korporat. 

Meskipun terbilang mapan secara finansial, partai post-democracy menghadapi tantangan tersendiri yang mana merupakan konsekuensi dari karakteristiknya. Menurut Noor (2017), terdapat dua tantangan yaitu perlembagaan yang problematis dan kecenderungan oligarki.

Setelah melihat sekilas mengenai apa itu partai post-democracy dan alasan kemunculannya, terdapat beberapa hal yang masih perlu dipertanyakan kembali terutama pada mengenai berbagai peran yang mendukung partai untuk melampaui statusnya sebagai post-democracy. 

Ambilah contoh kasus kemenangan suara Gerindra di Jawa Barat, bila partai berjarak dengan masyarakat dan dinilai tidak berkontribusi, lantas bagaimana perolehan suara itu menjadi mungkin? Apakah karena didukung penggunaan figur populis untuk menodongkrak popularitas partai? Bila ditarik lebih jauh lagi, apa yang membuat partai post-democracy tetap dapat memiliki dukungan masyarakat, dan bagaimana karakteristik masyarakat yang memberi dukungan suara pada partai tersebut. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu dijelaskan secara singkat perspektif yang menjadi pisau analisis di sini, ilmu kompleksitas dan psikologi politik.

Mengenal Ilmu Kompleksitas

Ilmu kompleksitas menanggapi kondisi keilmuan modern yang memisahkan aspek kehidupan individu dari berbagai hal yang berkaitan dengannya. Salah satu alasannya, sifat reduksionistik a la Cartesian yang tidak lagi cocok dengan kompleksitas masa kini (Situngkir, 2006). 

Ilmu kompleksitas menawarkan alternatif untuk menjelaskan fenomena dalam kehidupan sosial tanpa mereduksinya ke dalam kerangka teoritis disiplin tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menunjukan adanya relasi antarentitas yang saling memengaruhi, bagaimana interaksinya, dan seperti apa perwujudannya di tingkat kolektif. Dengan kata lain, bagian-bagian partikular yang berperan di tingkat mikro secara bersama-sama membangun sistem sosial dalam skala makro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun